Rabu, 11 April 2018

(Ngaji of the Day) Lima Hak Asasi Manusia dalam Islam


Lima Hak Asasi Manusia dalam Islam

Sejarah mencatat bahwa Musyawarah Nasional Alim Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama pada 17-20 November 1997 di Nusa Tenggara Barat menghasilkan sejumlah keputusan penting. Beberapa persoalan yang didiskusikan antara lain nasbul Imam dan demokrasi, hak asasi manusia dalam Islam, kedudukan wanita dalam Islam, dan reksadana. 

Persoalan-persoalan yang disebut di atas masuk dalam kajian Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudlu’iyah yang fokus pada rumusan konseptual. Berbeda dari bahtsul masail diniyah waqi‘iyah yang berorientasi menemukan ketegasan status hukum “halal-haram”, bahtsul masail diniyah maudlu’iyah mengaji tema-tema spesifik untuk dijelaskan secara deskriptif-naratif.

Terkait hak hak asasi manusia dalam Islam (al-huquq al-insaniyyah fil islam), musyawirin menjelaskannya dengan merujukkan pada ulasan-ulasan yang pernah disinggung para ulama klasik ketika menjelaskan tentang filosofi hukum Islam. Keterangan ini antara lain bisa ditemukan kitab-kitab ushul fiqh seperti Al-Mustashfa min Ilm al Ushul karya Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali. Imam al-Ghazali menyebutnya maqâshidusy syarî‘ah (pokok-pokok yang menjadi tujuan syariat).

Berikut adalah kutipan lengkap hasil keputusan Munas Alim Ulama yang diberlangsung di Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah itu mengenai hak asasi manusia dalam Islam:

Islam merupakan ajaran yang menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan al-Qur’an menjamin adanya hak pemuliaan dan pengutamaan manusia. Firman Allah SWT:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
  
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isra’: 70)

Dengan demikian manusia memiliki hak al-karâmah dan hak al-fadlîlah. Apalagi misi Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di mana kemaslahatan/kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta.

Elaborasi (pengejawantahan) misi di atas disebut sebagai ushul al-khams (lima prinsip dasar) yang melingkupi hifdhud dîn, hifdhun nafs wal ’irdl, hifdhul aql, hifdhun nasl dan hifdhul mal.

Hifdhud dîn memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.

Hifdhun nafs wal ’irdh memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.

Hifdhul ‘aql adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.

Hifdhun nasl merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free sex, zinah menurut syara’, homoseksual, adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifdh al-nasl.

Hifdhul mâl dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi, monopoli, oligopoli, monopsoni dan lain-lain.

Lima prinsip dasar (al-huquq al-insaniyyah) di atas sangatlah relevan dan bahkan seiring dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Di samping itu, Islam sebagai agama tauhid, datang untuk menegakkan kalimat Lâ ilâha illallâh, tiada Tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang secara transendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbudakan manusia dengan berbagai macam jenis kelamin, status sosial, warna kulit dan lain sebagainya. Keyakinan semacam ini jelas memberikan kesuburan bagi tumbuhnya penegakan HAM melalui suatu kekuasaan yang demokratis.

Oleh karena itu, Munas Alim Ulama merekomendasikan kepada PBNU agar rumusan-rumusan HAM yang bersifat substansial ini, menjadi sebuah konsep yang utuh untuk memperjuangkan terwujudnya al-huquq al-insaniyyah (HAM) secara aktif dan sungguh-sungguh di bumi Indonesia. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar