Jumat, 06 April 2018

(Ngaji of the Day) Ini Ciri Al-Arif Billah Tulen Menurut Ibnu Athaillah


AL-HIKAM
Ini Ciri Al-Arif Billah Tulen Menurut Ibnu Athaillah

Tingkat keimanan manusia terhadap Allah SWT beragam. Ada keimanan seseorang yang dirangsang oleh sesuatu (ibarat, isyarat, rumuz) di luar dirinya. Tetapi ada juga yang tidak. Ada orang yang beriman setelah melihat mukjizat rasul atau khariqul adat (kejadian luar biasa) seperti umat-umat kafir zaman para nabi terdahulu.

Ada juga orang yang takjub pada keajaiban dunia seperti lafal “Allah” pada cangkang telur atau pada gumpalan awan sebagai kuasa Allah dalam bentuk tulisan, gambar, video yang dishare orang-orang via media sosial baik fesbuk, instagram, twitter, whatsapp, line, dan lain sebagainya.

Mereka yang merasa dekat dengan Allah karena keajaiban dunia dan kuasa Allah lainnya bukan masuk kategori al-arif billah yang sempurna karena keimanannya masih dirangsang oleh fenomena selain Allah.

ما العارف من إذا أشار وجد الحق أقرب إليه من إشارته بل العارف من لا إشارة له لفنائه في وجوده وانطوائه في شهوده

Artinya, “Al-Arif billah itu bukan orang yang terima isyarat lalu merasakan Allah lebih dekat dengannya karena isyarat itu. Al-Arif billah itu orang yang tak perlu isyarat karena lenyap pada wujudnya dan tersembunyi pada penyaksiannya.”

Petunjuk atas Allah yang dikenal para ulama terdiri atas tiga jenis yang memiliki tingkat berbeda. Ibarat adalah petunjuk kasar. Sementara isyarat lebih halus dibandingkan ibarat. Simbol atau rumuz adalah penanda paling halus atas Allah.

قلت الإشارة أرق وأدق من العبارة والرمز أدق من الإشارة فالأمور ثلاثة عبارات وإشارات ورموز وكل واحدة أدق مما قبلها فالعبارة توضح والإشارة تلوح والرمز يفرح أي يفرح القلوب بإقبال المحبوب

Artinya, “Bagi saya, isyarat itu lebih tipis dan lebih halus dibanding ibarat. Simbol lebih halus dibanding isyarat. Jadi semua penanda ini ada tiga, yaitu ibarat, isyarat, dan simbol. Setiap satu dari semua itu lebih halus dibanding tanda sebelumnya. Tugas ibarat adalah memperjelas. Isyarat memberi petunjuk. Sedangkan tugas simbol itu menyenangkan, maksudnya menyenangkan hati atas sambutan Allah SWT,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 118).

Isyarat merupakan medium petunjuk atas Allah yang menampung makna yang tak terwadahi pada ibarat. Isyarat ini sangat dibutuhkan bagi pesuluk sebagai penanda dan petunjuk atas Allah. Tetapi isyarat ini masih juga membawa serta sesuatu yang menandai keberadaan Allah sehingga mereka masih juga memandang yang lain selain Allah.

أقول الإشارة هي مستودع ألطف المعاني التى  تضيق عن حملها العبارة، وليس العارف الكامل من إذا أشار بإشارة لمسترشد وجد الحق أقرب إليه منها فضلا عن من يشير فيجد الحق قريبا منها أو من يشير فيجد الحق عندها لما تضمنته الإشارة من التعدد الذي يقتضي مشيرا وإشارة ومشارا إليه، بل العارف الكامل من لا إشارة له أصلا إما لفنائه في وجود الحق وانطوائه في شهوده غيبة عن الخلق وإما لبقائه بالحق ونوره وانتشاره به في مراتب ظهوره

Artinya, “Menurut saya, isyarat adalah gudang makna sangat halus yang tak tertampung dalam ibarat. (Al-Arif billah yang kamil itu bukan orang yang memberikan isyarat bagi mereka yang meminta petunjuk, lalu ia merasakan Allah lebih dekat dengannya karena isyarat itu), terlebih lagi bagi Al-Arif billah yang kamil itu sehingga mereka merasakan Allah dekat karenanya atau di sisinya mengingat kekayaan kandungan isyarat itu yang menghendaki pemberi isyarat, isyarat, dan yang diisyaratkan. Al-Arif billah yang kamil itu adalah orang yang tidak memerlukan isyarat sama sekali karena ia telah melebur di dalam wujud Allah dan tersembunyi pada penyaksiannya sehingga makhluk itu lenyap (di matanya). Hal ini terjadi bisa karena ia menjadi ‘baqa’ sebab Allah, cahaya-Nya, dan pendaran cahaya itu dalam martabat pancarannya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008 M/1429 H, halaman 69).

Isyarat menandai adanya jarak dan antara. Isyarat kerapkali disertai dengan alasan, bukti, atau argmentasi. Ada orang beriman kepada Allah setelah mengetahui alasan, bukti, atau argmentasi sebagai isyarat atas Allah. Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa semakin banyak alasan, bukti, atau argumentasi yang diperlukan untuk beriman, tanda seseorang jauh dari Allah.

وسئل أبو على الروذبارى رضى الله تعالى عنه عن الإشارة فقال الإشارة الإبانة عما يتضمنه الوجد من المشار إليه لا غير وفى الحقيقة أن الإشارة تصحبها العلل والعلل بعيدة من عين الحقائق وقال الشبلى رضى الله تعالى عنه وكل إشارة أشار بها الخلق إلى الحق فهي مردودة عليهم حتى يشيروا إلى الحق بالحق وليس لهم إلى ذلك طريق وقال أبو يزيد رضى الله تعالى عنه أبعدهم من الله أكثرهم اشارة اليه

Artinya, “Abu Ali Ar-Raudzabari ketika ditanya perihal isyarat menjawab, isyarat tidak lain merupakan ungkapan dari dalam hati yang menjelaskan sesuatu yang ditunjuk. Sejatinya isyarat diiringi dengan illat (alasan, bukti, atau argumentasi). Illat itu jauh dari zat hakikat. As-Syibli mengatakan, setiap isyarat atas Allah yang ditunjukkan oleh makhluk-Nya hakikatnya tertolak sehingga mereka memberi isyarat atas Allah dengan Allah itu sendiri dan mereka tidak punya jalan untuk itu. Abu Yazid berkata, mereka yang paling jauh dari Allah adalah mereka yang paling banyak isyarat atas-Nya,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 63).

Untuk seorang al-arif billah yang kamil, isyarat tidak diperlukan karena mereka tidak berjarak dengan Allah. Isyarat dibutuhkan oleh para pejalan atau pesuluk. Isyarat itu sangat membantu mereka untuk dekat dengan Allah SWT.

فقول الشيخ ما العارف إلخ أي ليس العارف الكامل وهو الراسخ المتمكن وأما السائر فيحتاج إلى الإشارة ويجد الحق أقرب إليه من الإشارة أو معها وهي إعانة له وقوته كالعبارة للمتوجهين وسيأتي العبارة قوت لعائلة المستمعين وليس لك إلا ما أنت له آكل وقوله من إذا أشار أي أشير له وقوله بل العارف من لا إشارة له أي لا يحتاج إليها في نفسه وقد يشير لأجل غيره كما تقدم وانما استغنى عن الإشارة لأن الإشارة والعبارة قوت الجائع وهو قد شبع واستغنى أو تقول لأن الإشارة تقتضي البينونة والفرق وهو مجموع في فرقه ... وانما نفي الطريق إلى ذلك لاستغناء الحق عن الإشارة والمشير والله تعالى أعلم

Artinya, “Redaksi Syekh Ibnu Athaillah ‘Al-Arif billah itu bukan...’ maksudnya adalah al-arif billah yang tidak kamil, belum mendalam dan mantap. Sedangkan mereka yang sedang berjalan tetap membutuhkan isyarat dan merasakan Allah lebih dekat dengannya karena atau bersama isyarat itu. isyarat itu membantu mereka dan menjadi makanan pokok bagi mereka layaknya ibarat bagi mereka yang mengarahkan pandangan kepada Allah sebagai akan dijelaskan di depan, ‘Ibarat adalah makanan pokok bagi mereka yang butuh mendengarkan. Dan kau akan mendapatkan sesuai apa yang kau ‘makan’.’ Redaksi penulis, ‘ketika memberi isyarat’, maksudnya adalah diberikan atau menerima isyarat. Sedangkan ‘Al-Arif billah itu orang yang tak perlu isyarat,’ maksudnya ia tak membutuhkan isyarat untuk dirinya, tetai untuk memberikan isyarat untuk orang lain. Ia sendiri tak memerlukan isyarat karena isyarat dan ibarat makanan orang yang lapar. Sementara ia sudah kenyang dan cukup. Kita bisa mengatakan bahwa isyarat itu mengandaikan jarak dan perpisahan. Sementara ia tetap bersatu dalam perpisahannya... Al-arif billah yang kamil menafikan jalan/isyarat karena sudah merasa cukup dengan Allah sehingga tak membutuhkan isyarat dan pemberi petunjuk. Wallahu a‘lam,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 120-121).

Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang disebut arifin yang kamil itu mereka yang selalu menggenggam tasbih, menggelar sajadah, atau membenahi letak sorban? Apakah mereka hidup soliter menyepi? Semua itu mungkin saja, bukan pasti. Tetapi yang  pasti mereka tetap bergaul dengan manusia lain. Mereka tetap manusiawi. Mereka bisa jadi buruh tani, pekerja kasar, guru, buruh pabrik, kuli angkut di pasar, pegawai rendahan, penunggu kafe, penunggu lahan parkir liar, atau guru agama di sekitar kita. Semua itu sangat mungkin sebagai dijelaskan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi berikut ini.

العارف من بلغ من توحيده لله،وثقته بالله، وتوكله على الله، وتفويضه إلى الله درجة تفنى فيها إرادته فيما يريده الله وتنطوى فيها الأسباب تحت سلطان الله وتذوب فيها المشهودات في وهج من شهود الله. وليس معنى ذلك ما قد تتوهمه من أنه ينقطع عندئذ عن التعامل بالدنيا وتنبت علاقته بالآخرين: بل يتعامل معها ومعهم كسائر الناس، وتظل علاقته بهم كما كانت، ولكنه إذ يتعامل مع الدنيا وأسبابها لا يرى نفسه إلا مع الله، وهو إذ يمارس شؤونه مع الناس وينشط معهم فى قضاياهم الاجتماعية وغيرها، لا يعلم من حاله إلا أنه يتعامل مع الله، فهو كما قالوا: عرشي وفرشي بآن واحد، عرشي مع الله في مشاعره وباطن حاله، وفرشي مع الناس في تصرفاته وظاهر حاله، ويعبر عن هذا كله خير تعبير ما هو مأثور من قول أبي بكر رضي الله عنه، عن نفسه: ما رأيت شيئا إلا ورأيت الله معه وقبله وبعده، كما يعبر عنه قول الإمام فخر الدين الرازي رحمه الله: كن ظاهرا مع الخلق، باطنا مع الحق. وهي أعلى درجات السلوك إلى الله بعد النبوة.

Artinya, “Al-Arif billah adalah orang yang dengan tauhid, kepercayaan, tawakal, dan kepasarahannya kepada Allah mencapai derajat di mana kehendak-kehendaknya fana dalam kehendak/iradah-Nya, sebab-sebab atau alasan lenyap di bawah kuasa-Nya, dan semua yang tampak meleleh pada cahaya terang penyaksian-Nya. Tetapi pengertiannya tidak seperti yang kita sangka selama ini di mana al-arif billah terputus dari dunia, lalu menjalin dengan alam lain. Al-arif billah tetap berhubungan dengan dunia berinteraksi makhluk-Nya sebagaimana manusia lainnya. Ia tetap berhubungan dengan mereka seperti sebelumnya. Tetapi ketika berinteraksi dengan dunia dan sebab-sebab duniawi, ia tak melihat dirinya selain bersama dengan Allah. Ketika menangani masalahnya dengan orang lain dan beraktivitas di tengah publik dalam soal kemasyarakatan dan masalah lainnya, ia hanya menyadari bahwa ia berinteraksi bersama Allah. Al-arif billah itu seperti yang dikatakan para sufi, ‘Arasy dan bumiku ada pada satu waktu. Arasyku bersama Allah dalam perasaan dan batin. Tetapi bumiku bersama manusia dalam muamalah dan lahiriyah.’ Hal ini diungkapkan sangat baik oleh atsar dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq perihal dirinya sendiri, ‘Tiada sesuatu yang kulihat selain kulihat Allah bersamanya, sebelum, dan sesudahnya.’ Kondisi ini juga diungkapkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, ‘Hendaklah kamu bersama mereka secara lahiriyah, tetapi batinmu bersama Allah.’ Inilah maqam suluk tertinggi kepada Allah setelah maqam kenabian,” (Lihat M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, Beirut, Darul Fikr Al-Muashir, cetak ulang 2003 M/1424 H, juz II, halaman 471-472).

Menurut kami, penjelasan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi cukup klir bahwa makrifatullah yang kamil itu bukan soal pakaian atau profesi, tetapi lebih pada cara pandang. Cara pandang makrifatullah ini dapat hadir pada siapapun dan mereka yang berprofesi apapun sesuatu dengan anugerah yang Allah berikan kepada mereka. Mereka dapat merasakan kehadiran Allah tanpa harus dirangsang oleh ibarat atau isyarat tertentu. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar