Kamis, 25 Juni 2015

BamSoet: Machiavellian di Balik Konflik Partai



Machiavellian di Balik Konflik Partai
Oleh: Bambang Soesatyo

PENGAKUAN oleh pemerintahan Jokowi terhadap kepengurusan Partai Golkar pimpinan Agung Laksono dkk patut dilihat sebagai tindakan menghalalkan segala cara untuk mengamankan kekuasaan politik. Orang-orang yang mengarsiteki strategi politik Presiden itu kemungkinan besar sekumpulan Machiavelis (Machiavellian).

Memelihara konflik internal dua partai politik (parpol) besar, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bisa dipahami sebagai strategi Presiden Joko Widodo mengamankan kekuasaan politik. Strategi ini menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari setelah dua partai sejak awal menolak berkoalisi dengan kumpulan parpol pendukung Presiden.

Publik masih ingat betapa keras upaya Jokowi mengajak Golkar, juga PPP, masuk dalam gerbong koalisi pendukungnya. Upaya itu dilakukan semasa masih berstatus capres atupun sebelum dilantik pada Oktober 2014. Upaya itu gagal karena Golkar dan PPP tetap berada di Koalisi Merah Putih (KMP) saat Jokowi mulai menjalankan roda pemerintahannya.

Tidak nyaman karena dominasi KMP di DPR, para Machiavelis di belakang Presiden menciptakan konflik internal sekaligus membelah Golkar dan PPP jadi dua kubu kepengurusan. Di Partai Golkar ada kubu Munas Bali dengan ketua umum Aburizal Bakrie, serta kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono yang propemerintah. Di PPP, ada kubu Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta versus kubu Romahurmuziy atau Romy hasil Muktamar Surabaya yang juga propemerintah.

Dualisme kepengurusan di tubuh Golkar dan PPP coba ditengahi dengan keputusan pengadilan. Dalam kasus Golkar, PTUN sudah membatalkan SK Menkumham No: M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 per 23 Maret 2015 tentang Pengesahan Perubahan AD/ART dan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar pimpinan Agung Laksono.

Ajukan Banding

Pengadilan Negeri Jakarta Utara pun membatalkan kepengurusan Agung dkk, dengan mengukuhkan kembali keabsahan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau 2009. Menyikapi dua keputusan pengadilan ini, Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly mengajukan banding.

Dalam kasus PPP, PTUN pun membatalkan SK Menteri Hukum dan HAM No M.HH-07.ah. 11.01 yang mengesahkan susunan kepengurusan PPP di bawah kepemimpinan Romahurmuziy. Putusan ini dibanding oleh Menteri Yassona Laoly.

Dengan strategi seperti itu, pemerintah jelas mengadopsi prinsip Machiavellisme karena tetap mengakui pihak-pihak yang klaim kepemimpinannya di Golkar dan PPP sudah digugurkan oleh pengadilan. Dengan banding, pemerintah secara tidak langsung menugaskan Menteri Yassona tetap menjaga eksistensi kubu Agung di Golkar dan kubu Romy di PPP.

Dengan perilaku seperti itu, pemerintah tidak lagi mengindahkan asas keadilan, prinsip hukum serta etika dan standar moral. Semua itu tidak lagi dijadikan acuan karena pemerintahan Jokowi fokus mengamankan kekuasaan politik.

Salah satu aspek pemahaman dari Machiavellisme adalah baik cara, tindakan serta langkah politik tak perlu dikait-kaitkan dengan standar etika, standar moral, termasuk asas keadilan dan prinsip hukum. Paham Machiavellisme dibangun dan dibentuk dari cara pandang filsuf Niccolo Machiavelli (1469 ñ 1527) tentang bagaimana mendapatkan dan mengamankan kekuasaan politik. Para penentang paham ini menilai Machiavellisme adalah menghalalkan segala cara.

Machiavellisme mengajarkan bahwa dalam politik kalkulasi tidak boleh rumit, atau memasukan banyak faktor, termasuk faktor moralitas seturut pertimbangan agama. Sebab tujuan akhir dari politik hanya satu, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Adapun kekuasaan dan agama tidak pernah sejalan.

Ketika mayoritas di DPR digenggam KMP, opsi bagi para Machiavelis di belakang pemerintahan Presiden tidak banyak. Satu-satunya pilihan perhitungan yang tersedia adalah memecah kekuatankekuatan utama di DPR, Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PPP.

Kemudian, untuk mengaburkan perilaku itu, ditampilkan organ pemerintah lainnya yang berperan sebagai juru selamat atau juru damai. Partai Golkar memang bisa mewujudkan islah sementara atau terbatas agar bisa menjadi peserta dalam agenda politik pilkada serentak tahun ini.

Tetapi, islah terbatas di tubuh Golkar itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah, bahkan berpotensi memperuncing konflik internal. Islah terbatas itu seperti instrumen yang mendorong kubu Munas Bali dan Munas Ancol saling berebut wewenang dalam mengajukan bakal calon kepala daerah yang akan bertarung di daerahnya masing-masing.

Kini, kedua kubu Partai Golkar terperangkap dalam situasi yang benar-benar penuh risiko. Apa yang dikhawatirkan sejak awal kini terjawab sudah. Perundingan dan islah terbatas hanya agenda yang membuang waktu dan energi. Ibarat bom waktu yang ledakannya hanya soal waktu.

Kini, sudah waktunya bagi semua kader dan simpatisan sejati Golkar pimpinan ARB untuk membangkitkan keberanian moral menghadapi mereka yang merusak soliditas partai.Tidak ada alasan sedikit pun takut menghadapi kubu Munas Ancol.

Kubu Munas Ancol hanya mengklaim keputusan Mahkamah Partai. Padahal, Mahkamah Partai tidak menelurkan keputusan apa pun. Mereka juga hanya bisa mengandalkan SK Menteri Hukum dan HAM yang telah dibatalkan oleh PTUN dan keputusan sela/provisi pengadilan Negeri Jakarta Utara. []

SUARA MERDEKA, 24 Juni 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Anggota Komisi III DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar