KPA dan
P2K
Oleh:
Dahlan Iskan
ADA
baiknya orang tahu ini. Proyek-proyek gardu induk PLN yang dibiayai uang negara
(APBN) itu ditangani oleh satu organisasi yang disebut P2K. Itu singkatan
Pejabat Pembuat Komitmen. P2K itu didampingi oleh bendahara, tim pemeriksa
barang, tim penerima barang dan tim pengadaan.
Seluruh
pejabat di situ pegawai PLN, tapi yang mengangkat mereka menjadi P2K adalah
menteri ESDM. Mengapa? Karena Pengguna Anggarannya (PA) adalah menteri ESDM.
Dalam hal ini, Dirut PLN (waktu itu saya), sebagai Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA).
Mengapa
Menteri ESDM yang mengangkat pejabat pelaksana proyek itu? Mengapa bukan
KPA/Dirut PLN yang mengangkatnya? Kepresnya berbunyi begitu. Yakni Kepres
54/2010.
Wewenang
P2K itu luar biasa besar. Merekalah yang berwenang melakukan lelang/tender.
Merekalah yang menentukan pemenang tender. Merekalah yang membuat dan
menandatangani kontrak. Merekalah yang melaksanakan pekerjaan. Dan mereka
pulalah yang melakukan pembayaran.
Untuk
melakukan semua itu, P2K tidak perlu meminta persetujuan KPA/Dirut PLN.
Ketentuannya memang begitu.
Jadi
kalau saya tidak mencampuri lelang, siapa pesertanya, siapa pemenangnya dan
bagaimana pengadaan barangnya, memang karena mereka tidak perlu minta
persetujuan KPA/Dirut PLN.
Demikian
juga saat mereka membayar. Tidak perlu minta persetujuan KPA/Dirut PLN.
Ketentuannya memang begitu. Dan mereka melaksanakan ketentuan itu.
Apalagi
saya hanya 22 bulan di PLN. Dengan demikian, saya sudah tidak di PLN ketika
kontrak-kontrak ditandatangani. Saya juga sudah tidak di PLN ketika
pembayaran-pembayaran dilakukan.
P2K itu
setiap bulan sekali melakukan rapat koordinasi dengan kementerian ESDM. Saya
tentu harus hadir. Tapi kebetulan saya belum pernah ikut hadir. Ini karena
sudah menjadi kebiasaan sejak lama bahwa dalam rapat koordinasi seperti itu
cukup dihadiri pejabat setingkat di bawah direksi.
Saya
berterima kasih ketika kemarin direksi PLN menjelaskan semua itu kepada saya.
Tentu
saya tetap merasa bersalah kalau terjadi apa-apa di P2K dan jajarannya. Seperti
juga saya akan merasa bersalah kalau anak saya nakal. (*)
JAWA POS,
11 Juni 2015
Dahlan Iskan | Mantan CEO Jawa Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar