Selasa, 09 Juni 2015

Kang Komar: Topeng Bernama Ijazah



Topeng Bernama Ijazah
Oleh: Komaruddin Hidayat

Memakai topeng tutup muka itu punya nilai estetika dan hiburan ketika dilakukan dalam panggung pertunjukan semisal wayang atau sinetron. Tapi ketika topeng itu tidak sesuai dengan ukuran muka, akan cepat melelahkan bagi yang mengenakannya.

Kalau dalam tindakan kriminal, topeng dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan wajah aslinya untuk mengelabui orang lain. Makanya para penjahat sering mengenakan topeng, misalnya para perampok. Sekarang ini ada fenomena topenggaya baru berna maijazah dan titel kesarjanaan.

Pada awalnya titel sarjana itu sebagai bukti dan indikasi bahwa seseorang telah berhasil menguasai disiplin keilmuan tertentu sehingga dipercaya memiliki kompetensi atau keahlian tertentu yang berbasis keilmuan. Lalu yang bersangkutan berhak menyandang titel kesarjanaan, misalnya saja doktor.

Pada dekade 1970-an, siapa pun yang berhasil jadi sarjana akan sangat mudah mendapatkan pekerjaan, khususnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Perlu ditekankan sekali lagi bahwa ijazah dan titel sarjana adalah sekadar tanda bahwa seseorang telah menamatkan studi. Yang bernilai autentik itu bukan tandanya berupa selembar ijazah atau titel yang disandangnya, melainkan kualitas orangnya.

Ketika ada orang terobsesi dengan ijazah dan titel sarjana yang terpisah dari kualitas keilmuannya, yang demikian itu tak ubahnya seseorang mengenakan topeng. Fungsinya mungkin saja untuk mengelabui orang lain sebagai kedok untuk menutupi wajah aslinya yang ingin disembunyikan atau sengaja memerankan diri sebagai badut.

Sejak masih mahasiswa di tahun 1980-an saya sudah mendengar cerita adanya jual beli penyusunan skripsi di beberapa kota. Tapi waktu itu belum meluas dan terang-terangan seperti yang terjadi hari-hari ini. Maraknya ijazah palsu masih serumpun dengan plagiat, mencontek waktu ujian, memalsukan tanda tangan daftar hadir kuliah, membeli jasa untuk menyusun skripsi, tesis, dan disertasi.

Kesemuanya itu masih senapas dengan korupsi, menipu orang lain, serta merendahkan martabat dirinya. Lebih jauh lagi mereka itu telah merusak dunia pendidikan dan keilmuan. Lebih menyakitkan lagi diberitakan bahwa yang juga menyandang titel dan memiliki ijazah palsu adalah pejabat negara. Mereka jadi badutbadut yang menjijikkan dan telah menipu orang lain.

Bahkan juga anggota keluarganya. Bisakah pemerintah memberantasnya? Jawabnya tentu bisa. Tapi saya pesimistis mengenai siapa, dengan cara apa, dan berapa lama bisa diberantas. Alasan saya sederhana saja. Saat ini, sudah ada KPK saja korupsi masih marak. Kayu gelondongan berkubik-kubik bisa diselundupkan. Dana APBN ditilap. Dibandingkan dengan semua itu, jual beli jasa agar seseorang mendapatkan ijazah sarjana tanpa jerih payah menghadiri kuliah dan menulis skripsi jauh lebih mudah.

Syaratnya, mengorbankan integritas dan menyediakan uang suap. Wajah dunia pendidikan memang mengenaskan. Perburuan bocoran soal ujian masih juga terjadi. Ada lagi manipulasi angka rapor para siswa untuk mendongkrak agar sebuah sekolahdicitrakanbaguskualitas pembelajarannya. Jangan tanya kualitas dan pemerataan guru bagus.

Saat ini masih banyak wilayah yang sangat tertinggal dan sekarang masyarakat disuguhi berita beredarnya ijazah palsu yang sesungguhnya sudah lama berlangsung. Ketika ijazah tadi dijadikan modal masuk PNS ataupun promosi jabatan, bisa dibayangkan betapa rapuh dan busuk tubuh birokrasi kita.

Banyaknya jumlah penduduk dan universitas ternyata belum sanggup bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam pengembangan dan inovasi sains dan teknologi modern. Yang justru heboh adalah pertikaian politik dan ijazah palsu. Memalukan dan menyedihkan. []

Koran SINDO, 5 Juni 2015
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar