Manuver
Israel di Tengah Pandemi
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Dalam
setahun terakhir, politik Israel mengalami gonjang-ganjing yang luar biasa.
Tiga pemilu terakhir yang digelar tidak mampu menghadirkan suara mayoritas dan
koalisi yang kokoh, sehingga tidak bisa membentuk pemerintahan. Konfigurasi
politik Israel telah mengalami friksi, bahkan goncangan yang serius, yang
menyebabkan pemilu harus digelar berkali-kali hanya dalam waktu setahun.
Namun
pandemi corona telah mengubah wajah politik Israel. Partai Biru dan Putih
sebagai pimpinan partai oposisi di parlemen akhirnya luluh dengan rayuan maut
Partai Likud. Benny Gantz sebagai orang nomor satu di Partai Biru dan Putih
menerima pinangan Benjamin Netanyahu untuk membentuk koalisi pemerintahan.
Kesepakatan yang tercapai di antara kedua tokoh yang selama ini berseberangan
secara politik tersebut, yaitu Benjamin Netanyahu akan menjadi Perdana Menteri,
sedangkan Benny Gantz akan menjadi Wakil Perdana Menteri. Netanyahu dijadwalkan
hanya akan memimpin Israel selama 18 bulan, dan 18 bulan lainnya akan dijabat
oleh Benny Gantz.
Tentu
kesepakatan tersebut merupakan kemenangan besar bagi Netanyahu, karena ia akan
selamat dari pemakzulan dalam kasus korupsi yang menimpa dirinya dan
keluarganya. Netanyahu akan memiliki kekebalan hukum setelah mendapatkan
dukungan mayoritas anggota parlemen. Di samping itu, Netanyahu akan mempunyai
keleluasaan untuk melanjutkan agenda-agenda politik yang disusun bersama
Amerika Serikat untuk memuluskan aneksasi Tepi Barat dan Jerusalem.
Maka dari
itu, langkah pertama yang akan diambil oleh Netanyahu menggelar sidang pleno di
parlemen Israel, yang rencananya akan digelar pada Juli nanti untuk melanjutkan
pembangunan ilegal di Tepi Barat, hingga misinya tercapai menguasai 30 persen
di kawasan ilegal tersebut. Dan secara politik, Netanyahu tidak mempunyai
hambatan serius karena dukungan parlemen sangat besar, di samping dukungan dari
Amerika Serikat.
Pandemi
corona menjadi berkah bagi Netanyahu, tapi musibah bagi Palestina. Secara
politik Palestina tidak mempunyai kekuatan, karena negara-negara lain di
kawasan Timur-Tengah sedang berpacu dengan upaya pemulihan ekonomi yang
menghantam serius negara masing-masing. Corona telah menjadikan negara-negara
yang selama ini bergelimang harta dengan minyaknya, seperti Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, dan Qatar harus berpikir serius untuk memulihkan ekonomi akibat
anjloknya harga minyak dunia akibat perang harga minyak antara Arab Saudi dan
Rusia.
Selain
itu, Palestina belum serius membangun rekonsiliasi internal di antara berbagai
faksi dalam rangka menemukan dan membentuk formulasi negara persatuan,
khususnya antara Faksi Fatah dan Faksi Hamas. Rentannya konflik internal di
berbagai faksi Pelestina menyebabkan tidak adanya sebuah sikap politik yang
mampu menandingi manuver Israel dalam melakukan manuver politik.
Konsekuensinya, Israel bisa leluasa mengambil langkah unilateral, khususnya
pembangunan ilegal di Tepi Barat dan serangan militer di Jalur Gaza.
Belum
lagi, Israel semakin menjadi-jadi melakukan berbagai manuver untuk menguasai
Jerusalem secara total. Sesuai rencana kesepakatan abad ini yang didesain oleh
Israel dan Amerika Serikat, maka pada akhirnya Israel akan berkuasa penuh di
tanah Palestina, khususnya Jerusalem. Situasi politik global yang fokus pada
penanganan corona telah menyebabkan Israel bergerak jauh ke depan untuk
mengambil langkah unilateral dalam memperluas dan memperkuat dominasinya di
kawasan Palestina.
Ironisnya,
Palestina tidak bisa berbuat apa-apa. Belum ada langkah yang serius yang
disusun Palestina di tengah pandemi ini. Maklum, Palestina sedang menghadapi
krisis ekonomi yang serius. Situasi yang tidak menentu akibat wabah corona
telah menyebabkan kehidupan ekonomi lumpuh. Dalam situasi normal saja, ekonomi
Palestina sudah berdarah-darah, apalagi di tengah pandemi corona.
Dalam
konteks tersebut tidak ada pilihan lain bagi Palestina, kecuali memperkuat dan
menyatukan barisan. Faksi-faksi yang selama ini berseteru, khususnya Fatah dan
Hamas harus duduk bersama dalam satu meja membahas langkah-langkah yang akan
dilakukan dalam menghadapi manuver Israel tersebut. Sebab dalam situasi apapun,
manuver Israel tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan, karena melanggar
kedaulatan Palestina dan konvensi internasional.
Israel
tidak mempunyai hak untuk melakukan pembangunan ilegal di Tepi Barat. Israel
juga tidak bisa secara unilateral menguasai kota suci agama-agama, Jerusalem.
Palestina mempunyai kedaulatan penuh terhadap kawasan Masjid al-Aqsha sebagai
simbol kota Islam umat Islam. Kesepakatan abad ini yang akan menghilangkan
kedaulatan Palestina terhadap Masjid al-Aqsha sama sekali tidak dibenarkan.
Dalam hal
ini, Palestina harus mengantisipasi berbagai langkah, baik secara politik
maupun hukum internasional. Sebab Israel sendiri sudah mendapat dukungan penuh
di parlemen dan Amerika Serikat di bawah payung proposal kesepakatan abad ini.
Dan Netanyahu akan memimpin langsung untuk melakukan manuver dalam skala yang
lebih besar dengan menggalang dukungan dari berbagai negara.
Hanya ada
secercah harapan bagi Palestina untuk menghentikan manuver Israel tersebut
yaitu hasil pemilu Amerika Serikat yang akan digelar pada bulan November nanti.
Joe Biden, kandidat presiden dari Partai Demokrat baru saja menyampaikan
pandangannya terkait konflik Israel-Palestina. Jika ia memenangkan Pemilu
Presiden nanti, ia berjanji akan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat
dari Jerusalem ke Tel Aviv lagi.
Maknanya,
proposal kesepakatan abad ini akan ambyar.
Israel tidak akan bisa lagi melanjutkan pembangunan ilegal di Tepi Barat, dan
upaya untuk menguasai penuh Jerusalem juga akan mengalami kegagalan. Netanyahu
pada akhirnya tidak akan mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat.
Namun,
jika Donald L Trump memenangkan pertarungan dalam Pemilu Presiden yang akan
datang, maka situasinya akan sangat sulit bagi Palestina. Ditengarai akan
terjadi peristiwa besar di Palestina, bahkan di dunia. Warga dunia tidak akan
membiarkan langkah unilateral Israel dan Amerika Serikat itu, karena penderitaan
yang dihadapi Palestina adalah penderitaan warga dunia. []
DETIK, 30
April 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar