Rabu, 24 Juni 2015

Buya Syafii: Antara Pembantu dan Penentu (II)



(Catatan Jelang Muktamar Muhammadiyah ke-47 Di Makassar)
Antara Pembantu dan Penentu (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Bagi Dahlan, menerima tamu-tamu kiri terkesan biasa saja, tanpa beban apa-apa, sekalipun kemudian ada beberapa priyayi anggota Muhammadiyah yang mengundurkan diri sebagai protes atas kedatangan mereka itu. Tidak kurang dari dua setengah jam Semaun dan Darsono menjelaskan faham ISDV itu kepada pimpinan Muhammadiyah. Saya belum menemukan sumber apakah dalam pertemuan ada dialog antara kedua belah pihak. Tetapi yang pasti, bagi ISDV Muhammadiyah perlu didekati, sebagaimana yang dilakukannya terhadap Sarekat Islam. Bedanya, beberapa tokoh Sarekat Islam Semarang terpikat dengan marxisme, sementara Muhammadiyah tidak berganjak dalam pendiriannya.

Sikap terbuka ini terus berlanjut sampai hari ini, sekalipun bisa saja terdapat sekelompok kecil warga Muhammadiyah yang tidak nyaman dengan suasana ini, mungkin karena khawatir  terseret arus. Hanya saja saya belum mendapat informasi tentang adanya warga Muhammadiyah masa sekarang yang meninggalkan organisasi karena perbedaan pandangan, sebagaimana priyayi Kauman pada tahun 1915 itu. Dalam Muhammadiyah, perbedaan sikap terhadap politik semasa tidaklah membawa perpecahan di ranah teologis.

Memang ada saja orang yang takut terseret arus. Tetapi hendaklah difahami bahwa dari si penakut tidak akan muncul perubahan apa pun, apalagi yang mendasar, tentu dengan pertimbangan menjaga status quo dan kenyamanan hidup. Dahlan adalah penentang arus dengan keberanian teologis dan kulturalnya yang luar biasa, bila diukur dengan zamannya, saat perubahan itu dilancarkan. Karena memang bukan berlatar belakang pendidikan Barat, maka demi kemajuan Islam dan umatnya, Dahlan mau belajar kepada mereka yang telah mengenyam sistem pendidikan modern itu. Dengan cara itu, Muhammadiyah berhasil menggumulkan dirinya dengan realitas zaman yang berubah dengan cepat dan berupaya mengawal perubahan itu sambil mempertajam visi Islamnya yang berkemajuan.

Dalam kaitan ini, ada baiknya dikutip pendapat fisikawan ateis yang termasyhur, Stephan W. Hawking yang memberi definisi tentang intelijensi (kecerdasan): “Intelligence is the ability to adapt to change” (Kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan [diri] kepada perubahan). Dahlan jelas memiliki kriteria kecerdasan untuk perubahan itu. Tetapi berbeda dengan Hawking yang di akhir hidupnya merasa tidak lagi memerlukan Tuhan, Dahlan dengan Muhammadiyah ingin menancapkan nilai-nilai ketuhanan itu dalam jiwa manusia agar mereka tidak kehilangan jangkar spiritual dalam menghadapi kedupan duniawi yang sarat godaan dan tantangan.

Demikianlah, dengan bergulirnya zaman Muhammadiyah 27 tahun sepeninggal Dahlan di alam kemerdekaan, merasa perlu mengubah tujuan organisasi. Perubahan AD yang fundamental tentang tujuan terjadi pada Muhammadiyah ke-31 (21-26 Desember 1950) di Yogyakarta. Dalam Fasal 2, perumusan tujuan itu berbunyi: “Maksud Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Dalam suasana kemerdekaan bangsa, gagasan bagi tegaknya sebuah masyarakat Islam di Indonesia dinilai menjadi mungkin. Caranya terbaca dalam Fasal 3g: “Berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.” Tetapi bagaimana gambaran yang relatif utuh tentang corak masyarakat Islam tidak dijelaskan dengan memuaskan. Bagi saya, masyarakat Islam tidak lain dari pada ‘masyarakat adil-makmur’ di bawah pengawasan wahyu.

Era tahun 1950-an adalah tahun pertarungan ideologi politik untuk mencari dan menetapkan Dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Warga Muhammadiyah terlibat dalam suasana pertarungan ini. Bulan September 1955 diselenggarakan Pemilu I untuk DPR dan bulan Desember 1955 untuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD baru bagi Indonesia. Meskipun majelis ini telah bersidang selama tiga tahun dan telah merampungkan sekitar 90% tugas konstitusionalnya, masih ada 10% yang tersisa: pilihan tentang Dasar Negara antara Pancasila dan Islam. Perdebatan tentang masalah krusial ini keras dan panas, tetapi di ujungnya tanpa pemenang. []

REPUBLIKA, 23 Juni 2015, 06:00 WIB
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar