Kamis, 12 April 2018

Gus Dur: Islam: Idiologis Ataukah Kultural? (2)


Islam: Idiologis Ataukah Kultural? (2)
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD) yang mengingkari Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup masyarakat. Dalam hal ini, tentulah masyarakat yang memilih berkeyakinan Islam di Indonesia, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu dalam hubungan formal dan non-formal antara mereka.

Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, dalam tulisan ini dicoba untuk menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lampau yang diperbuat, dalam menyongsong masa depan.

Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing-masing yang saling berbeda. Karena sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, pemerintahan dapat berkembang lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama dan birokrasi yanag tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nanking maupun Beijing. Kedudukan Han Lim sebagai wadah tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan, telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. Sementara APDN (Akademi Pegawai Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Jepang (Universitas Tokyo) dan Perancis (Ecole Superieur) yang berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

*****

Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing-masing, satu sebagai negara daratan (land-based country) di Tiongkok dan satu lagi sebagai negara maritim, sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masing-masing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra Kusuma dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem kepegawaiannya.

Namun, pengenalan anthropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan mereka. Umpamannya saja, kita tunjukkan pada kuatnya akar kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class). Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu semenjak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini, sanggup bertahan bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini.

Sekarangpun, masih belum diketahui bagaimana mereka hilang dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite Militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah klas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahan-bawahannya, juga tidak kita ketahui.Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai-nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama kaum santri) tampak menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.

*****

Jelaslah, tampak betapa besar perbedaan antara Tiongkok dan Indonesia, serta betapa besar pula persamaan antara keduanya. Kalau kita proyeksikan bayangan masa depan, sistem-sistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan, akan bertambah nyata persamaan maupun perbedaan antara kedua bangsa tersebut. Bagaimana masing-masing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan persaingan, adalah pengenalan akan dua buah proses yang sama-sama menarik untuk dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya diskripsi historis yang dikemukakan oleh kedua sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan-catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan sejarah kedua bangsa. Bahwa perbedaan-perbedaan dari orkestra-kamar (chamber orchestra) yang memang tidak sama sejarahnya itu adalah hal yang wajar, merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.

Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita menjadi sebuah bangsa yang hanya menopang dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari kontek historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang
tidak dapat menatap masa depan sendiri, semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam, baik sebagai bangsa yang sama-sama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical developments) yang berbeda?

[]

Sumber : Kedaulatan Rakyat
Beijing, 05 April 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar