Senin, 02 April 2018

Helmy Faishal Zaini: Hidup Bersama Menjaga Indonesia


Hidup Bersama Menjaga Indonesia
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Ketua Dewan Organisasi Pendekatan Antarmazhab Iran, Ayatollah Taskhiri, pada akhir Januari lalu menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhamamdiyah memiliki posisi dan peran yang sangat penting bukan saja bagi Indonesia, akan tetapi jauh lebih dari itu bagi persatuan dunia.

Maka, segala bentuk dan upaya yang mengarah pada usaha untuk menciptakan saling-silang pemahaman, saling menghargai dan sinergi dan juga satunya langkah di antara keduanya sangat penting (Kompas, 21/1).

Gayung pun bersambut. Apa yang ‘diimpikan’ oleh Ayatollah Taskhiri tersebut benar-benar terjadi: dua ormas besar yang bersama-sama berjuang merebut kemerdekaan dan turut andil dalam merumuskan bentuk negara berkumpul dan melakukan pertemuan khusus pada Jumat, 23 Maret 2018, di Kantor PBNU. Dua tokoh kunci, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Haedar Nashir, bergandengan tangan menyatukan pandangan, menyerasikan gerak langkah dan sekaligus merapatkan barisan untuk menyampaikan komitmen-komitmen kebangsaan dan juga mengupayakan solusi problematika keberagamaan di Indonesia.

Lima keputusan

Ada lima keputusan penting yang berhasil dirumuskan. Kelima keputusan tersebut tentu saja dilandasi oleh tiga semangat: terus-menerus menyerukan saling tolong menolong melalui sedekah dan derma; menegakkan kebaikan; serta mengupayakan rekonsilisasi atau perdamaian kemanusiaan.
Pertama, NU dan Muhammadiyah meneguhkan komitmen untuk senantiasa mengawal dan mengokohkan konsensus para pendiri bangsa yang menyatakan bahwa Pancasila dan NKRI merupakan bentuk final “mu’ahadah wathaniyyah” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah mengistilahkan Indonesia sebagai “Darul Ahdi was Syahadah“.

Kedua, baik NU maupun Muhammadiyah bersepakat secara proaktif dan berkesinambungan melakukan upaya-upaya guna mendorong peningkatan taraf hidup dan juga kualitas hidup masyarakat. Dalam konteks ini, kedua ormas setuju bahwa kunci peningkatan taraf hidup terletak pada pendidikan. Maka, NU dan Muhammadiyah akan mendorong pemerintah untuk bekerja keras membuka akses-akses pendidikan secara luas. Dalam pada itu, penguatan basis-basis ekonomi keumatan dan juga peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat juga menjadi pekerjaan rumah yang serius yang harus diatasi bersama sebagai prasayarat menuju kehidupan bengbangsa yang lebih sejahtera.

Ketiga, NU dan Muhammadiyah mendorong pemerintah agar secepatnya melakukan ikhtiar berkaitan program pengentasan kemiskinan dan menekan angka pengangguran. Baik NU maupun Muhammadiyah bersepakat, disparitas dan kesenjangan sosial merupakan salah satu sumber bencana sosial yang jika tidak diatasi dengan baik akan menjadi ancaman yang cukup nyata dan berbahaya.

Keempat, menghadapai era tsunami informasi, NU-Muhammadiyah mengimbau untuk bahu-membahu membangun iklim dan suasana kondusif dalam kehidupan kemasyarakatan dan keberagamaan. Kedua belah pihak juga bersepakat akan menghadirkan narasi-narasi yang mencerahkan melalui upaya-upaya yang salah satunya dalam bentuk penguatan dan peningkatan literasi digital dengan tujuan agar terwujud cita-cita bersama membangun masyarakat informatif yang berkahlakul karimah.

Kelima, memasuki tahun politik 2018, NU-Muhammadiyah mengajak segenap bangsa Indonesia bersama-sama menjadikan ajang demokrasi sebagai bagian dari proses mendewasakan diri dalam konteks bangsa dan negara. Pelbagai macam perbedaan harus dijadikan sumber daya dan bahan baku untuk membangun harmoni dan sinergi. Dalam konteks demokrasi, kesadaran yang harus kita genggam dalam-dalam adalah bahwa ia bukan hanya butuh kerelaan hati untuk menerima adanya perbedaan pendapat dan pikiran, lebih jauh dari itu, demokrasi juga butuh kesabaran, ketelitian, kesabaran, dan cinta kasih antarsesama.

Menarik apa yang disampaikan Said Aqil Siroj mengenai pertemuan bersejarah tersebut. Dengan sangat jelas, Kiai Said ingin bukan saja memanfaatkan momentum pertemuan dua ormas besar tersebut sebagai pertemuan fisik semata, lebih dari itu, Kiai Said merumuskan tiga gradasi ‘silaturrahmi’ antara NU dan Muhammadiyah.

Tiga bingkai hubungan

Tiga gradasi silturrahmi ini sangat erat korelasinya dengan sukses dan tidaknya implementasi dari keputusan-keputusan yang telah diputuskan bersama.

Pertama, silatul afkar. Pada konteks ini NU-Muhammadiyah menyatukan pandangan, persepsi, cara dan sudut pandang problematika kebangsaan dan keumatan dalam konteks berbangsa bernegara. Kedua ormas bersepakat, diskurusus tentang dasar kenegaraan yang menempatkan NKRI dan juga Pancasila sebagai dasar negara merupakan perkara yang sudah qath’i, final.

Tidak ada ruang lagi untuk memperdebatkan dasar negara sebab Pancasila dengan semboyan bineka tunggal ika dalam pandangan kedua ormas merupakan dasar negara yang sudah ideal. Pandangan politik kebangsaan keduanya tak pernah goyah. Dalam catata penulis dan penelurusan pelbagai literatur, tak pernah ditemukan gerakan pembangkangan yang cenderung melawan pemerintah yang dilakukan dan diaktori oleh keduanya.

Pada titik ini, sangat tepat apa yang dikatakan oleh Kiai Said Aqil Siroj (2018) bahwa NU—juga Muhammadiyah—keduanya masih kokoh berdiri mengawal perjalanan politik disebabkan oleh karena kuatnya pemahaman tentang fikih siyasah yang dibalur dengan jernihnya pemahaman tentang fikih waqi’iyyah (pemahaman yang meyeluruh dan holistik akan realitas sosial), yang secara substansial mengarahkan pada terwujudnya kemaslahatan dan bagi kehidupan bersama atau yang dalam kaidah fikih disebut sebagai maslahah ammah.

Kedua, silatul amal. Pandangan dan visi yang baik niscaya tak akan ada gunanya jika tak diimplementasikan secara sungguh- sungguh. Aksi adalah kata kunci kedua setelah proses penyatuan visi, sudut pandang, dan cara pandang. Sinergitas diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dan konkret. NU dan Muhammadiyah dalam konteks ini sudah memulai dengan sinergi keumatan melalui kegiatan pemberdayaan umat dan filantropi yang dilakukan oleh kedua lembaga amil zakat yang ada di bawah NU dan Muhammadiyah (NU Care LazisNU dan Lazismu).

Ketiga, silaturruh. Puncak silaturahmi yang dilakukan tentu saja terletak pada konektivitas spiritual antar-pelbagai pihak yang bersinergi. Satunya frekuensi dan getaran hati tentu saja akan menggerakkan masing-masing pihak yang bersinergi untuk kemudian menjelma menjadi pribadi atau institusi yang lebih peka, lebih jernih dalam melihat dan juga mendengar jeritan bangsa, suara hati dan nurani dari mereka yang berharap kamajuan dan kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada konteks ini, NU dan Muhammadiyah setelah melakukan pertemuan tersebut sudah berada dalam satu sudut pandang, satu irama dan gerakan, serta satu frekuensi dalam memandang kehidupan berbangsa dan bernegara.

]Maka, tentu saja, resonansi yang akan dihasilkan oleh keduanya dalam konteks kebangsaan dan keumatan guna mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, sejuk, damai dan toleran pasti akan indah. Sesuatu yang layak untuk ditunggu. Tentu saja kita optimistis akan hal itu.

Indonesia bukanlah fisik semata. Indonesia adalah energi, kekuatan, dan juga semangat dan juga keinginan yang kuat untuk tetap hidup bersama dalam kedamaian dan kerukunan. Maka, segala upaya harus dilakukan bersama untuk menjaganya. []

KOMPAS, 31 Maret 2018
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar