Hukum Donor Darah saat
Puasa
Donor darah adalah proses pengambilan darah
dari seseorang secara sukarela untuk disimpan di bank darah sebagai stok darah
untuk kemudian digunakan untuk transfusi darah. Proses donor darah tidak bisa
dilepaskan dari injeksi pada bagian tangan. Bagaimana bila aktivitas tersebut
dilakukan saat puasa? Batalkah puasanya?
Mendermakan kebaikan untuk orang lain dalam
bentuk apa pun merupakan hal yang dianjurkan oleh agama. Donor darah termasuk
di antaranya. Allah memerintahkan agar kita saling tolong-menolong dalam hal
kebaikan. Nabi juga menegaskan seseorang yang menghilangkan kesusahan
saudaranya di dunia, Allah kelak akan menghilangkan penderitaannya di akhirat.
Donor darah yang dilakukan dengan proses
injeksi di bagian tangan, tidak dapat membatalkan puasa. Sebab tidak ada benda
yang masuk ke anggota tubuh bagian dalam melalui rongga terbuka. Donor darah
tidak lebih merupakan proses melukai tubuh yang tidak mempengaruhi keabsahan
puasa, sama seperti melukai tubuh dengan batu, jarum, pisau atau benda-benda
lainnya. Bedanya kalau donor darah tidak berdosa, karena melukai tubuhnya
berdasarkan kebutuhan yang dibenarkan syariat, sedangkan melukai tubuh tanpa
ada tujuan yang jelas hukumnya haram.
Donor darah tidak memiliki ketentuan hukum
yang sama dengan hijamah (bekam), yaitu metode pengobatan dengan cara
mengeluarkan darah statis (kental) yang mengandung toksin dari dalam tubuh
manusia dengan cara melakukan pemvakuman di kulit dan pengeluaran darah
darinya. Hijamah menurut mayoritas Ulama Madzahib al-Arba’ah tidak membatalkan
puasa. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah membatalkan puasa, baik bagi orang
yang membekam atau yang dibekam.
Bila merujuk pendapat mayoritas ulama, maka
persoalan menjadi jelas bahwa donor darah tidak membatalkan puasa sebagaimana bekam.
Demikian pula ketika berpijak dari pendapat Hanabilah, donor darah tidak
membatalkan puasa.
Syekh Manshur bin Yunus al-Bahuti, salah
seorang pembesar ulama Hanabilah, membedakan antara hijamah dan tindakan
melukai tubuh lainnya. Menurut al-Bahuti, melukai tubuh dengan selain hijamah
tidak dapat membatalkan puasa karena dua alasan. Pertama, tidak ada nashnya.
Kedua, tidak didukung analogi (qiyas) yang mapan.
Beliau dalam karya monumentalnya, Kassyaf
al-Qina’ berkata:
وَ
(لَا) فِطْرَ (إنْ
جَرَحَ) الصَّائِمُ (نَفْسَهُ أَوْ جَرَحَهُ غَيْرُهُ بِإِذْنِهِ وَلَمْ يَصِلْ
إلَى جَوْفِهِ) شَيْءٌ مِنْ آلَةِ الْجَرْحِ (وَلَوْ) كَانَ الْجَرْحُ (بَدَلَ الْحِجَامَةِ) (وَلَا)
فِطْرَ (بِفَصْدٍ وَشَرْطٍ وَلَا بِإِخْرَاجِ دَمِهِ بِرُعَافٍ) ؛ لِأَنَّهُ لَا
نَصَّ فِيهِ وَالْقِيَاسُ لَا يَقْتَضِيهِ
“Dan tidak batal puasa bila orang yang
berpuasa melukai dirinya atau dilukai orang lain atas izinnya dan tidak ada
sesuatu apapun dari alat melukai yang sampai ke bagian tubuh bagian dalam,
meski tindakan melukai sebagai ganti dari hijamah. Tidak pula membatalkan puasa
disebabkan al-Fashdu (mengeluarkan darah dengan merobek otot), al-Syarthu
(menyayat kulit untuk menyedot darah), dan mengeluarkan darah dengan mimisan.
Sebab tidak ada nash (syariat) di dalamnya sedangkan metode qiyas tidak
menuntutnya” (Syekh Manshur bin Yunus al-Bahuti, Kassyaf al-Qina’, juz 2, hal.
320).
Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam karya fiqihnya
yang mengomparasikan berbagai mazhab mengklasifikasi tindakan melukai tubuh
selain hijamah ke dalam hal-hal yang tidak dapat membatalkan puasa. Beliau
tidak menyebutkan terdapat ikhtilaf ulama dalam persoalan ini, berbeda dengan
hijamah yang disebutkan ikhtilafnya. Beliau menegaskan:
لَا
يُفْطِرُ الصَّائِمُ بِمَا يَأْتِيْ –إلى أن قال- وَإِخْرَاجِ الدَّمِ بِرُعَافٍ،
وَجَرْحِ الصَّائِمِ نَفْسَهُ أَوْ جَرَحَهُ غَيْرُهُ بِإِذْنِهِ وَلَمْ يَصِلْ
إِلَى جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنْ آلَةِ الْجَرْحِ، وَلَوْ كَانَ الْجَرْحُ بَدَلَ
الْحِجَامَةِ، لِأَنَّهُ لَا نَصَّ فِيْهِ، وَالْقِيَاسُ لَا يَقْتَضِيْهِ.
“Orang yang berpuasa tidak batal dengan
hal-hal sebagai berikut; dan mengeluarkan darah sebab mimisan, melukai diri
atau dilukai orang lain atas seizinnya dan tidak ada sesuatu dari alatnya yang
masuk pada lubang tubuh, meski sebagai ganti dari hijamah, sebab tidak ada nash
di dalam hal tersebut dan qiyas tidak menuntutnya”. (Syekh Wahbah al-Zuhaili,
al-FIqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 3, hal. 1730).
Demikian penjelasan mengenai hukum donor
darah bagi orang yang berpuasa. Semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar