Jumat, 08 Mei 2020

Zuhairi: Manuver Israel di Tengah Pandemi


Manuver Israel di Tengah Pandemi
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dalam setahun terakhir, politik Israel mengalami gonjang-ganjing yang luar biasa. Tiga pemilu terakhir yang digelar tidak mampu menghadirkan suara mayoritas dan koalisi yang kokoh, sehingga tidak bisa membentuk pemerintahan. Konfigurasi politik Israel telah mengalami friksi, bahkan goncangan yang serius, yang menyebabkan pemilu harus digelar berkali-kali hanya dalam waktu setahun.

Namun pandemi corona telah mengubah wajah politik Israel. Partai Biru dan Putih sebagai pimpinan partai oposisi di parlemen akhirnya luluh dengan rayuan maut Partai Likud. Benny Gantz sebagai orang nomor satu di Partai Biru dan Putih menerima pinangan Benjamin Netanyahu untuk membentuk koalisi pemerintahan. Kesepakatan yang tercapai di antara kedua tokoh yang selama ini berseberangan secara politik tersebut, yaitu Benjamin Netanyahu akan menjadi Perdana Menteri, sedangkan Benny Gantz akan menjadi Wakil Perdana Menteri. Netanyahu dijadwalkan hanya akan memimpin Israel selama 18 bulan, dan 18 bulan lainnya akan dijabat oleh Benny Gantz.

Tentu kesepakatan tersebut merupakan kemenangan besar bagi Netanyahu, karena ia akan selamat dari pemakzulan dalam kasus korupsi yang menimpa dirinya dan keluarganya. Netanyahu akan memiliki kekebalan hukum setelah mendapatkan dukungan mayoritas anggota parlemen. Di samping itu, Netanyahu akan mempunyai keleluasaan untuk melanjutkan agenda-agenda politik yang disusun bersama Amerika Serikat untuk memuluskan aneksasi Tepi Barat dan Jerusalem.

Maka dari itu, langkah pertama yang akan diambil oleh Netanyahu menggelar sidang pleno di parlemen Israel, yang rencananya akan digelar pada Juli nanti untuk melanjutkan pembangunan ilegal di Tepi Barat, hingga misinya tercapai menguasai 30 persen di kawasan ilegal tersebut. Dan secara politik, Netanyahu tidak mempunyai hambatan serius karena dukungan parlemen sangat besar, di samping dukungan dari Amerika Serikat.

Pandemi corona menjadi berkah bagi Netanyahu, tapi musibah bagi Palestina. Secara politik Palestina tidak mempunyai kekuatan, karena negara-negara lain di kawasan Timur-Tengah sedang berpacu dengan upaya pemulihan ekonomi yang menghantam serius negara masing-masing. Corona telah menjadikan negara-negara yang selama ini bergelimang harta dengan minyaknya, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar harus berpikir serius untuk memulihkan ekonomi akibat anjloknya harga minyak dunia akibat perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia.

Selain itu, Palestina belum serius membangun rekonsiliasi internal di antara berbagai faksi dalam rangka menemukan dan membentuk formulasi negara persatuan, khususnya antara Faksi Fatah dan Faksi Hamas. Rentannya konflik internal di berbagai faksi Pelestina menyebabkan tidak adanya sebuah sikap politik yang mampu menandingi manuver Israel dalam melakukan manuver politik. Konsekuensinya, Israel bisa leluasa mengambil langkah unilateral, khususnya pembangunan ilegal di Tepi Barat dan serangan militer di Jalur Gaza.

Belum lagi, Israel semakin menjadi-jadi melakukan berbagai manuver untuk menguasai Jerusalem secara total. Sesuai rencana kesepakatan abad ini yang didesain oleh Israel dan Amerika Serikat, maka pada akhirnya Israel akan berkuasa penuh di tanah Palestina, khususnya Jerusalem. Situasi politik global yang fokus pada penanganan corona telah menyebabkan Israel bergerak jauh ke depan untuk mengambil langkah unilateral dalam memperluas dan memperkuat dominasinya di kawasan Palestina.

Ironisnya, Palestina tidak bisa berbuat apa-apa. Belum ada langkah yang serius yang disusun Palestina di tengah pandemi ini. Maklum, Palestina sedang menghadapi krisis ekonomi yang serius. Situasi yang tidak menentu akibat wabah corona telah menyebabkan kehidupan ekonomi lumpuh. Dalam situasi normal saja, ekonomi Palestina sudah berdarah-darah, apalagi di tengah pandemi corona.

Dalam konteks tersebut tidak ada pilihan lain bagi Palestina, kecuali memperkuat dan menyatukan barisan. Faksi-faksi yang selama ini berseteru, khususnya Fatah dan Hamas harus duduk bersama dalam satu meja membahas langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menghadapi manuver Israel tersebut. Sebab dalam situasi apapun, manuver Israel tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan, karena melanggar kedaulatan Palestina dan konvensi internasional.

Israel tidak mempunyai hak untuk melakukan pembangunan ilegal di Tepi Barat. Israel juga tidak bisa secara unilateral menguasai kota suci agama-agama, Jerusalem. Palestina mempunyai kedaulatan penuh terhadap kawasan Masjid al-Aqsha sebagai simbol kota Islam umat Islam. Kesepakatan abad ini yang akan menghilangkan kedaulatan Palestina terhadap Masjid al-Aqsha sama sekali tidak dibenarkan.

Dalam hal ini, Palestina harus mengantisipasi berbagai langkah, baik secara politik maupun hukum internasional. Sebab Israel sendiri sudah mendapat dukungan penuh di parlemen dan Amerika Serikat di bawah payung proposal kesepakatan abad ini. Dan Netanyahu akan memimpin langsung untuk melakukan manuver dalam skala yang lebih besar dengan menggalang dukungan dari berbagai negara.

Hanya ada secercah harapan bagi Palestina untuk menghentikan manuver Israel tersebut yaitu hasil pemilu Amerika Serikat yang akan digelar pada bulan November nanti. Joe Biden, kandidat presiden dari Partai Demokrat baru saja menyampaikan pandangannya terkait konflik Israel-Palestina. Jika ia memenangkan Pemilu Presiden nanti, ia berjanji akan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Jerusalem ke Tel Aviv lagi.

Maknanya, proposal kesepakatan abad ini akan ambyar. Israel tidak akan bisa lagi melanjutkan pembangunan ilegal di Tepi Barat, dan upaya untuk menguasai penuh Jerusalem juga akan mengalami kegagalan. Netanyahu pada akhirnya tidak akan mendapatkan dukungan penuh dari Amerika Serikat.

Namun, jika Donald L Trump memenangkan pertarungan dalam Pemilu Presiden yang akan datang, maka situasinya akan sangat sulit bagi Palestina. Ditengarai akan terjadi peristiwa besar di Palestina, bahkan di dunia. Warga dunia tidak akan membiarkan langkah unilateral Israel dan Amerika Serikat itu, karena penderitaan yang dihadapi Palestina adalah penderitaan warga dunia. []

DETIK, 30 April 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar