Rabu, 06 Mei 2020

Azyumardi: Wabah Corona dan Masyarakat Sipil


Wabah Corona dan Masyarakat Sipil
Oleh: Azyumardi Azra

Wabah korona menelan banyak korban secara global. Worldometer Covid-19 mencatat, wabah korona sampai akhir April ini menjangkau 210 negara dan teritori; sekitar 3.150.000an orang positif dan 220.000 jiwa meninggal. Bisa dipastikan jumlah korban ini terus bertambah.

Tetapi optimisme menguat karena ada tanda-tanda pelandaian wabah korona. Indikator itu misalnya semakin sedikit jumlah orang positif korona, kian banyak yang sembuh dan makin sedikit jumlah yang meninggal.

Meskipun demikian, tidak jelas benar kapan wabah ini berakhir sepenuhnya. Ada berbagai prediksi yang memperkirakan pelandaian sampai 100 persen terjadi antara Agustus sampai Desember 2020.

Terlepas dari berapa jumlah korban dan kapan akhir wabah korona, jelas dampaknya atas berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia  berlanjut bertahun-tahun. Memulihkan kehidupan ekonomi yang bisa mendorong kebangkitan kembali berbagai aspek kehidupan lain tidak cukup dalam bilangan bulan atau setahun dua tahun. Oleh karena itu, stamina dan daya tahan untuk bertahan dalam kehidupan sulit harus tetap diperkuat.

Di tanah air Indonesia juga mulai ada optimisme, misalnya dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen Doni Monardo (27/4/20) tentang gejala terjadinya pelandaian wabah korona seperti di Provinsi DKI Jakarta. Tetapi Indonesia terus mencatat kenaikan jumlah mereka yang positif terinfeksi Covid-19 dan yang wafat. Walau jumlah mereka yang sembuh juga terus bertambah.

Namun, jutaan warga lain terkena dampak ekonomi dan sosial wabah korona. Mereka adalah sekitar 7,2 juta penganggur yang sudah ada sebelum wabah. Barisan penganggur ini ditambah lebih banyak lagi mereka yang tidak lagi bisa bekerja, kehilangan pekerjaan atau terkena PHK.

Pemerintah baik pusat maupun daerah terlihat gagap menghadapi wabah korona. Pemerintah bukan hanya kesulitan dalam penggalangan fasilitas kesehatan untuk merawat korban virus korona, tetapi juga dalam menyantuni sangat banyak warga terdampak.

Bantuan sembako dan uang dari pemerintah tidak mudah disalurkan karena komplikasi dan kekusutan birokrasi di pusat dan daerah. Ada juga pejabat pemerintah di pusat dan daerah yang berusaha mendapat keuntungan politis dan pencitraan dari bantuan dana negara—bukan duit pribadi.

Jutaan warga terdampak dan nestapa beruntung mendapat bantuan sembako dan dana dari berbagai pihak non-pemerintah, tegasnya masyarakat sipil (civil society). Masyarakat sipil yang juga disebut ‘masyarakat madani’ atau ‘masyarakat kewargaan’ dengan cepat memberikan bantuan kepada rumah sakit milik pemerintah dan swasta yang kekurangan alat-alat medis untuk menangani mereka yang terjangkiti korona.

Civil society juga sangat giat menyantuni mereka yang terdampak. Mereka tidak terbelenggu administrasi dan birokrasi; mereka relatif bebas dari negara dan menjadi ‘jembatan’ di antara masyarakat dan negara.

 Masyarakat sipil Indonesia terkenal dinamis dan hidup (vibrant). Masyarakat madani di negeri ini memainkan peran penting, baik di masa damai maupun susah. Berkat masyarakat sipil yang kuat dan hidup, Indonesia dapat menjalani transisi dari kekuasaan otoritarian ke demokrasi secara damai pada 1998-1999.

 Dalam masa susah di tengah wabah korona kembali masyarakat madani menunjukkan peran pentingnya. Mereka terwakili dalam individu dan kelompok warga yang banyak terlibat dalam asosiasi dan organisasi yang eksis sejak dari tingkat RT/RW sampai lingkungan lebih luas.

Banyak masyarakat sipil Indonesia berbasis agama, khususnya Islam. Penulis Resonansi ini sejak waktu lama dalam berbagai tulisan menyebutnya Islamic-based civil society. Mereka terdiri dari ormas Islam, yayasan atau kepenyantunan sosial atau lembaga advokasi filantropi (BAZ atau LAZ).

Di tengah wabah korona yang menyebar ke berbagai pelosok tanahair, Indonesia beruntung memiliki tradisi gotong royong yang lama dan kuat. Dalam tradisi ini para warga—atas dasar ajaran Islam yang dianut mayoritas penduduk—memberi dan berbagi (giving and sharing) sembako, dana, waktu dan tenaga untuk orang atau kelompok warga yang kesulitan dan membutuhkan bantuan.

Kenyataan ini tidak luput dari perhatian pengamat asing. Misalnya Shane Preuss dalam artikelnya ‘Indonesia and COVID-19: What the World is Missing’ (The Diplomat, April 24, 2020) menyatakan, ketika pemerintah Indonesia terseok (stumbled), masyarakat sipil bangkit menyelamatkan.

Preuss mengritik pemerintah dan pengamat asing yang cenderung meremehkan Indonesia dengan hanya melihat kinerja pemerintah yang gagap dan lelet. Dalam keadaan susah, Indonesia bisa memiliki ketahanan bertahan berkat masyarakat sipil. []

REPUBLIKA, 30 April 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar