Bagi Musafir, Manakah yang
Utama: Berpuasa atau Membatalkannya?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Langsung saja pak
ustadz, saya mau menanyakan soal puasa orang yang bepergian jauh. Sebagaimana
yang saya tahu orang yang berpuasa ketika bepergian jauh boleh membatalkan
puasanya dan boleh tetap berpuasa. Bagi orang yang bepergian jauh atau musafir
antara membatalkan puasa dan tetap berpuasa, mana yang paling utama? Atas
penjelasan pak ustadz, saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. Wb.
(Abdurrahman/Manado)
Jawaban:
Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya yang budiman
semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa seseorang yang berpuasa kemudian
mengadakan perjalanan jauh, atau yang disering kita sebut dengan istilah musafir
memang boleh memilih antara tetap melanjutkan puasanya atau membatalkannya.
Sayyidah Aisyah ra menceritakan bahwa Hamzah
bin Amr al-Aslami ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa dalam
perjalanan. Rasul pun memberikan jawaban; ‘Jika kamu menghendaki maka
tetaplah berpuasa, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah”.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو
الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Hamzah bin
Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai puasa dalam
perjalanan. Lantas beliau pun menjawab, ‘Jika kamu menghendaki maka berpuasalah,
dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah” (H.R. Muslim)”
Adanya pilihan bagi orang yang mengadakan
perjalan jauh atau musafir antara tetap menjalankan puasa atau membatalkannya
sebenarnya tidak ada persoalan di antara para ulama. Namun yang menjadi perbedaan
pendapat di antara mereka adalah mengenai mana yang paling utama, tetap
menjalankan puasa atau membatalkannya?
Dalam konteks mana yang lebih utama bagi
musafir, tetap menjalankan puasa atau membatalkannya para ulama setidaknya
terbelah menjadi dua.
Pedapat pertama menyatakan bahwa yang paling
utama bagi musafir adalah tetap berpuasa. Di antara yang menyuarakan pandangan
ini adalah imam Abu Hanifah berserta para pengikutnya, imam Malik, dan imam
Syafii sebagaimana terdapat dalam sebagian apa yang diriwayatkan dari
keduanya.
وَاخْتَلَفُوا
فِي الْأَفْضَلِ ، فَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ ، وَأَصْحَابُهُ ، وَمَالِكٌ ،
وَالشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ مَا رُوِيَ عَنْهُمَا : إِلَى أَنَّ الصَّوْمَ
أَفْضَلُ
“Para ulama berselisih pendapat mengenai hal
yang paling utama (bagi musafir, tetap berpuasa atau membatalkannya, pent).
Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, imam Malik dan imam Syafii dalam
sebagian apa yang diriwayatkan dari keduanya (imam Malik dan imam Syafii),
mereka berpendapat bahwa berpuasa itu lebih utama”. (lihat Abu Hayyan
al-Andalusi, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422
H/2001 M, juz, 2, h. 40)
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang paling
utama bagi orang yang mengadakan perjalanan jauh atau musafir adalah tidak
melakukan puasa. Di antara kalangan ulama yang menyuarakan pendapat ini
dalah imam al-Auza’i, imam Ahmad, dan imam Ishaq.
وَذَهَبَ
الْأَوَزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ إَلَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَلُ
“Imam al-Auza’i, Ahmad, dan imam Ishaq mereka
berpendapat bahwa membatalkan puasa itu lebih utama” (Tafsir al-Bahr al-Muhith,
Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H/2001 M, juz, 2, h. 40).
Dari kedua pendapat yang kami kemukakan
tersebut, kami lebih cenderung untuk memilih pendapat yang pertama yang
menyatakan bahwa musafir lebih utama memilih untuk tetap berpuasa. Tetapi
dengan catatan sepanjang puasa tersebut tidak membahayakan dirinya. Dan jika
berpuasa ternyata membahayakan dirinya, maka yang paling utama adalah tidak
berpuasa.
فَالْمُسَافِرُ
بِالْخِيَارِ بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ وَالصَّوْمُ أَفْضَلُ مِنَ
الْفِطْرِ إِذَا لَمْ يَظْهَرْ ضَرَرٌ
“…maka musafir bisa memilih antara berpuasa
dan tidak. Dan berpuasa itu lebih utama apabila tidak tampak adanya bahaya
(baginya, pent)” ( (Imam al-Haramain al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab
fi Dirayah al-Madzhab, tahqiq, Abdul Azhim Mahmud ad-Dib, Bairut-Dar al-Minhaj,
cet ke-1, 1428 H/2007 M, juz, 4, h.51).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan.
Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang yang bepergian jauh dan memilih
untuk tidak berpuasa Ramadlan maka segeralah meng-qadla` puasa yang
ditinggalkan setelah bulan Ramadlan usai. Dan kami selau terbuka untuk menerima
saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar