Senin, 09 April 2018

(Hikmah of the Day) Mbah Ngis dan Resep Menghentikan Kenakalan Anak


Mbah Ngis dan Resep Menghentikan Kenakalan Anak

Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994) – biasa dipanggil Mbah Ngis - memiliki seorang anak laki-laki bernama Pak Udin. Ketika masih kecil, Pak Udin sering mendapat perlakuan nakal dari anak tetangga yang usianya memang lebih tua. Pak Udin suka bermain di atas pohon nangka yang berada di samping rumahnya dengan ketinggian tak seberapa.

Seringkali terjadi ketika Pak Udin  bertengger di atas pohon, tak lama setelah itu ada tangan jahil dari arah bawah yang secara tiba-tiba masuk ke dalam celana kolornya yang longgar. Lalu tangan itu membetot “sarang burung” miliknya. Pak Udin merasa kesakitan luar biasa dan berteriak kesakitan, “Aduuuh…aduuuh…!”

Setelah Pak Udin berteriak seperti itu, tak lama kemudian anak tetangga tersebut menjauh dari tempat kejadian sambil tertawa terbahak-bahak. Ia seperti merasa sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Kejadian seperti ini berulang kali. Pak Udin  merasa tidak tahan dinakali terus-menerus seperti itu  hingga akhirnya ia  melapor kepada ibunya. Mbah Ngis merasa sangat prihatin dengan perilaku “menyimpang” dari anak tersebut. Tetapi Mbah Ngis tidak sanggup melaporkan hal itu kepada ayahnya karena Mbah Ngis sangat menaruh hormat kepadanya.

Mbah Ngis kemudian memberi resep  kepada Pak Udin untuk membuat anak tetangga itu jera dari kenakalannya. Mbah Ngis meminta Pak Udin berteriak sekerasnya dengan menyebut-nyebut namanya ketika anak itu beraksi. Pak Udin paham dengan petunjuk Mbah Ngis dan setuju dengan apa yang diajarkannya.

Benar. Hari berikutnya ketika Pak Udin sedang bersantai ria di atas pohon, tiba-tiba anak tetangga itu  melakukan apa yang biasa ia lakukan terhadapnya. Seketika itu Pak Udin berteriak dengan menyebut-nyebut  namanya sekeras mungkin. “Kang Fulan, aduuuh..! Kang Fulan, aduuuh...!

Mendengar Pak Udin meneriakkan namanya hingga berkali-kali dengan suara sangat keras, anak tetangga itu  akhirnya menghentikan aksinya. Ia tidak tertawa terbahak-bahak sebagaimana biasanya. Ia tampak bingung harus berbuat apa sebelum akhirnya lari terbirit-birit. Ia pulang ke rumahnya. Tak lama setelah itu dari tempat Pak Udin berada di atas pohon Pak Udin mendengar suara anak yang mengaduh kesakitan.

“Aduuuh… kapok Bapaaak...! Aduuuh… kapok Bapaaak..!”

Pak Udin yakin itu suara Kang Fulan. Pak Udin penasaran dan segera berlari menuju rumahnya. Pak Udin  ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Kang Fulan. Dari luar jendela rumahnya, Pak Udin  melihat Kang Fulan sedang digebuki ayahnya dengan sulak dari rotan. Bulu-bulunya rontok karena berulang-ulangnya pukulan ayahnya.

“Ojo kurang ajar kowe! Kapok opo ora kowe…?!” (Jangan kurang ajar kamu! Kapok tidak kamu?!). Kata sang ayah  sambil menghajar Kang Fulan. Ternyata sang ayah menyaksikan sendiri dari jendela rumahnya apa yang dilakukan Kang Fulan terhadap Pak Udin ketika ia berteriak-teriak menyebut namanya sambil mengaduh kesakitan.

“Kapok Bapaaak… Kapok Bapaaak…,” katanya sambil menangis kesakitan dan meminta ampun. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar