Selasa, 30 Juni 2015

(Ngaji of the Day) Bagi Musafir, Manakah yang Utama: Berpuasa atau Membatalkannya?



Bagi Musafir, Manakah yang Utama: Berpuasa atau Membatalkannya?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb. Langsung saja pak ustadz, saya mau menanyakan soal puasa orang yang bepergian jauh. Sebagaimana yang saya tahu orang yang berpuasa ketika bepergian jauh boleh membatalkan puasanya dan boleh tetap berpuasa. Bagi orang yang bepergian jauh atau musafir antara membatalkan puasa dan tetap berpuasa, mana yang paling utama? Atas penjelasan pak ustadz, saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. Wb.

(Abdurrahman/Manado) 

Jawaban:

Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya yang budiman semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa seseorang yang berpuasa kemudian mengadakan perjalanan jauh, atau yang disering kita sebut dengan istilah musafir memang boleh memilih antara tetap melanjutkan puasanya atau membatalkannya.

Sayyidah Aisyah ra menceritakan bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa dalam perjalanan. Rasul pun memberikan jawaban;  ‘Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah”.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

“Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai puasa dalam perjalanan. Lantas beliau pun menjawab, ‘Jika kamu menghendaki maka berpuasalah, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah” (H.R. Muslim)”

Adanya pilihan bagi orang yang mengadakan perjalan jauh atau musafir antara tetap menjalankan puasa atau membatalkannya sebenarnya tidak ada persoalan di antara para ulama. Namun yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah mengenai mana yang paling utama, tetap menjalankan puasa atau membatalkannya?

Dalam konteks mana yang lebih utama bagi musafir, tetap menjalankan puasa atau membatalkannya para ulama setidaknya terbelah menjadi dua.

Pedapat pertama menyatakan bahwa yang paling utama bagi musafir adalah tetap berpuasa. Di antara yang menyuarakan pandangan ini adalah imam Abu Hanifah berserta para pengikutnya, imam Malik, dan imam Syafii sebagaimana terdapat dalam sebagian apa yang diriwayatkan dari keduanya. 

وَاخْتَلَفُوا فِي الْأَفْضَلِ ، فَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ ، وَأَصْحَابُهُ ، وَمَالِكٌ ، وَالشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ مَا رُوِيَ عَنْهُمَا : إِلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ

“Para ulama berselisih pendapat mengenai hal yang paling utama (bagi musafir, tetap berpuasa atau membatalkannya, pent). Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, imam Malik dan imam Syafii dalam sebagian apa yang diriwayatkan dari keduanya (imam Malik dan imam Syafii), mereka berpendapat bahwa berpuasa itu lebih utama”. (lihat Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H/2001 M, juz, 2, h. 40) 

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang paling utama bagi orang yang mengadakan perjalanan jauh atau musafir adalah tidak melakukan puasa. Di antara kalangan ulama yang menyuarakan pendapat  ini dalah imam al-Auza’i, imam Ahmad, dan imam Ishaq. 

وَذَهَبَ الْأَوَزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ إَلَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَلُ

“Imam al-Auza’i, Ahmad, dan imam Ishaq mereka berpendapat bahwa membatalkan puasa itu lebih utama” (Tafsir al-Bahr al-Muhith, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H/2001 M, juz, 2, h. 40).

Dari kedua pendapat yang kami kemukakan tersebut, kami lebih cenderung untuk memilih pendapat yang pertama yang menyatakan bahwa musafir lebih utama memilih untuk tetap berpuasa. Tetapi dengan catatan sepanjang puasa tersebut tidak membahayakan dirinya. Dan jika berpuasa ternyata membahayakan dirinya, maka yang paling utama adalah tidak berpuasa.  

فَالْمُسَافِرُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ وَالصَّوْمُ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِذَا لَمْ يَظْهَرْ ضَرَرٌ

“…maka musafir bisa memilih antara berpuasa dan tidak. Dan berpuasa itu lebih utama apabila tidak tampak adanya bahaya (baginya, pent)” ( (Imam al-Haramain al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, tahqiq, Abdul Azhim Mahmud ad-Dib, Bairut-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1428 H/2007 M, juz, 4, h.51).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang yang bepergian jauh dan memilih untuk tidak berpuasa Ramadlan maka segeralah meng-qadla` puasa yang ditinggalkan setelah bulan Ramadlan usai. Dan kami selau terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar