Senin, 08 Juni 2015

Azyumardi: Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu



Gelar Akademik dengan Ijazah Palsu
Oleh: Azyumardi Azra

Gelar akademik dengan ijazah palsu kembali menjadi berita besar di tanahair. Sejumlah ‘perguruan tinggi’ di negeri ini dicurigai sebagai pihak yang bertanggungjawab mengeluarkan ijazah dan gelar akademik palsu (fake degrees). Pihak ini tentu saja membantah. Tapi ada di antara mereka yang segera membuang kartu namanya dengan gelar akademik yang diperoleh secara tidak benar.

Pada akhir 1990an kehebohan yang sama juga terjadi di tanahair. Pada waktu tersebut ada sejumlah pejabat tinggi, birokrat pemerintahan dan anggota legislatif yang juga menggunakan gelar akademik yang mereka peroleh secara tidak wajar. Misalnya saja, seluruh apa yang mereka kerjakan diberi nilai SKS sehingga mereka tidak perlu kuliah beberapa semester seperti lazimnya. Kemudian mereka diwisuda di Singapura atau Taiwan misalnya.

Dari pihak pemberi gelar akademik dengan ijazah palsu, motif pokoknya tidak lain hanya bisnis dan keuntungan. ‘Usaha’ ini termasuk lukratif—mendatangkan banyak uang karena mereka yang tergoda mendapatkan gelar akademik dan ijazah palsu mau membayar biaya yang boleh jadi mencapai ratusan juta rupiah. Tawaran ini ‘too good to be true’, ‘terlalu bagus untuk benar’; tapi tetap saja ada orang-orang yang ‘termakan’, bahkan dengan biaya besar.

Tidak ada data berapa jumlah dana yang berhasil dikeruk pihak pemberi gelar dan ijazah palsu di Indonesia atau negara-negara lain. Yang jelas pasti melibatkan dana dalam jumlah besar—ratusan juta dollar setiap tahun.

Sebagai perbandingan, Harian The New York Times 17 Mei 2015 dan juga BBC 28 Mei 2015 melaporkan terbongkarnya sindikat pemberi gelar palsu di Pakistan. Gelar akademik dan ijazah palsu itu diberikan Perusahaan Axact dalam berbagai bidang dengan bayaran antara USD 2,000 sampai USD 30 ribu. Bahkan ada kelompok orang yang memperoleh gelar akademik dengan ijazah palsu secara patungan mengumpulkan dana 600 ribu dolar.

Sulit diperkirakan jumlah mereka yang telah menjadi korban Axact yang didirikan pada 1997 oleh seorang bernama Sheikh Shoaib. Kini ia memperkerjakan sekitar 25 ribu pegawai yang bekerja di 120 negara yang gentayangan menawarkan berbagai gelar akademik palsu—termasuk melalui sekitar 370 situs di dunia maya. Jadi, penjualan gelar akademik dan ijazah palsu ini bukan usaha bisnis main-main. Koran The New York Times 14 Mei 2015 menyebutnya sebagai ‘kerajaan pendidikan yang besar’ (vast education empire).

Nama ‘universitas’ yang lazim digunakan aneh dan tidak biasa semacam ‘Grant Town University’, ‘Nixon University’, ‘Barkley University’—yang terakhir ini juga beroperasi di Indonesia. Lazimnya mereka menggunakan nama yang mirip nama universitas resmi, terkenal dan terakreditasi.

Tetapi bisa dipastikan, ‘universitas’ semacam ini tidak ada dalam daftar nama universitas yang diakui dan terakreditasi di Amerika Serikat atau negara lain di mana mereka beroperasi.Tetapi sebagian lagi, pemberi gelar dan ijazah palsu itu terdaftar; cuma mereka senang memberi ijazah dan ijazah tanpa memenuhi persyaratan. Singkatnya, mereka ini ‘mengobral’ gelar dan ijazah.

Terlepas dari perbedaan kategorisasi semacam di atas, yang jelas mereka memberikan gelar akademik dan ijazah dengan tidak memenuhi standar dan parameter akademik yang lazim. Karena itu, di AS mereka lazim disebut sebagai ‘diploma mills’ alias ‘pabrik ijazah’.

Kenapa ‘pabrik ijazah’ merajalela di seluruh dunia? Pertama karena tidak ada hukum yang tegas-tegas melarangnya, seperti di AS. Karena itu, mereka menggunakan ‘celah hukum’ untuk terus mempertahankan bisnis gelar dan ijazah palsu tersebut ke seluruh dunia.

Jika pun ada hukumnya—seperti ada di Indonesia—hampir tidak ada kontrol dan pengawasan keras dan konsisten dari penanggungjawab pendidikan tinggi. Pihak ini baru bertindak setelah ada kehebohan. Setelah itu kembali diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Lalu perbuatan nista ini kembali lagi berulang.

Penyebab kedua adalah gengsi terhadap kredensial akademik. Ada orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah (atau pejabat publik) dan swasta yang sebenarnya tidak memerlukan gelar akademik dalam pekerjaan masing-masing-justru memiliki pretensi untuk berbobot akademik. Dengan gelar (palsu) mungkin mereka merasa lebih berwibawa dan, karena itu, bakal lebih dihormati publik.

Di pojok dunia manapun, termasuk di AS, Indonesia dan banyak negara lain ada orang-orang gila gelar seperti itu. Pada 2004, Laura Callahan, pejabat Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS, mengundurkan diri setelah dia diketahui menerima gelar ‘PhD’ dari Hamilton University yang tidak terakreditasi. ‘Hamilton University’ ini berbeda dengan Hamilton College yang terakreditasi sepenuhnya di Clinton, New York.

Apakah ada pejabat publik Indonesia yang juga menggunakan gelar dan ijazah palsu yang mau mengundurkan diri? Nampaknya bakalan tidak ada karena gejalanya seolah tak ada lagi rasa malu melakukan perbuatan tercela itu.

Karena itu sudah waktunya pretensi akademik mereka yang tidak mengajar di kampus dihilangkan. Pada saat yang sama rasa malu kembali diperkuat dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa rasa malu dan rasa bersalah—seperti dalam kasus gelar akademik dengan ijazah palsu—bakal tetap merajalela. []

REPUBLIKA, 04 Juni 2015
Azyumardi Azra Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar