Lima
Hikmah Anjuran Wakaf
Di tulisan sebelumnya
tentang dalil pensyariatan dan keutamaan wakaf, penulis telah memaparkan
argumentasi tentang anjuran berwakaf, baik dari Al-Quran, al-Hadits, Ijma’
(konsensus ulama), dan teladan para sahabat Nabi. Dapat dipahami dari tulisan
tersebut bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah yang mendapat perhatian lebih
dari agama. Oleh karena besarnya pahala wakaf, maka besar pula hikmah yang
terkandung di dalamnya.
Syekh Dr. Musthafa
al-Khin dkk menerangkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhab al-Imam
al-Syafi’i juz 5, hal. 12, bahwa terdapat lima hikmah pensyariatan wakaf.
Pertama, membuka
pintu taqarrub (pendekatan diri kepada Allah).
Tidak ada hal yang
lebih dicintai seorang mukmin melebihi kedekatannya dengan Allah sang maha
pencipta. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, saat seorang Muslim dekat
dan dicintai Tuhannya, maka ia akan dijaga mata, tangan, kaki, telinga, dan
seluruh tubuhnya. Oleh sebab itu, Islam memberi banyak pintu kebaikan yang
dapat meningkatkan kecintaan Allah kepada manusia, di antaranya dengan
pensyariatan wakaf.
Muslim yang rela
mendermakan hartanya dengan cara berwakaf berarti telah membuka ruang
selebar-lebarnya mendekati Tuhannya. Sepanjang harta wakaf masih dimanfaatkan,
pihak pewakaf mendapat kucuran pahala tanpa harus ikut beramal, bahkan
pahalanya tidak putus setelah ia mati meninggalkan dunia.
Kedua, memastikan
komitmen penghambaan Muslim.
Seperti yang
difirmankan Allah, manusia dan jin tidak diciptakan kecuali untuk beribadah dan
menghamba kepada-Nya. Menghamba berarti harus siap menjalankan apa pun yang
diperintah Tuhan, seperti pembantu yang harus patuh atas segala kehendak majikannya.
Shalat, ibadah, hidup dan mati manusia semuanya hanya untuk Tuhan semesta alam.
Tidak cukup menjadi hamba atau pecinta hanya dengan bermodal kata-kata “aku
hamba Allah”, “aku mencintai Allah”, tapi harus disertai dengan bukti perilaku
yang riil dan nyata. Allah menguji kualitas penghambaan manusia salah satunya
dengan perintah berwakaf. Allah menantang umat manusia, tidaklah mereka
mendapat kebaikan sampai rela mendermakan sebagian harta yang mereka sukai (QS
Ali Imran: 92).
Ketiga, menekankan pentingnya
investasi pahala.
Siapa yang tidak
senang mendapat hasil tanpa ikut bekerja? Misalnya begini. Ada pemodal besar
menanam saham di perusahaan tertentu. Betapa beruntungnya sang investor ketika
perusahaan itu berkembang pesat menguasai pasar. Tanpa harus memeras keringat
ia menerima pundi-pundi rupiah di rekeningnya. Demikianlah logika sederhana
sebuah investasi.
Agama mengajarkan
kepada manusia bahwa di antara sekian banyaknya jenis investasi, wakaf adalah
sebuah investasi yang lebih menguntungkan. Investor yang kaya raya dengan
triliunan uang yang dimiliki akan binasa, harta dan asetnya tidak akan dibawa
sampai mati, juga tidak bisa dibuat modal yang menyelamatkan di akhirat.
Padahal puncak dari perjalanan manusia adalah kehidupan setelah kematian.
Berbeda dengan wakaf, pahalanya akan terus mengalir tiada henti sepanjang harta
wakaf dimanfaatkan untuk hal yang positif. Kedermawanan sang pewakaf semasa
hidupnya menjadi modal yang berharga untuk kehidupan di alam barzakh, alam
kubur, dan puncaknya di hari penghakiman massal perbuatan manusia kelak.
Keempat, memajukan
peradaban umat Islam.
Harta-harta wakaf
bila dikelola dengan baik dapat memberi dampak positif yang besar untuk
kemaslahatan umat Islam. Masjid, pondok pesantren, majelis ilmu, sekolahan, dan
sebagainya tidak akan mati, kendala finansial untuk kemajuan dan
perkembangannya bisa teratasi. Pesantren-pesantren akan mencetak kader ulama
yang alim dan saleh, kampus-kampus akan memproduk para ilmuwan dan pakar kelas
dunia, masjid tidak hanya makmur secara fisik, namun juga ramai kegiatan, dan
lain sebagainya. Asalkan tidak dikorupsi dan dikelola dengan Quality Management
(manajemen berkualitas), semua mimpi-mimpi itu akan menjadi nyata.
Kelima,
mensejahterakan kaum dhuafa.
Wakaf bisa menjadi
salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Sebagian saudara kita yang
lemah secara ekonomi dapat dibantu dengan memberi mereka modal, misalnya dengan
memberi sebagian hasil pengembangan harta wakaf produktif. Demikian pula para
anak yatim, kaum dhuafa, janda-janda, setidaknya dapat diringankan beban hidup
mereka dengan kontribusi harta wakaf.
Dapat dipahami dari
uraian di atas, bahwa keutamaan wakaf tidak hanya berhubungan dengan pahala
besar yang diterima pewakaf, tapi juga berkaitan dengan kemajuan dan kepedulian
untuk kemaslahatan bersama. []
Ustadz M.
Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan,
Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar