Memakai Obat Tetes Telinga
dan Mata, Membatalkan Puasa?
Kondisi sakit kadang tidak mengenal waktu,
kapan pun bisa datang, termasuk saat bulan Ramadhan. Karena suatu hal tertentu
seseorang yang tengah berpuasa mengalami gangguan di bagian mata dan telinga.
Obat tetes biasanya menjadi salah satu solusi pengobatan. Pertanyaannya adalah
bagaimana hukum memakai tetes telinga dan mata saat puasa? Apakah dapat
membatalkan puasa?
Puasa menurut istilah syariat adalah menahan
diri dari segala hal yang membatalkannya. Para ulama menjelaskan bahwa di
antara perkara yang membatalkan puasa adalah masuknya benda ke dalam anggota
tubuh bagian dalam melalui rongga terbuka. Rongga terbuka yang dimaksud
meliputi mulut, lubang kemaluan, lubang anus, lubang hidung dan lubang telinga.
Benda apa pun yang masuk melalui rongga-rongga tersebut dapat membatalkan puasa
bila sampai ke dalam anggota batin.
Oleh sebab itu, memasukkan cairan ke dalam
telinga, termasuk dalam hal ini obat tetes telinga, dapat membatalkan puasa
bila cairan tersebut sampai ke bagian dalam telinga.
Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan:
وَالتَّقْطِيرُ
فِي بَاطِنِ الْأُذُنِ مُفْطِرٌ
“Dan meneteskan (cairan) ke rongga dalam
telinga membatalkan (puasa),” (Syekh Khathib al-Syarbini, al-Iqna’ Hamisy
Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 379).
Ketentuan hukumnya akan menjadi berbeda bila
dalam kondisi sakit telinga, sekiranya rasa nyeri yang diderita berat, dan
tidak bisa diredakan atau minimal diringankan kecuali dengan obat tetes telinga
atas petunjuk dokter atau pengetahuannya sendiri. Bila demikian kondisinya,
maka memasukan obat tetes telinga diperbolehkan dan tidak dapat membatalkan
puasa, karena darurat. Hal ini sesuai dengan prinsip kaidah fiqih “al-dlarurat
tubihu al-mahdhurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang semula
diharamkan)”.
Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi
mengutip fatwanya Syekh Bahuwairits sebagai berikut:
ـ
(فَائِدَةٌ) اُبْتُلِيَ
بِوَجَعٍ فِيْ أُذُنِهِ لاَ يُحْتَمَلُ مَعَهُ السُّكُوْنُ إِلاَّ بِوَضْعِ
دَوَاءٍ يُسْتَعْمَلُ فِيْ دُهْنٍ أَوْ قُطْنٍ وَتَحَقَّقَ التَّخْفِيْفُ أَوْ
زَوَالُ اْلأَلَمِ بِهِ بِأَنْ عَرَفَ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ أَخْبَرَهُ طَبِيْبٌ
جَازَ ذَلِكَ وَصَحَّ صَوْمُهُ لِلضَّرُوْرَةِ اهـ فتاوي باحويرث
“Bila seseorang dicoba dengan rasa sakit di
telinganya, ia tidak bisa tenang kecuali dengan meletakan obat di dalam minyak
atau kapas (ke dalam telinga) dan nyata-nyata dapat meringankan atau menghilangkan
rasa sakit dengan obat tersebut, berdasarkan pengetahuan pribadi atau informasi
dokter, maka hal demikian boleh dan sah puasanya, karena darurat. Himpunan
fatwa Syekh Bahuwairits,” (Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi,
Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 182).
Berbeda halnya dengan hukum memakai tetes
mata, hal tersebut diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa, meski seandainya
obat terasa sampai tenggorokan. Hal tersebut dikarenakan lubang mata tidak
memiliki jalur penghubung sampai ke tenggorokan. Demikian pula yang masuk ke
tenggorokan melalui perantara pori-pori tubuh, bukan melalui lubang mata,
sebagaimana kasus mengguyur air saat mandi—puasa tidak batal kendati kesegaran
air bisa dirasakan oleh tubuh. Sebab, masuknya air bukan melalui lubang, tetapi
dari pori-pori.
Kasus meneteskan obat tetes mata ini sesuai
dianalogikan dengan persoalan iktihal (memasukan celak mata) sebagaimana
penjelasan Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli berikut ini:
وَلَا
يَضُرُّ الْاِكْتِحَالُ وَإِنْ وُجِدَ طُعْمُ الْكُحْلِ بِحَلْقِهِ لِأَنَّهُ لَا
مَنْفَذَ مِنَ الْعَيْنِ إِلَى الْحَلْقِ وَإِنَّمَا الْوَاصِلُ إِلَيْهِ مِنَ
الْمَسَام
ِ
“Dan tidak bermasalah memakai celak mata,
meski ditemukan rasanya celak di tenggorokan, sebab tidak ada akses penghubung
dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori,”
(Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Ghayah al-Bayan, hal. 156).
Walhasil, memakai obat tetes telinga saat
puasa dapat membatalkan puasa kecuali dalam keadaan darurat untuk menghilangkan
rasa nyeri atau meminimalisasi berdasarkan petunjuk dokter atau pengetahuan
pribadi. Berbeda dengan memakai obat tetes mata, hukumnya diperbolehkan dan
tidak membatalkan puasa meski tidak dalam keadaan darurat. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar