Jumat, 12 Juni 2015

BamSoet: Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri



Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri
Oleh: Bambang Soesatyo

“Pemerintah harus mencari formula relevan supaya hak PPP mengajukan calon di pilkada tidak hilang”

KONFLIK internal Partai Golkar meruncing karena kehadiran dan peran penguasa di dalamnya. Islah terbatas dua kubu kepengurusan Golkar pun bisa terwujud berkat mediasi penguasa. Kau (penguasa) yang memulai, kau (penguasa) pula yang mengakhiri konflik itu, walaupun untuk sementara.

Kerja keras Wapres menghadirkan Golkar sebagai peserta pilkada mencerminkan kesadaran sekaligus kekhawatiran pemerintah atau penguasa. Pesta demokrasi tingkat daerah itu bisa disebut abnormal atau cacat jika Golkar absen mengingat ia peraih suara terbanyak kedua dalam Pileg 2014.

Andai absennya Partai Golkar dalam Pilkada 2015 diakibatkan oleh kesalahan sendiri, mungkin wajar dan tidak aneh. Tapi andai halangan itu disebabkan ulah oknum penguasa mengeskalasi konflik internal Golkar maka pemerintah dan KPU sebagai penanggung jawab dan penyelenggara Pilkada 2015 akan dipermalukan.

Pasalnya, bakal ada noda besar dalam catatan Pilkada 2015. Memang, kalau dua kubu kepengurusan Golkar bersikeras menolak gencatan senjata, kader unggulan partai itu di semua daerah hanya menjadi penonton atau penggembira pilkada. Pengajuan calon oleh Golkar bisa teradang oleh Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan.

Tapi faktor penghambat ini bisa diterobos Golkar setelah dua kubu melakukan pertemuan keenam dan menyepakati gencatan senjata. Islah terbatas itu ditandai oleh penekenenan dokumen kesepakatan di rumah dinas Wapres JK di Menteng, Jakarta, Sabtu (30/5) sore.

Draf islah itu memuat 4 poin kesepakatan tentang pengajuan calon pemimpin daerah dalam Pilkada 2015. Poin pertama mencantumkan kesepakatan kedua kubu untuk mendahulukan kepentingan Golkar, sehingga calon kepala daerah yang diusung Golkar dapat diusulkan dalam pilkada.

Poin kedua mencantum kesepakatan membentuk tim penjaringan bersama di daerah yang akan melaksanakan pilkada, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Poin ketiga menyebutkan calon yang diajukan harus memenuhi kriteria yang disepakati bersama. Poin keempat menyebutkan untuk pendaftaran calon kepala daerah yang diajukan pada Juli 2015, usulan dari Golkar ditandatangani oleh DPP Partai Golkar yang diakui oleh KPU.

Dengan poin-poin kesepakatan itu, Golkar sebagai partai peraih urutan kedua suara terbanyak Pileg bisa tampil di Pilkada 2015. Para calon gubernur, calon bupati dan calon wali kota dari Partai Golkar di berbagai daerah bisa mendaftarkan kepesertaan mereka di KPU di daerah masing-masing.

Monumental

Tapi persoalan belum selesai bagi pemerintah khususnya, dan juga KPU. Apakah konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan tetap dibiarkan sehingga mereka tidak bisa mengajukan calon?

Dengan asumsi pemerintah juga ikut memperuncing konflik internal PPP, tentu saja mediasi oleh pemerintah pun menjadi sebuah kebutuhan. Di hadapan pemerintah, PPP patut mendapat perlakuan pantas. Bila pemerintah c.q. Wapres JK sudah bekerja keras menghadirkan Golkar di Pilkada 2015 maka pemerintah pun harus mencari formula lain yang relevan supaya hak PPP mengajukan calon di pilkada tidak hilang begitu saja. Sebagai cerminan kedewasaan demokrasi, Pilkada 2015 itu monumental karena dilaksanakan di ratusan daerah.

Patut disebut monumental karena untuk kali pertama bangsa ini mengambil keputusan berani menyelenggarakan pilkada serentak di 204 daerah otonomi, meliputi 197 kabupaten/kota dan 7 provinsi Pilkada serentak tidak hanya mencerminkan kepercayaan diri bangsa yangmakin kuat, tetapi juga menyajikan potret tumbuh kembangnya demokrasi.

Artinya, Pilkada 2015 jadi pertaruhan besar tidak hanya bagi pemerintah tapi juga bagi citra bangsa. Bisa dipastikan pada Desember 2015 mata dunia fokus menyimak pesta demokrasi itu.

Karena itu, persiapan dan pelaksanaan Pilkada 2015 harus tampak elok, fair, dan demokratis. Satu masalah besar sudah teratasi melalui islah sementara di tubuh Golkar. Masih ada persoalan yang berisiko jadi faktor pengganggu, yakni dualisme kepengurusan di PPP.

Pada kasus Golkar, dapat diasumsikan pemerintah sangat tahu dan paham bagaimana bisa mewujudakn islah sementara. Maka dalam kasus PPP, asumsi yang sama juga berlaku bahwa pemerintah paling tahu bagaimana harus mendamaikan kedua kubu yang berkonflik.

Menerapkan manajemen konflik itu kadang tidak murah. Untuk menghindari kerugian besar, manajemen konflik itu tidak boleh berkepanjangan. Siapa yang mulai memicu konflik, dia pula yang mestinya tahu bagaimana mengakhiri konflik itu. []

SUARA MERDEKA, 9 Juni 2015
Bambang Soesatyo | Sekretaris Fraksi Partai Golkar, anggota Komisi III DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar