Orang Perantauan,
Menunaikan Zakat Fitrah di Mana?
Bagi orang-orang perantauan, pulang ke
kampung halaman adalah hal yang paling diharapkan dalam rangka melepas rasa
kangen terhadap keluarga, kerabat, dan teman-teman semasa kecilnya. Khususnya
ketika pada momen lebaran Idul Fitri, mudik bisa disebut sebagai “kewajiban”
tahunan yang tidak ingin mereka lewatkan.
Namun, tak jarang pula, terdapat sebagian
orang yang dikejar oleh target dan lemburan di tempat kerjanya, sehingga mereka
harus merelakan untuk merayakan hari raya Idul Fitri di tempat di mana mereka
bekerja. Melihat realitas demikian, terdapat salah satu kewajiban yang perlu
diperhatikan, yakni tentang kewajiban pembayaran zakat fitrah bagi mereka.
Sebenarnya di manakah tempat pembayaran zakat fitrah yang dianjurkan oleh
syara’ bagi orang-orang yang masih berada di tempat perantauan? Apakah
sebaiknya mereka membayar zakat fitrah di tanah rantau atau lebih baik di
kampung halamannya?
Para ulama Syafi’iyah memberikan ketentuan
tentang tempat pendistribusian zakat fitrah dengan mengacu pada tempat di mana
seseorang berada pada saat terbenamnya matahari di hari akhir bulan Ramadhan
atau malam hari raya Id. Maka bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada
saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya.
Ketentuan ini salah satunya dijelaskan dalam kitab Ghayah Talkhish al-Murad:
ـ
(مسألة): تجب زكاة
الفطر في الموضع الذي كان الشخص فيه عند الغروب، فيصرفها لمن كان هناك من
المستحقين، وإلا نقلها إلى أقرب موضع إلى ذلك المكان
“Zakat fitrah wajib (ditunaikan) di tempat di
mana seseorang berada pada saat matahari (di hari akhir Ramadhan) tenggelam.
Maka ia memberikan zakat fitrah pada orang yang berhak menerima zakat yang
berada di tempat tersebut, jika tidak ditemukan, maka ia berikan di tempat
terdekat dari tempatnya” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi,
Ghayah Talkhish al-Murad, hal. 43).
Berdasarkan referensi di atas, menunaikan
zakat fitrah yang benar adalah di tempat di mana seseorang berada. Ketika
seseorang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya, maka ia harus
menunaikan zakat pada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat)
yang ada di tempat tersebut. Jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat
fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung
halamannya.
Sedangkan ketika ketentuan demikian tidak
dilaksanakan, misalnya orang yang berada di perantauan pada saat malam hari
raya, mewakilkan kepada keluarganya di kampung halaman agar membayarkan zakat
fitrah atas dirinya dan dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat
di kampung halamannya, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara
ulama tentang masalah naql az-zakat (memindahkan pengalokasian harta zakat).
Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:
قال
أصحابنا إذا كان في وقت وجوب زكاة الفطر في بلد وماله فيه وجب صرفها فيه فإن نقلها
عنه كان كنقل باقي الزكوات ففيه الخلاف والتفصيل السابق
“Para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkata:
‘Ketika seseorang pada saat wajibnya zakat fitrah berada di suatu daerah, dan
hartanya juga berada di daerah tersebut, maka wajib untuk menunaikan zakat di
daerah tersebut. Jika ia memindahkan pembagian zakatnya (ke tempat yang lain)
maka hukumnya seperti halnya hukum memindahkan pembagian zakat yang terdapat
perbedaan di antara ulama dan terdapat perincian yang telah dijelaskan.” (Syekh
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal.
225)
Sedangkan perbedaan pendapat dalam menyikapi
naql az-zakat dalam mazhab Syafi’i, yakni menurut pendapat yang unggul (rajih),
memindah pengalokasian harta zakat adalah hal yang tidak diperbolehkan,
sedangkan menurut sekelompok ulama yang lain, seperti Ibnu ‘Ujail dan Ibnu
Shalah memperbolehkan naql az-Zakat (Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi,
Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 217).
Maka dapat disimpulkan bahwa wajib bagi orang
yang berada di perantauan agar menunaikan zakat fitrah di tempat di mana ia
berada pada saat malam hari raya. Kebiasaan menunaikan zakat fitrah di kampung
halaman bagi orang yang masih berada di perantauan tidak bisa dibenarkan,
kecuali menurut sebagian ulama yang memperbolehkan naql az-zakat. Wallahu
a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar