Senin, 02 April 2018

Zuhairi: Pertaruhan Pilpres Mesir


Pertaruhan Pilpres Mesir
Oleh: Zuhairi Misrawi

Mesir baru saja menggelar pemilu untuk memilih presiden baru dalam empat tahun yang akan datang. Ada dua kandidat yang bertarung, yaitu Abdel Fatah el-Sisi dan Mousa Mustafa Mousa, Ketua Partai al-Ghad. Komisi Pemilihan Umum akan mengumumkan hasil pilpres pertengahan April yang akan datang. Namun pertanyaannya, bagaimana Mesir pasca-pilpres ini?

Harus diakui, el-Sisi sebagai petahana masih mempunyai popularitas dan elektabilitas yang lumayan tinggi. Ia mengantongi 94% suara pada Pilpres 2014 yang lalu. Popularitasnya terus menjulang tinggi karena ia dianggap berhasil memulihkan keamanan dan stabilitas politik pasca-carut marut antara kubu Ikhwanul Muslimin dan kubu non-Ikhwanul Muslim, termasuk di dalamnya kubu nasionalis, sekuler, sosialis, dan militer. Kemenangan el-Sisi disertai dengan kebijakan yang tidak biasa yaitu membubarkan Ikhwanul Muslim dan menyebutnya sebagai organisasi teroris terlarang.

Namun perhelatan Pilpres 2018 ini menimbulkan kekhawatiran baru. Alasannya, el-Sisi tidak membuka kran kompetisi yang sehat bagi para pesaingnya untuk bertarung sebagaimana piplres pertama pasca-musim semi 2011 lalu. Pada saat itu, harapan tumbuhnya demokrasi begitu membuncah, karena pertarungan pilpres dan pileg berlangsung secara transparan dan akuntabel. Partai-partai politik menjadi penyangga lahirnya era baru dalam demokrasi di Mesir.

Situasi tersebut tidak bertahan lama karena adanya perdebatan serius di konstituante dan monopoli Ikhwanul Muslim dalam kekuasaan, yang dikenal dengan istilah "ikhwanisasi Mesir". Akhirnya lahirlah revolusi yang berhasil mengakhiri kekuasaan Ikhwanul Muslimin, bahkan berujung pada pembubaran organisasi yang mempunyai pengaruh besar hampir di seluruh dunia Islam ini.

Kini Mesir memasuki pertaruhan baru, tatkala el-Sisi berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh Hosni Mubarak dan Ikhwanul Muslim, yaitu monopoli kekuasaan. Pihak-pihak yang dianggap dapat mengganggu atau menghambat kekuasaannya akan mendapatkan tekanan, bahkan ancaman. Hal tersebut bisa dilihat, pelanggaran hak asasi manusia yang terus meningkat pada masa pemerintahan el-Sisi, yang menyebabkan penundaan dan pengurangan bantuan Amerika Serikat terhadap Mesir yang selama ini terbilang besar.

Pilpres Mesir tahun ini terasa hambar, karena tidak mengetengahkan sebuah kontestasi dan pesta demokrasi yang dapat membangun harapan baru dan legitimasi publik yang kuat. Tidak terdengar program-program alternatif yang akan membawa pada kemajuan. Padahal Mesir saat ini sedang memasuki krisis ekonomi yang serius. Mesir memerlukan alternatif kebijakan yang tidak hanya fokus pada sektor keamanan dan stabilitas politik, melainkan harus mendorong terobosan dalam bidang ekonomi. Di samping juga ada masalah keterbelahan publik yang sangat luar biasa.

Sikap yang diambil el-Sisi sangat berisiko. Pasalnya Mesir mempunyai tradisi revolusi yang bisa meledak kapan saja jika ada kondisi objektif yang mendukung. Hosni Mubarak adalah rezim yang sangat kuat karena didukung militer dan media massa pada masa itu, tetapi juga bisa digulingkan melalui revolusi. Begitu halnya rezim Ikhwanul Muslimin yang mempunyai basis dukungan massa besar, tetapi juga berhasil dilengserkan melalui revolusi.

El-Sisi sedang mendayung di dalam dua revolusi yang bisa meledak kapan saja. Sikap politik yang diambil dengan mematikan oposisi dengan cara-cara yang tidak manusiawi dapat menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan yang meluas. Seperti Hosni Hubarak, el-Sisi sekarang mengonsolidasikan kekuasaannya melalui militer dan partai politik di parlemen.

Hingga detik ini, el-Sisi memang masih bisa mengendalikan militer dan partai politik, karena alasan pragmatis untuk mengendalikan keamanan dan stabilitas politik. Tetapi generasi milenial Mesir selalu haus terhadap harapan dan perubahan. Apalagi para aktivis hak asasi manusia dan beberapa komponen masyarakat sipil di Mesir menjadi salah satu kekuatan yang besar yang sebenarnya menjadi inspirator lahirnya revolusi 2011 lalu.

Momentum pilpres sebenarnya dapat dijadikan uji laboratorium publik untuk mendapatkan mandat yang seluas-luasnya melakukan terobosan dalam beberapa kebijakan strategis, termasuk juga terkait dengan geopolitik. Tapi sayang seribu sayang, gaung pilpres di Mesir tidak gegap-gempita, sepi dari gagasan dan program konstruktif.

Apalagi el-Sisi ditengarai dengan sengaja membunuh demokrasi di Mesir, karena dianggap menghambat para kandidat lain untuk berlaju menjadi penantangnya. Mousa Mustafa Mousa yang sekarang menjadi penantang pada dasarnya hanya sebagai boneka, karena jauh-jauh hari ia sudah mendukung el-Sisi sebagai Presiden Mesir dalam 5 tahun yang akan datang.

Maka dari itu, pilpres yang digelar dua hari lalu dapat menjadi pertaruhan politik bagi el-Sisi. Jika partisipasinya tidak mencapai seperti Pilpres 2014 lalu, maka akan menjadi pukulan telak bagi el-Sisi. Maknanya, pilpres yang digelar tahun ini tidak mempunyai legitimasi yang kuat.

Publik yang kontra el-Sisi sedang menunggu hasil partisipasi publik, bukan hasil pilpres. Sebab hasil pilpres sudah bisa dipastikan akan dimenangkan oleh el-Sisi, tetapi hasil partisipasi publik akan menjadi ujian serius. Jika partisipasi publik kurang dari 47% seperti pada Pilpres 2014 lalu, maka tidak menutup kemungkinan pihak oposisi yang senyap akan melakukan perlawanan serius.

Itu artinya, jalan menuju revolusi baru tidak tertutup. Apalagi kasak-kusuk di dalam internal militer mulai mencuat perihal upaya el-Sisi mempersiapkan putera-puteranya yang bertugas sebagai militer untuk menjadi pewarisnya di masa yang akan datang. El-Sisi ditengarai sedang mempersiapkan beberapa alternatif untuk mempersiapkan kursi kekuasaan hingga akhir hayatnya, atau menyediakan putera-puteranya yang sedang bertugas di dalam militer sebagai penerusnya untuk menjadi orang nomor satu di Mesir.

Semua itu menjadi isu yang saat ini terus mengemuka di Mesir. Karena itu, partisipasi publik yang tidak besar dalam pilpres akan menjadi tekanan politik yang sangat besar bagi el-Sisi yang akan membawa Mesir pada gonjang-gonjang baru. Sebaliknya, jika partisipasi publik relatif besar, maka el-Sisi masih bisa bernapas setidak-setidaknya untuk 5 tahun mendatang. Meskipun masalah yang akan dihadapi el-Sisi dalam pemulihan ekonomi tidak mudah. Maka dari itu, pilpres menjadi pertaruhan bagi el-Sisi dan Mesir. []

DETIK, 29 Maret 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar