Puasa,
Keadilan dan Kejujuran
Oleh:
Mohamad Sobary
Puasa, ya
puasa. Kita tahu, ini rukun ketiga dalam lima rukun Islam yang kita junjung
tinggi dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, lahir maupun batin.
Semua
orang tahu, puasa itu kewajiban manusia yang diturunkan Tuhan
bergenerasi-generasi sebelum zaman kenabian Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW,
berlanjut terus di zaman kita hingga kelak di akhir zaman.
Ajaran
yang turun dari ”langit” itu banyak diwarnai tradisi, yang berbau ”bumi”. Dulu
puasa, ya puasa begitu saja. Sekarang, sejak kira-kira tahun 1990, berlanjut
hingga tahun 2000-an ini, puasa diawali dengan tradisi maaf-memaafkan, seperti
tradisi lebaran.
Warna
tradisi juga tampak pada buka bersama, dengan meriah, dan penuh persaudaraan
yang hangat. Di masjid-masjid kampung, buka bersama diselenggarakan secara
sederhana. Kue dan minuman serbamanis disediakan bagi yang berpuasa. Kemudian
salat magrib berjamaah. Sesudah salat tarawih, makanan serupa disediakan. Dan
itulah yang membuat tarawih berlangsung sangat meriah.
Bocah-bocah
ikut pula salat tarawih. Mereka pun tampak begitu bersemangat.
Saking
semangatnya, sering terasa bahwa mereka mengganggu kekhusyukan orang-orang
dewasa. Tapi gangguan itu diterima sebagai kebaikan yang begitu megah, karena
bocah-bocah malah dianggap ukuran kekhusyukan yang nyata. Bila dalam kebisingan
itu orang dewasa tetap bisa salat dengan khusyuk, tak diragukan, mereka memang
sudah sampai pada tingkat orangorang yang khusyuk.
***
Relasi
dinamis antara apa yang berupa ”ajaran” dan apa yang ”tradisi”, membuat jiwa
kita bergetar. Kita menjadi saksi bahwa apa yang bersifat ”langit” itu dibikin
subur oleh apa yang merupakan unsurunsur ”bumi”. Dengan kata lain, ajaran
”langit” itu tidak tumbuh di batu karang yang kering kerontang, melainkan
dipersubur oleh kebudayaan. Agama tumbuh bersama kebudayaan.
Tak
diragukan, berkat kebudayaan pula maka tiap pada menjelang berakhirnya Ramadan
kita berdoa dengan harapharap cemas, semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita
lagi dengan bulan Ramadan tahun berikutnya. Doa itu kita sertai tangis dan
tetesan air mata. Ini air mata orang beriman, yang tulus dalam imannya, tulus
kata-kata dan segenap doanya. Tulus pula segenap amalannya.
Ini wujud
amal ikhlas. Bagi kaum terpelajar, amal ikhlas itu menjadi amalan ilmiah,
sekaligus ilmu yang bersifat amaliah. Jadi, ilmunya bukan untuk kepentingan
diri sendiri. Dia bukan jenis ilmuwan yang sikap keilmuannya jauh dari sentuhan
kehidupan. Dia memahami kemuliaan Ramadan.
Tahun ini
kita bertemu lagi dengan Ramadan. Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Doa
kita dikabulkan. Alhamdulillah.
Kita
menyambut kembali bulan suci Ramadan dengan rasa syukur yang tak terkira. Kita
siap menjalankan kewajiban berpuasa lagi, seperti tahun lalu. Jika berpuasa
hanya berarti tidak makan dan tidak minum sepanjang hari selama sebulan,
kewajiban suci itu tidak berat. Meskipun begitu, mengapa masih ada saja orang
yang tidak kuat menanggungnya?
Untuk
jiwa-jiwa yang boleh disebut telah ”teruji”, tidak makan, tidak minum dan tidak
melakukan hubungan suami-istri pada siang hari pun tidak seberapa. Ini bukan
kewajiban berat. Tapi tuluskah kita mengerjakannya? Ini pertanyaan penting.
Ibadah tanpa ketulusan akan kehilangan makna pentingnya.
Kita rela
berpuasa untuk Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pengasih, tanpa berharap apa pun.
Tuhan memerintahkan, kita menjalankannya. Relasi Tuhan-hamba yang ditandai
keikhlasan di sini mungkin seperti gambaran sikap raja sufi wanita, Rabiah al
Adawiah, yang berpuisi dengan penuh kemegahan: ”Tuhan, aku menyembah-Mu bukan
karena aku takut akan neraka-Mu. Aku menyembah-Mu, juga bukan karena aku
mengharapkan surga-Mu. Tapi aku menyembah-Mu karena aku memang wajib
menyembah-Mu”.
Siapa di
antara kita yang memiliki maqom rohaniah setingkat ini? Siapa yang memiliki
keikhlasan seperti Adawiah? Bagi raja sufi dari Basrah ini, neraka dan
surgaloka bukan isu penting. Baginya, yang terpenting, ialah kebersamaannya
dengan Tuhan, Allah yang Mahatinggi itu sendiri.
Baginya,
di neraka tak menjadi soal, asal bersama Tuhan yang Mahatinggi. Di surgaloka
pun dia gembira selama berkah Allah melimpah padanya. Sufi memang bukan orang
biasa. Al Adawiah bahkan disebut rajanya para raja kaum sufi.
Ikhlas
dalam ibadah ini terbentuk bersama dengan lahirnya kejujuran. Keikhlasan dan
kejujuran itu saling membentuk, saling memperkuat. Di tangan hamba-hamba Allah
yang memiliki watak adil dan jujur, ibadah puasa niscaya bergema di
lembah-lembah, di bukit-bukit, dan di langit tertinggi. Puasa mereka jelas
bukan puasa biasa.
Tapi kita
juga diminta agar puasa kita memiliki dimensi keadilan dan kejujuran. Puasa
melatih kita menjadi pribadi yang adil. Mula-mula kita adil pada diri sendiri.
Kita adil sejak dalam pemikiran, adil di dalam sikap, dan adil di dalam segenap
tindakan kita. Sesudah itu kita adil pada sesama manusia.
***
Puasa
juga merupakan latihan untuk menjadi pribadi yang jujur. Kita jujur pada diri
sendiri, jujur pada manusiamanusia lain, jujur pada Allah yang Mahatinggi.
Kejujuran membuat puasa kita memiliki dimensi rohaniah dan sosial yang tak
main-main. Puasa kita menjadi suatu jenis ibadah yang tidak biasa.
Latihan
puasa tahun demi tahun, untuk membuat kita menjadi pribadi istimewa. Kita
berlatih, tiap saat untuk menjadi insan kamil, manusia sempurna? Mungkin
manusia sempurna itu manusia yang semanusiawi-manusiawinya. Hanya manusia
istimewa yang mampu berpuasa secara istimewa.
Tapi
siapa yang pernah istimewa? Kita hanya manusia biasa. Kemanusiaan kita serba
terbatas. Iman kita terbatas. Puasa kita terbatas. Ada kalanya kita merasa
ikhlas, tapi saat kita merasa bahwa kita bisa bersikap ikhlas, maka keikhlasan
telah meninggalkan kita.
Di saat
lain kita berpuasa dengan sikap adil pada sesama. Kita pernah adil, biarpun
sesaat. Tapi ketika kita hendak mengulanginya sekali lagi, dan hanya sekali
lagi, saat itu pun keadilan menjauh, dan menjauh seolah dia berada di puncak
gunung yang tak terjangkau.
Berabad-abad
kita telah berpuasa. Berabad-abad peradaban diwarnai ibadah seperti itu. Tapi
mengapa puasa demi puasa berlalu tiap tahun, kemudian datang lagi tahun
berikutnya, tak pernah mengubah hidup kita? Negeri kita ini mayoritas rakyatnya
berpuasa setiap tahun, tapi mengapa belum juga mampu menciptakan keadilan?
Mungkinkah
kita salah? Kita berpuasa hanya sekedar berpuasa, dan hanya menderita haus dan
lapar, lelah, dan mengantuk, tanpa mengubah sesuatu di dalam hidup kita? Apa
yang salah dalam puasa kita? Mengapa keadilan dan kejujuran tak mewarnai hidup
kita? []
KORAN
SINDO, 18 Juni 2015
Mohamad Sobary | Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar