Jumat, 19 Juni 2015

Mahfud MD: Judge Artijo



Judge Artijo
Oleh: Moh Mahfud MD

Artijo Alkostar itu tidak suka kalau diajakbicara tentang perkara yang sedang ditanganinya. Dia hanya mau berbicara dengan hati nuraninya tentang pasal-pasal hukum dan keadilan.

Terhadap vonis-vonis yang telah dijatuhkannya pun saya tak pernah menanyakan pada Artijo, meski kami selalu bertemu di kampus untuk mengajar. Tetapi pada Selasa malam (9 Juni 2015) kemarin, saya menemui dan menanyakan kepada Artijo tentang vonisnya terhadap Anas Urbaningrum.

Pasalnya pada Senin (8 Juni 2015), Artijo melipatduakan hukuman penjara terhadap Anas Urbaningrum dari tujuh tahun di pengadilan tinggi (PT) menjadi 14 tahun di Mahkamah Agung, ditambah dengan pencabutan hak politik oleh majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artijo. Meski tidak ada kegaduhan di media massa yang meributkan vonis itu, di komunitas Whats- App tertentu, vonis tersebut mendapat sorotan tajam.

Bahkan, ada yang agak emosional dan kasar dalam menyorotinya. Selain tergugah oleh debat di Whats App tertentu tersebut, saya merasa perlu bertemu dengan Artijo karena sebelum ada vonis Anas, saya mendengar banyak keluhan tentangnya. Ada pejabat penting yang mengatakan, ”Artijo itu terlalu antikorupsi sehingga kalau ada perkara korupsi yang kasasi, langsung hukumannya dinaikkan. Itu produk orang marah dan tidak adil,” kata pejabat itu.

Hal yang sama pernah dikeluhkan secara langsung kepada saya oleh seorang ibu yang suaminya dihukum dua kali lipat dari vonis pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. ”Artijo itu tak membaca memori kasasi, tapi langsung menghukum dua kali lipat menjadi 15 tahun. Suami saya itu hanya analis, bukan pembuat keputusan, apalagi kebijakan, kok dihukum segitu”, kata ibu itu.

Saya pun ikut terharu mendengarkan kronologi kasus yang menimpa keluarganya. Terhukum kasus korupsi di tingkat PN dan PT banyak yang takut untuk mengajukan kasasi ke MA karena takut kalau majelis kasasinya jatuh ke Artijo. Yang sudah mengajukan kasasi pun ada yang mencabut kembali setelah majelis hakimnya ditangani Artijo.

Hartati Murdaya, Neneng Sri Wahyuni, dan mantan Bupati Buol Amran A. Batalipu adalah contoh yang perkara kasasinya ditarik ketika Artijo siap menjatuhkan vonis. Ketika saya sampaikan tentang keluhan-keluhan itu, Artijo menanggapi dengan tenang, tanpa perubahan ekspresi di wajahnya. Tapi dia menegaskan, penilaian orang-orang itu absurd.

Kata Artijo, akan dosa besar kalau dirinya memutus tanpa membaca memori kasasi secara cermat. Semua argumen dan kontra-argumen dalam kasasi dan memori kasasi pasti diurai, dianalisis, dan dikonfirmasikan dengan bukti-bukti, dan semua itu dimuat di dalam vonis. Bahkan ketika menyebut argumen dan kontra-argumen itu, vonis Artijo menyebut halaman-halaman memori, kontramemori dan vonis-vonis sebelumnya.

Jadi tak mungkin bisa membuat vonis yang begitu kalau tidak membaca dengan cermat. Lagi pula, tidak sedikit jumlahnya perkara kasasi yang ditangani Artijo hukumannya dikurangi bahkan divonis bebas. ”Yang diberitakan kan yang dinaikkan saja,” kata Artijo. Dia pun berjanji, pekan ini, akan menunjukkan kepada saya tentang perkara dan orang-orang yang dibebaskannya, sekaligus akan menunjukkan bukti dan pertimbangan atas putusan-putusan yang diributkan.

Kata Artijo, dirinya tak harus bertanggung jawab kepada manusia siapa pun dalam membuat vonis, kecuali kepada Tuhan. Dia akan menunjukkan itu kepada saya bukan sebagai pertanggungjawaban atau untuk membela diri, melainkan karena saya adalah yuniornya. Artijo menganut paradigma, pejabat yang korupsi harus dihukum berat; karena selain korupsi, mereka juga melanggar kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat.

Hakim tetaplah manusia. Tetapi yang penting, manusia yang berstatus hakim itu benar-benar berusaha untuk menjaga integritas dan kejujuran tentang kebenaran dan keadilan. Saya yakin akan integritas Artijo, karena saya mengenal lama secara cukup dekat.

Pada tahun 1978, saya masuk menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan Mas Artijo adalah salah satu dosen muda favorit saya. Dia mengajar dengan sangat baik, sambil selalu menekankan perlunya moral-keagamaan sebagai dasar ilmu dan penegakan hukum. Dia pula yang menginspirasi saya untuk menjadi dosen karena saya ingin menjadi dosen seperti Mas Artijo yang cerdas, sederhana, tegas, berani, dan agamais.

Pada tahun 1990/1991, saya dan Mas Artijo sama-sama berada di New York, AS. Saya menjadi academic researcher di Pusat Studi Asia, Columbia Univesity untuk penulisan disertasi doktor di UGM, sedangkan Mas Artijo bekerja di Human Rights Watch. Setiap Jumat, kami bersama ke masjid untuk salat Jumat. Setiap Minggu, kami makan siang bersama, kadang makan nasi briyani di restoran India, kadang makan kebab di restoran Turki.

Setelah menjadi hakim agung, kami di UII sering menjuluki Mas Artijo dengan Judge Bao. Judge Bao atau Justice Bao adalah seorang hakim yang namanya sangat melegenda sebagai simbol penegak hukum dan keadilan dalam sejarah China. Namanya diabadikan di dalam buku sejarah dan film-film. Nama aslinya Bao Zheng, hidup tahun 999-1062 era Dinasti Song.

Di dalam penulisan sejarah maupun di film-film, terkadang dia ditulis sebagai Judge Bao, terkadang disebut Justice Bao. Maklum pada saat itu tugas penuntutan dan penghukuman masih menyatu. Kami sering menyebut Mas Artijo sebagai Judge Bao Artijo. []

Koran SINDO, 13 Juni 2015
Moh Mahfud MD | Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar