Kau yang
Memulai, Kau yang Mengakhiri
Oleh:
Bambang Soesatyo
“Pemerintah
harus mencari formula relevan supaya hak PPP mengajukan calon di pilkada tidak
hilang”
KONFLIK
internal Partai Golkar meruncing karena kehadiran dan peran penguasa di
dalamnya. Islah terbatas dua kubu kepengurusan Golkar pun bisa terwujud berkat
mediasi penguasa. Kau (penguasa) yang memulai, kau (penguasa) pula yang
mengakhiri konflik itu, walaupun untuk sementara.
Kerja
keras Wapres menghadirkan Golkar sebagai peserta pilkada mencerminkan kesadaran
sekaligus kekhawatiran pemerintah atau penguasa. Pesta demokrasi tingkat daerah
itu bisa disebut abnormal atau cacat jika Golkar absen mengingat ia peraih
suara terbanyak kedua dalam Pileg 2014.
Andai
absennya Partai Golkar dalam Pilkada 2015 diakibatkan oleh kesalahan sendiri,
mungkin wajar dan tidak aneh. Tapi andai halangan itu disebabkan ulah oknum
penguasa mengeskalasi konflik internal Golkar maka pemerintah dan KPU sebagai
penanggung jawab dan penyelenggara Pilkada 2015 akan dipermalukan.
Pasalnya,
bakal ada noda besar dalam catatan Pilkada 2015. Memang, kalau dua kubu
kepengurusan Golkar bersikeras menolak gencatan senjata, kader unggulan partai
itu di semua daerah hanya menjadi penonton atau penggembira pilkada. Pengajuan
calon oleh Golkar bisa teradang oleh Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015
tentang Pencalonan.
Tapi
faktor penghambat ini bisa diterobos Golkar setelah dua kubu melakukan
pertemuan keenam dan menyepakati gencatan senjata. Islah terbatas itu ditandai
oleh penekenenan dokumen kesepakatan di rumah dinas Wapres JK di Menteng,
Jakarta, Sabtu (30/5) sore.
Draf
islah itu memuat 4 poin kesepakatan tentang pengajuan calon pemimpin daerah
dalam Pilkada 2015. Poin pertama mencantumkan kesepakatan kedua kubu untuk
mendahulukan kepentingan Golkar, sehingga calon kepala daerah yang diusung
Golkar dapat diusulkan dalam pilkada.
Poin
kedua mencantum kesepakatan membentuk tim penjaringan bersama di daerah yang
akan melaksanakan pilkada, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Poin ketiga
menyebutkan calon yang diajukan harus memenuhi kriteria yang disepakati
bersama. Poin keempat menyebutkan untuk pendaftaran calon kepala daerah yang
diajukan pada Juli 2015, usulan dari Golkar ditandatangani oleh DPP Partai
Golkar yang diakui oleh KPU.
Dengan
poin-poin kesepakatan itu, Golkar sebagai partai peraih urutan kedua suara
terbanyak Pileg bisa tampil di Pilkada 2015. Para calon gubernur, calon bupati
dan calon wali kota dari Partai Golkar di berbagai daerah bisa mendaftarkan
kepesertaan mereka di KPU di daerah masing-masing.
Monumental
Tapi
persoalan belum selesai bagi pemerintah khususnya, dan juga KPU. Apakah konflik
internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan tetap dibiarkan sehingga
mereka tidak bisa mengajukan calon?
Dengan
asumsi pemerintah juga ikut memperuncing konflik internal PPP, tentu saja
mediasi oleh pemerintah pun menjadi sebuah kebutuhan. Di hadapan pemerintah,
PPP patut mendapat perlakuan pantas. Bila pemerintah c.q. Wapres JK sudah
bekerja keras menghadirkan Golkar di Pilkada 2015 maka pemerintah pun harus
mencari formula lain yang relevan supaya hak PPP mengajukan calon di pilkada
tidak hilang begitu saja. Sebagai cerminan kedewasaan demokrasi, Pilkada 2015
itu monumental karena dilaksanakan di ratusan daerah.
Patut
disebut monumental karena untuk kali pertama bangsa ini mengambil keputusan
berani menyelenggarakan pilkada serentak di 204 daerah otonomi, meliputi 197
kabupaten/kota dan 7 provinsi Pilkada serentak tidak hanya mencerminkan
kepercayaan diri bangsa yangmakin kuat, tetapi juga menyajikan potret tumbuh
kembangnya demokrasi.
Artinya,
Pilkada 2015 jadi pertaruhan besar tidak hanya bagi pemerintah tapi juga bagi
citra bangsa. Bisa dipastikan pada Desember 2015 mata dunia fokus menyimak
pesta demokrasi itu.
Karena
itu, persiapan dan pelaksanaan Pilkada 2015 harus tampak elok, fair, dan
demokratis. Satu masalah besar sudah teratasi melalui islah sementara di tubuh
Golkar. Masih ada persoalan yang berisiko jadi faktor pengganggu, yakni
dualisme kepengurusan di PPP.
Pada
kasus Golkar, dapat diasumsikan pemerintah sangat tahu dan paham bagaimana bisa
mewujudakn islah sementara. Maka dalam kasus PPP, asumsi yang sama juga berlaku
bahwa pemerintah paling tahu bagaimana harus mendamaikan kedua kubu yang
berkonflik.
Menerapkan
manajemen konflik itu kadang tidak murah. Untuk menghindari kerugian besar,
manajemen konflik itu tidak boleh berkepanjangan. Siapa yang mulai memicu
konflik, dia pula yang mestinya tahu bagaimana mengakhiri konflik itu. []
SUARA
MERDEKA, 9 Juni 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, anggota Komisi
III DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar