Mental
Pancasila
Oleh:
Yudi Latif
Setelah
70 tahun Pancasila hadir sebagai dasar dan haluan kenegaraan, langit kejiwaan
bangsa ini lebih diliputi awan tebal pesimisme, ketimbang cahaya optimisme.
Suasana kemurungan itu amat melumpuhkan.
Berbeda
dengan pemikiran konvensional yang memandang kesuksesan sebagai pendorong
optimisme, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin
Seligman, optimismelah yang mendorong kesuksesan. Impian kemajuan suatu
bangsa tak bisa dibangun dengan pesimisme. Tentu saja yang kita perlukan
bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka.
Suatu harapan yang berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan.
Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Upaya menyemai politik harapan harus
memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang
masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan.
Pancasila
sesungguhnya bisa memberikan landasan visi transformasi sosial yang holistik
dan antisipatif. Berdasarkan pandangan hidup Pancasila, perubahan
sistem sosial merupakan fungsi dari perubahan pada ranah mental-kultural
(sila ke-1,2,3), ranah politikal (sila ke-4), dan ranah material (sila
ke-5).
Tiga
ranah revolusi
Untuk
mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini, imperatif Pancasila
menghendaki adanya perubahan mendasar secara akseleratif, yang melibatkan
revolusi material, mental-kultural, dan politikal. Revolusi (basis)
material diarahkan untuk menciptakan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan
berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong royong) dan
penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting-yang menguasai hajat
hidup orang banyak, serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.
Revolusi
(superstruktur) mental-kultural diarahkan untuk menciptakan masyarakat
religius yang berperikemanusiaan, yang egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas
dari berhala materialisme-hedonisme; serta sanggup menjalin persatuan (gotong
royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).
Revolusi
(agensi) politikal diarahkan untuk menciptakan agen perubahan dalam bentuk
integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi
persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan); dengan
pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan.
Ketiga
ranah revolusi itu bisa dibedakan, tetapi tak dapat dipisahkan. Satu sama lain
saling memerlukan pertautan secara sinergis. Selaras dengan gagasan Trisakti
Bung Karno, revolusi material diusahakan agar bangsa Indonesia bisa berdikari
(mandiri) dalam perekonomian; revolusi mental agar bangsa Indonesia bisa
berkepribadian dalam kebudayaan; revolusi politik, agar bangsa Indonesia bisa
berdaulat dalam politik. Secara sendiri-sendiri dan secara simultan ketiga
ranah revolusi itu diarahkan untuk mencapai tujuan Revolusi Pancasila:
mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur (material dan spiritual).
Revolusi
mental
Revolusi
mental merupakan salah satu unsur dari Revolusi Pancasila. Revolusi mental ini
diorientasikan agar mental Pancasila bisa menjiwai dan mendorong perubahan di
bidang material dan politik yang sejalan dengan idealitas Pancasila.
Istilah
mental berasal dari kata Latin mens(mentis) yang berarti jiwa, nyawa, sukma,
roh, semangat. Mental dapat diartikan sebagai suasana kejiwaan dan pola
pikir (mindset) seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan pengertian itu,
inti dari Revolusi Mental adalah perubahan mendasar pada pola pikir dan sikap
kejiwaan bangsa Indonesia, sebagai prasyarat bagi perwujudan karakter yang bisa
membuat bangsa berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan
berkepribadian dalam kebudayaan.
Gerakan
Revolusi Mental ini berangkat dari asumsi bahwa dengan mengubah mentalitas akan
menimbulkan perubahan perilaku; perilaku yang terus diulang akan menjadi
kebiasaan (adat istiadat/moralitas); sedangkan kebiasaan yang terus
dipertahankan akan membentuk karakter. Dengan demikian, yang dikehendaki dari
gerakan "Revolusi Mental" tidak berhenti pada perubahan pola pikir
dan sikap kejiwaan saja, tetapi juga konsekuensi turunannya dalam bentuk
perubahan kebiasaan serta pembentukan karakter yang menyatukan antara pikiran,
sikap, dan tindakan sebagai suatu integritas.
Dasar dan
haluan pembangunan mental-karakter ini adalah nilai Pancasila, terutama sila
ke-1, 2 dan 3. Menurut pandangan hidup Pancasila, keberadaan manusia merupakan
ada yang diciptakan oleh cinta kasih Sang Maha Pencipta sebagai ada pertama. Di
hadapan Sang Maha Kasih, semua manusia sederajat, yang melahirkan
semangat-mental egalitarisme. Setiap pribadi dimuliakan Sang Pencipta dengan
bawaan hak asasi yang tak bisa dirampas, seperti hak hidup, hak milik dan kehormatan-kemerdekaan
(dignitas), dengan kedudukan sama di depan hukum.
Penghormatan
terhadap eksistensi individu dan hak asasinya tidak berarti harus mengarah pada
individualisme. Individualisme memandang bahwa manusia secara perseorangan
merupakan unit dasar dari seluruh pengalaman manusia. Postulat dasar dari
individualisme adalah otonomi independen dari setiap pribadi. Ungkapan yang
sangat terkenal dari individualisme menyatakan: "Kamu datang ke dunia
seorang diri dan meninggalkan dunia seorang diri." Meski
kenyataannya tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia secara sendirian. Selalu
ada ibu dan budaya komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya hingga ke
"tempat peristirahatan yang terakhir".
Apa yang
menjadi karakteristik dari individualisme adalah keyakinan implisit bahwa
relasi sosial bukanlah pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling
fundamental. Dengan kata lain, perseorangan tak dipandang sebagai produk
relasi-relasi sosial. Relasi sosial adalah sesuatu yang terjadi pada individu
ketimbang sesuatu yang mendefinisikan identitas dan mengoordinasikan eksistensi
individu. Individu tidaklah dibentuk dan diubah secara fundamental oleh relasi
sosial. Karena itu, tetap sebagai pribadi yang otonom-independen (Gilbert,
2014: 29-34).
Berbeda
dengan individualisme, Pancasila memandang bahwa dengan segala kemuliaan
eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri
sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan
dibentuk oleh jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup
di bawah keadaan yang sangat luar biasa, bergantung pada bentuk-bentuk kerja
sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan
potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan kondisi-kondisi material dasar
untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.
Tanpa
kehadiran yang lain, manusia tidak akan pernah menjadi manusia sepenuhnya.
Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam
kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, selain menjadi manusia yang baik,
manusia harus membentuk kolektivitas yang baik. Dalam kaitan ini,
pengembangan mental-karakter harus berorientasi ganda: ke dalam dan ke luar. Ke
dalam, pengembangan mental-karakter harus memberi wahana kepada setiap individu
untuk mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus"
("diferensiasi") dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam,
setiap orang memiliki keistimewaan-kecerdasannya masing-masing. Proses
pengembangan mental-karakter harus membantu manusia menemukenali kekhasan
potensi diri tersebut sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri
itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar.
Sementara
keluar, pengembangan mental-karakter harus memberikan wahana setiap orang untuk
mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem
pengetahuan, dan sistem perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa, olah
karsa, dan olah raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat
menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik
atau lebih buruk.
Dalam
menghadirkan kolektivitas yang baik, setiap pribadi memiliki kewajiban sosial
(bahkan dituntut untuk mendahulukan kewajiban di atas hak). Seturut dengan itu,
selain ada hak individu ada pula hak kolektif (ekonomi, sosial, budaya)
yang-dalam banyak sejarah sosial-mendahuluinya. Sebagai padanan dari semangat
egaliterianisme pada lever pribadi, bangsa Indonesia sebagai suatu kolektivitas
juga harus memperoleh, bahkan harus terlebih dahulu memperoleh, hak
kemerdekaannya. Inilah pesan moral dari alinea pertama UUD 1945, "Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa".
Sikap
mental yang harus ditumbuhkan sebagai ekspresi kemerdekaan bangsa ini adalah
mental kemandirian. Kemandirian tidaklah sama dengan kesendirian. Kemandirian
adalah sikap mental yang bisa dan berani berpikir, bersikap, dan bertindak
secara berdaulat, bebas dari intervensi dan paksaan pihak-pihak lain.
Menumbuhkan mental mandiri, selain mensyaratkan mental egaliter, juga
meniscayakan adanya kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas berbasis sains
dan teknologi. Kemandirian kolektif bangsa Indonesia juga bisa tumbuh secara
ajek jika warga Indonesia bisa menunaikan kewajiban publiknya secara amanah,
jujur, dan bersih. Kolektivitas yang tidak disertai mentalitas kejujuran akan merobohkan
kemandirian bangsa. Dalam suatu bangsa di mana korupsi merajalela, kedaulatan
bangsa tersebut mudah jatuh ke dalam dikte-dikte bangsa lain.
Selain
semangat-mental egaliter, mandiri dan amanah, manusia sebagai makhluk religius
yang berperikemanusiaan juga harus membebaskan dirinya dari berhala
materialisme dan hedonisme. Kegagalan proyek emansipasi Revolusi Perancis yang
melahirkan tirani kapitalis dan Revolusi Rusia yang melahirkan tirani
"nomenklatura" terjadi karena keduanya sama- sama terpenjara dalam
pemujaan terhadap materialisme. Menurut pandangan hidup Pancasila, materi itu
penting, tetapi tak boleh diberhalakan. Di hadapan Yang Maha Kuasa, materi itu
bersifat relatif yang tak dapat dimutlakkan.
Dengan
semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan, materi sebagai hak milik itu
memiliki fungsi sosial yang harus digunakan dengan semangat altruis
(murah hati). Dengan mental altruis, manusia Indonesia sebagai
makhluk sosial dapat mengembangkan pergaulan hidup kebangsaan yang ditandai
oleh segala kemajemukannya dengan mentalitas gotong royong, Bhinneka Tunggal
Ika (persatuan dalam keragaman). Dengan semangat gotong royong, persatuan warga
Indonesia bisa dikembangkan dengan menghargai adanya perbedaan; sedangkan dalam
perbedaan bisa merawat persatuan.
Untuk
bisa menumbuhkan mentalitas persatuan dalam keragaman itu diperlukan
semangat-mental pengorbanan dan pelayanan. Ujung dari semangat persamaan,
kemandirian, kejujuran, alturisme dan persatuan adalah pelayanan
kemanusiaan. Makna pelayanan di sini bukan hanya dalam bentuk kesiapan
mental untuk menunaikan kewajiban sosial sesuai dengan tugas dan fungsi, tetapi
juga dalam bentuk kerja keras dan kerja profesional dalam mengaktualisasikan
potensi diri hingga meraih prestasi tertinggi di bidang masing-masing, yang
dengan itu memberikan yang terbaik bagi kemuliaan bangsa dan umat manusia.
Demikianlah
pandangan hidup Pancasila sudah mengandung bawaan mentalitasnya tersendiri.
Oleh karena itu, gerakan Revolusi Mental tidak perlu memungut jenis-jenis
mentalitas itu dari udara. Yang diperlukan tinggal menentukan mentalitas inti
sebagai prioritas perubahan. Logika revolusi menghendaki, "sekali revolusi
dicetuskan, ia harus diselesaikan; tidak boleh ditinggalkan di tengah jalan
sebelum tujuan revolusi itu tercapai, setidaknya hingga taraf minimum".
Oleh karena itu, kita menunggu realisasi gerakan Revolusi Mental yang
dicanangkan pemerintahan ini secara konsisten. []
KOMPAS,
28 Mei 2015
Yudi
Latif, Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar