Kafarat atau Denda Hubungan
Badan saat Puasa Ramadhan
Diketahui bahwa orang yang sengaja merusak
puasanya di bulan Ramadhan dengan senggama atau hubungan seksual, wajib
menjalankan kifarah ‘udhma (kafarat besar), dengan urutan kafarat
(denda) sebagai berikut.
Pertama, ia harus
memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sahaya
itu juga harus bebas dari cacat yang mengganggu kinerjanya. Kedua, jika
tidak mampu, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga,
jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada 60 orang miskin,
masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter). Kafarat
di atas berdasarkan hadits sahih berikut ini:
أَنَّ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي
رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا
Artinya: Abu Hurairah meriwayatkan, ada
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lantas berkata,
“Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau
bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh
laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama
dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.”
Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,”
(HR al-Bukhari).
Atas dasar itu pula, para ulama
fiqih—terutama ulama fiqih Syafi‘i—sepakat untuk menetapkan kafarat tersebut.
Antara lain yang dilakukan Syekh Salim ibn Sumair al-Hadhrami dalam kitabnya Safînah
al-Najâh, (Terbitan Darul Ihya, Cetakan pertama, Tanpa tahun, halaman 112),
sebagaimana petikan berikut:
يجب
مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا
بجماع تام آثم به للصوم
Artinya, “Selain qadha, juga wajib kifarah
‘udhma disertai ta‘zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan
sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu
pelakunya berdosa karena puasanya.”
Mengingat pentingnya pembahasan kafarat
tersebut, kiranya perlu dirinci model (pelanggaran) senggama seperti apa yang
mengakibatkan pelakunya harus terkena sanksi sebagaimana di atas.
Dalam Kâsyifah al-Sajâ (Terbitan Darul
Ihya, Cetakan pertama, Tanpa tahun, halaman 112), Syekh Nawawi al-Bantani
merinci sebelas persyaratan jatuhnya kifarah ‘udhma. Berikut adalah
sebelas persyaratan dimaksud disertai penjelasan secukupnya dari kitab Asnâ
al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thâlib karya Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn
Zakariya al-Anshari, (Cetakan Darul Kitab al-Islami, Tanpa Tahun, Jilid 1,
mulai dari halaman 425).
Pertama, kewajiban kifarah ‘udhma dijatuhkan
kepada orang yang sengaja menyenggama melalui kemaluan atau anus. Sedangkan
kepada orang yang disenggama tidak dijatuhkan, baik laki-laki maupun
perempuan. Hal itu seperti yang dikemukakan dalam Asnâ al-Mathâlib:
لَا
كَفَّارَةَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا فِي الْخَبَرِ إلَّا
الرَّجُلُ الْمَوَاقِعُ
Artinya: “Tidak kafarat bagi wanita yang
disenggama, sebab ia tidak diperintah melakukannya, kecuali laki-laki yang
menyenggamanya,, berdasarkan hadits.”
فَيَخْتَصُّ
بِالرَّجُلِ الْوَاطِئِ كَالْمَهْرِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ وَلَا
عَلَى الرَّجُلِ الْمَوْطُوءِ كَمَا نَقَلَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ
Artinya, “Tak beda dengan mahar, sanksi
kafarat ini hanya dikhususkan bagi laki-laki yang menyenggama. Sehingga, tidak
ada kewajiban bagi wanita yang disenggama, juga kepada laki-laki yang
disenggama, sebagai yang dikutip oleh Ibnu al-Rif‘ah.”
Kedua, kafarat ini tidak
dijatuhkan kecuali kepada orang yang merusak puasanya dengan senggama,
dilakukannya secara sengaja, menyadari sedang berpuasa, tahu keharamannya,
kendati dirinya tidak tahu kewajiban kafarat itu. Sehingga, jika ia merusak
puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian
bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana dalam Asna
al-Mathalib:
وَقَوْلُنَا
بِجِمَاعٍ احْتِرَازًا مِمَّنْ أَفْطَرَ أَوَّلًا بِغَيْرِهِ ثُمَّ جَامَعَ
فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ فِي ذَلِكَ
Artinya, “Maksud kami dengan ‘senggama’
mengecualikan orang yang sebelumnya membatalkan puasa dengan selain senggama,
kemudian ia bersenggama, maka tidak kewajiban kafarat di dalamnya.”
Begitu pula jika ia dipaksa melakukannya,
karena lupa, dan karena ketidaktahuan yang diampuni, maka tidak perlu kafarat
baginya.
Ketiga, yang dirusak adalah
ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti ibadah shalat atau i'tikaf, tidak
ada kewajiban kafarat.
Keempat, yang dirusak adalah
puasa diri sendiri. Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain,
seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya.
لَوْ
كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ
امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ
بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا
Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan
senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang bersenggama
dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka
tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa
istrinya.”
Kelima, senggama dilakukan
di bulan Ramadhan, walaupun masuknya bulan Ramadhan karena hasil pengamatan
diri sendiri terhadap hilal atau karena informasi orang yang dipercaya.
وَقَوْلُنَا
مِنْ رَمَضَانَ احْتِرَازًا مِنْ الْقَضَاءِ وَالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ) فَلَا كَفَّارَةَ فِي إفْسَادِهَا لِوُرُودِ النَّصِّ فِي
رَمَضَانَ وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِفَضَائِلَ لَا يُشْرِكُهُ فِيهَا غَيْرُهُ
Artinya, “Maksud kami dengan ‘bulan Ramadhan’
adalah mengecualikan puasa qadha, puasa nazar, dan sebagainya. Sehingga tidak
ada kafarat karena rusaknya puasa-puasa tersebut berdasarkan nas yang ada.
Sebab, bulan tersebut diistimewakan dengan sejumlah keutamaan yang tak
tertandingi oleh bulan-bulan yang lain.”
Keenam, kafarat dijatuhkan
karena aktivitas senggama meskipun aktivitasnya berupa anal seks, baik
dengan manusia, dengan mayat, maupun dengan hewan, walaupun tak sampai keluar
sperma. Berbeda halnya dengan aktivitas seksual yang lain, seperti onani,
masturbasi, dan oral seks walaupun hingga keluar sperma. Maka beberapa aktivitas
seksual terakhir ini tidak mewajibkan kafarat.
Ketujuh, sang pelaku berdosa karena
membatalkan puasanya dengan senggama. Berbeda halnya jika sang pelaku masih
anak-anak (belum ditaklif), atau orang yang musafir dan orang sakit, lalu
keduanya bersenggama karena merasa memiliki keringanan (rukhshah).
Pasalnya, mereka tidak berdosa dengan senggama mereka.
لَوْ
كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ
امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ
بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا
Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan
senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang senggama
dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka
tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa
istrinya.”
Kedelapan, dosa senggama
pelaku hanya karena puasa.
ـ
)وَقَوْلُنَا لِأَجْلِ
الصَّوْمِ احْتِرَازًا مِنْ مُسَافِرٍ( أَوْ مَرِيضٍ )زَنَى( أَوْ جَامَعَ
حَلِيلَتَهُ بِغَيْرِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ )فَإِنَّهُ
أَثِمَ لِأَجْلِ الزِّنَا( أَوْ لِأَجْلِ الصَّوْمِ مَعَ عَدَمِ نِيَّةِ
التَّرَخُّصِ
Artinya, “Maksud pernyataan kami ‘karena
puasa’ adalah mengeluarkan orang yang bepergian jauh atau orang sakit lalu
berzina, atau mencampuri istrinya tanpa merasa punya rukhshah, maka tidak ada
kafarat baginya. Sebab, ia berdosa karena zina atau karena puasa tapi tak
merasa punya rukhshah (keringanan).”
Kesembilan, yang dirusak
haruslah puasa sehari penuh dan pelakunya dikategorikan sebagai orang yang
wajib berpuasa dalam sisa hari setelah senggamanya. Sehingga, orang yang pada
suatu hari bersenggama tanpa ada alasan kemudian mengalami tunagrahita atau
meninggal dunia pada sisa hari tersebut, berarti ia tidak dianggap merusak
sehari penuh.
Kesepuluh, waktu yang dipakai
pelaku bersenggama tidak samar dan tidak diragukan. Berbeda halnya jika ia
mengira waktu masih malam, waktu sudah masuk malam, atau meragukan salah
satunya, namun ternyata waktu sudah siang atau masih siang. Begitu pula bila ia
makan karena lupa, lantas mengira puasanya sudah batal, lalu bersenggama secara
sengaja. Maka tidak ada kafarat.
كَمَا
لَوْ جَامَعَ ظَانًّا بَقَاءَ اللَّيْلِ فَبَانَ خِلَافُهُ )وَلَا كَفَّارَةَ
عَلَيْهِ( لِأَنَّهُ جَامَعَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ غَيْرُ صَائِمٍ وَهَذَا خَارِجٌ
بِقَوْلِهِ لِأَجْلِ الصَّوْمِ
Artinya, “Demikian halnya seandainya ada
seseorang mencampuri istrinya karena mengira masih malam, namun ternyata sudah
siang, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya, karena ia melakukan itu atas
dasar keyakinan dirinya belum berpuasa. Kesimpulan ini keluar dari pernyataan
penulis matan ‘karena tujuan puasa.’”
Dengan demikian, orang yang mengetahui waktu
sudah siang atau masih siang, maka mestinya ia seketika menghentikan
senggamanya dan kembali berimsak disertai qadha di hari yang lain. Sebab, jika
tidak, ia akan dijatuhi kewajiban kafarat karena sengaja melanjutkannya.
مَا
إذَا طَلَعَ عَلَيْهِ الْفَجْرُ وَهُوَ مُجَامِعٌ فَاسْتَدَامَ فَإِنَّ الْأَصَحَّ
الْمَنْصُوصُ وُجُوبُ الْكَفَّارَةِ مَعَ انْتِفَاءِ فَسَادِ الصَّوْمِ فِي هَذِهِ
الصُّورَةِ
Artinya, “Jika fajar terbit, sedangkan
seseorang sedang bersenggama, namun tetap meneruskannya, maka berdasarkan nas
yang paling sahih, ia wajib menjalankan kafarat, walaupun tertolaknya kerusakan
puasa dalam kondisi ini (karena puasanya tidak sah).”
Kesebelas, senggama yakin
dilakukan di bulan Ramadhan. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya
sudah memasuki bulan Ramaadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya
dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka
tidak ada kewajiban kafarat baginya. Wallahu a'lam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis
Taklim “Syubbanul Muttaqin”, Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar