Bagaimana Mengganti Shalat dan Puasa yang Bolong?
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum ustadz. Duh ribet nih mau darimana nyampeinya. Saya
memang muslim tapi sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan saya juga
banyakan bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat fardu yang
tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang sekarang usia
saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya juga. Mohon banget
jawabanya ustadz.
Dido (Nama disamarkan)
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah Allah
swt. Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari kesadaran keimanan
yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan di sini, dan kami akan
memulai dengan menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang pertama.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah
kewajiban bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk salah satu
rukun Islam seperti halnya puasa.
Meninggalkan shalat sama halnya dengan merusak agama. Dalam sebuah
hadits dikatakan: “Bahwa shalat adalah tiang agama, barang siapa yang
menegakkannya sungguh ia telah menengakkan agama, dan barang siapa yang
merusaknya sungguh ia telah merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal
pertama seorang hamba yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt
adalah shalat.
Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf jika
karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla. Namun
bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa adanya alasan yang
dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i) dan itu dilakukan selama
bertahun-tahun? Apakah wajib meng-qadla?
Dalam kasus seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama
dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang shalatnya
banyak yang bolong dan tidak tahu secara pasti berapa jumlah shalat yang
ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-qadla`-nya sampai ia yakin bahwa bahwa ia
telah terbebas dari tanggungjawabnya. Lantas ia wajib menentukan waktu yang
pernah ditinggalkannya. Dan dimulai dengan men-qadla` shalat dhuhur yang
pertama kali atau yang terakhir kali ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan
kemudahan.
قَالَ
الحَنَفِيَّةُ: مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ كَثِيرَةٌ لَا يَدْرِي عَدَدَهَا، يَجِبُ
عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ،
وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَيِّنَ الزَّمَنَ، فَيَنْوِي أَوَّلَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ
وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، أَوْ يَنْوِي آخِرَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ
وَلَمْ يُصَلِّهِ، وَذَلِكَ تَسْهِيلاً عَلَيْهِ. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي
وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143(
“Para ulama dari kalangan madzhab hanafi berpendapat bahwa seseorang
yang shalatnya banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa jumlah
yang ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas dari
kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu tidak
menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat dhuhur yang pertama
kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi kemudahan baginya”.
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr,
cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)
Sedang menurut kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali orang yang
meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia tidak ingat
lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib meng-qadla` sampai ia yakin
ia terlepas dari kewajibannya dan tidak harus menentukan waktunya. Tetapi cukup
baginya untuk menentukan shalat yang pernah ditinggalkan, seperti dhuhur atau
ashar.
وَقَالَ
الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ
يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنِ الْفُرُوضِ، وَلَا يَلْزَمُ
تَعْيِينُ الزَّمَنِ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُ الْمَنْوِيِّ كَالظُّهْرِ أَوِ
الْعَصْرِ مَثَلًا (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة
الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143(
“Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat,
wajib baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin
bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah ditinggalkan),
dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan menentukan yang
diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti dhuhur atau ashar”. (Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405
H/1985 M. juz, 2, h. 143)
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang
pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai
menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya. Misalnya
jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan mata pencariannya.
إِذَا
كَثُرَتِ الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ مَا لَمْ يَلْحَقْهُ
مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ، أَمَّا بَدَنُهُ فَأَنْ يَضْعُفَ أَوْ
يَخَافُ الْمَرَضَ وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ يَنْقَطِعَ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي
مَالِهِ بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ مَعَاشِهِ (ابن قدامة المقدسي، المغني،
بيروت-دار الفكر، الطبعة الأولى، 1405هـ، ج، 1، 681)
“Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang
meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu
tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah badannya
adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang masyaqqah harta adalah
ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya sekiranya ia terputus mata
pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet
ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)
Dari kedua pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami
pendapat yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk
menentukankan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa
kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.
Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga
yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk meng-qadla’ shalat
yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak sah. Tetapi sebaiknya ia
memperbanyak shalat dan puasa sunnah.
وَتَارِكُ
الصَّلَاةِ عَمْداً لَا يُشْرَعُ لَهُ قَضَاؤُهَا وَلَا تَصِحُّ مِنْهُ بَلْ
يُكَثِّرُ مِنَ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الصَّومُ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنَ
السَّلَفِ كَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ صَاحِبِ الشَّافِعِي وَدَاوُدَ
وَأَتْبَاعِهِ وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يُخَالِفُ هَذَا (إبن تيمية،
الفتاوى الكبرى، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الاولى، 1408هـ/1987 م، ص. ج، 5،
ص. 320)
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan
untuk meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula
qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga
memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama
salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud
azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil
yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra,
Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)
Pandangan Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru
sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para ulama
terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh
didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu Hazm lebih
lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak perbuatan baik,
shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal kebajikannya kelak pada hari
kiamat, taubat, dan istighfar.
وَأَمَّا
مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ
عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا فَلْيُكَثِّرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ
التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلْيَتُبْ
وَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ (السيد السابق، فقه السنة، القاهرة، الفتح
للإعلام العربي، ج، 1، ص. 196)
“Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar
waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya.
Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah agar
timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat, dan meminta
ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath
al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h. 196)
Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang
yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak
ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus meng-qadla`
shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat baginya. Namun
dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka qadla’ tersebut dilakukan
sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga orang tersebut agar
memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan memperbanyak istighfar.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar