Jejak dan
Derap Peradaban Islam (4)
Peradaban
Islam: Iqra' bi Ism Rabbik (2)
Oleh:
Nasaruddin Umar
Sayang
sekali masa kejayaan Islam selama enam abad tidak bisa berlangsung lebih lama
karena pusat-pusat kerajaan Islam terlalu jauh meninggalkan ruhul islam.
Akibatnya lahirlah periode kelima, yang ditandai dengan melemahnya pusat-pusat
kerajaan Islam dan kebangkitan Eropa di abad ke XIII. Periode ini ditandai
dengan semakin bangkitnya pemikiran dunia Barat khususnya Eropa. Buku-buku dan
kitab-kitab yang baik dari Timur Islam diambil dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Eropa, khususnya bahasa Inggeris, Perancis, dan Spanyol. Perpecahan dan
bahkan perang saudara antara dinasti-dinasti Islam berlangsung di mana-mana.
Belum lagi dekadensi moral semakin meluas di dalam masyarakat. Apa yang terjadi
pada masa jahiliyah kembali diadopsi anggota keluarga raja dan kalangan elit
bangsa Arab, misalnya tradisi harem (gundit-gundit) yang sudah pernah tidak
kedengaran pada masa awal Islam kembali marak lagi, khususnya di lingkungan
istana. Malah menurut Fatimah Mernissi, di antara seluruh raja yang pernah
berdaulat di dinasti Bani Abbasiyah, hanya dua orang yang lahir dari permaisuri
sah, selebihnya berasal dari isteri selir raja.
Hal lain
yang perlu dicatat ialah merosotnya aktifitas ilmu pengetahuan. Pemikiran
mu'tazilah yang menjunjung tinggi pikiran dan logika seolah-olah dipandang
sebagai aliran sesat. Akibatnya aktifitas pemikiran dan ilmu pengetahuan
mandeg. Kebetulan setelah pemikiran mu'tazilah menurun digantikan oleh
aktifitas tasawuf, yang lebih menekankan aspek rasa dan spiritualitas.
Khurafat, bid'ah, dan pemikiran mistik dan spekulatif berkembang cepat dalam
dunia Islam. Pandangan dunia (Islamic world view) berbalik dengan
periode-periode sebelumnya. Periode ini betul-betul memalukan bagi dunia Islam.
Menurut
teori politik Ibnu Khaldun, yang membagi periode sejarah kerajaan itu pada
empat periode, yakni periode perintis, periode pembangun, periode penikmat, dan
periode penghancur. Periode penghancur ini terjadi di dalam abad XIII. Cepat
atau lambatnya siklus Ibnu Khaldun ini tergantung konsisten atau tidaknya para
pelaku politik di dalam memerankan peran politiknya. Al-Qur'an sendiri
meniscayakan perubahan itu, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. Ali
'Imran/3:140: "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Al-Qur'an juga menegaskan
bahwa yang punya ajal itu bukan hanya manusia sebagai perorangan tetapi suatu
masyaakat juga punya ajal, likulli ummatin 'ajal (setiap suatu komunitas itu
mempunyai ajal). Dan dalam ayat lain juga dikatakan, "apa bila ajal tiba
tidak akan ditunda atau dipercepat".
Dalam
periode ini berkembang faham positifisme yang menganggap agama adalah candu
bagi msyarakat. Semua bisa diselesaikan dengan sains dan teknologi. Memang
mistisisme di Barat bisa diredam tetapi mempertentangkan ilmu pengetahuan dan
agama merupakan kesalahan besar. Akibat dari berbagai kekecewaan ini maka
muncul suatu kecenderungan baru dalam masyarakat untuk merevisi ulang pandangan
hidup dunia Barat yang sedemikian jauh dirasuki pikiran sekularisme. Kecenderungan
inilah, menurut Prof Hull, yang menjadi cikal bakal lahirnya periode
berikutnya, yaitu periode kebangkitan Islam jilid II. Kebangkitan hellenisme
jilid II maju cepat, termasuk menghidupkan kembali mazhab empirisme Aristoteles
dan rasionalisme Plato, yang kemudian dikenal New Platonisme. Kedudukan agama
pada periode ini mengalami stagnan. Satu persatu dunia Islam takluk di bawah
kekuasaan penjajah Barat. Dunia Barat hanya mengembangkan sains dan teknologi
tetapi melupakan agama sebagai pembimbingnya. Mereka baru sadar setelah bom
Atom meledak di Hirosima dan Nagasaki. Ternyata benar bahwa iqra' tanpa bi ismi
Rabbik adalah malapetaka kemanusiaan. []
DETIK, 19
April 2020
Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar