Jumat, 08 Mei 2020

(Ngaji of the Day) Sejarah Shalat Tarawih di Rumah pada Zaman Rasulullah SAW


Sejarah Shalat Tarawih di Rumah pada Zaman Rasulullah SAW

Shalat tarawih di rumah sebagaimana anjuran pemerintah dalam rangka pencegahan Covid-19 tampaknya bukan hal baru. Sejarah pelaksanaan shalat tarawih di rumah dapat ditemukan dalam kitab hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad.

Di sana kita akan menemukan cerita Siti Aisyah RA yang mengisahkan peristiwa yang terjadi pada 10 malam terakhir pada sebuah Ramadhan. Pada itu Rasulullah melakukan shalat tarawih bersama beberapa orang. Pada malam selanjutnya sebagian sahabat yang tidak ikut pada malam sebelumnya hadir sehingga shalat tarawih Rasulullah di masjid diikuti oleh banyak jamaah dibanding pada malam sebelumnya. Pada malam ketiga, masjid penuh sesak dengan jamaah yang menanti Rasulullah. Tetapi Nabi Muhammad SAW tidak keluar rumah.

Lalu Rasulullah mengabarkan bahwa beliau mengetahui keinginan para sahabat untuk shalat tarawih bersamanya tetapi ia khawatir Allah menurunkan wahyu yang berisi perintah shalat tarawih sehingga shalat sunnah malam Ramadhan itu menjadi wajib. Sikap diam diri di rumah menunjukkan rahmat, kasih sayang, dan perhatian Rasulullah SAW kepada umatnya sebagaimana Surat At-Taubah ayat 128. (Abdul Muhsin Abbad, Syarah Abu Dawud).

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya, “Sungguh, seorang rasul dari kaummu sendiri telah datang kepadamu, (seorang rasul yang) merasa keberatan atas kesulitanmu, yang sangat menginginkan (keimanan) bagimu, yang sangat berbelas kasih dan penyayang terhadap orang-orang beriman,” (Surat At-Taubah ayat 128).

Sebagian riwayat menyatakan bahwa para sahabat yang tidak sabar melempari pintu rumah Rasulullah SAW dengan kerikil kecil sehingga Rasulullah terpaksa keluar untuk mengabarkan kekhawatirannya akan turunnya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih untuk umatnya. Adapun redaksi hadits riwayat Siti Aisyah RA dapat dibaca sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ زوج النبي صلى الله عليه وسلم أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

Artinya, “Dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, Rasulullah SAW melakukan shalat (tarawih) di masjid pada suatu malam. Orang-orang bermakmum kepadanya. Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali shalat tarawih dan jamaahnya semakin banyak. Pada malam ketiga atau keempat, jamaah telah berkumpul, tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah. Ketika pagi Rasulullah mengatakan, ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir ia (shalat tarawih) diwajibkan,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Malik dan Ahmad).

Pada riwayat Abu Dawud, Siti Aisyah bercerita bahwa malam itu para sahabat shalat tarawih di masjid masing-masing. Sementara ia diminta oleh Rasulullah untuk menyiapkan tikar untuk shalat tarawih di rumah. Kepada sahabat pada paginya Rasulullah mengatakan, “Wahai sekalian manusia, demi Allah aku semalam alhamdulillah tidak lalai (tidur) dan tidak samar bagiku kedudukanmu (semalam).”

Dari hadits ini, ulama menyimpulkan kebolehan shalat sunnah secara berjamaah. Tetapi shalat sunnah lebih utama dilakukan secara sendiri-sendiri kecuali shalat tarawih. Ulama juga menyimpulkan kebolehan shalat sunnah di masjid sekalipun shalat sunnah di rumah lebih utama. Ulama juga menarik simpulan atas kebolehan mengikut seseorang untuk berjamaah meski yang bersangkutan tidak meniatkan shalatnya di awal sebagai imam. Demikian pandangan mayorias ulama. (Badruddin Al-Aini Al-Hanafi, Syarah Abu Dawud).

Sejak periwtiwa itu Ramadhan berlalu dengan sepi tanpa ada aktivitas shalat tarawih berjamaah di masjid. Para sahabat melakukan shalat tarawih di rumah dan di masjid secara sendiri-sendiri. Satu ke Ramadhan selanjutnya berlangsung demikian hingga Rasulullah wafat. Malam Ramadhan di era pemerintahan Sayyidina Abu Bakar RA masjid juga masih sepi dari shalat tarawih berjamaah.

Para sahabat mematuhinya karena tindakan nabi merupakan hujjah syar'iyyah yang menjadi panduan praktik keberagamaan umat Islam.

أفعال النبي صلى الله عليه وسلم من حيث الجملة حجة على العباد إذ هي دليل شرعي يدل على أحكام الله تعالى في أفعال المكلفين

Artinya, “Tindakan/perbuatan Nabi Muhammad SAW secara umum merupakan hujjah syariyyah atas para hamba Allah karena ia adalah dalil syar’i yang menunjukkan hukum Allah SWT terkait perilaku para hamba-Nya yang mukallaf,” (Lihat Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Af’alur Rasul wa Dalalatuha alal Ahkamis Syar’iyyah, [Yordan, Darun Nafa’is: 2015 M/1436 H], juz I, halaman 185).

Situasi baru datang di masa pemerintahan Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khattab. Ia mengumpulkan masyarakat untuk menghidupi malam Ramadhan dengan shalat tarawih berjamaah di masjid. Hal ini dilakukan karena Rasulullah SAW telah wafat sehingga tidak ada lagi kekhawatiran turunnya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar