Ketika Kiai Nafi’
Menolak Perintah Mengajar
KH Nafi’ Abdillah merupakan putra dari KH Abdullah Salam dari Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Kiai Nafi’ adalah alumni Pesantren Sarang, Rembang yang waktu itu masih diasuh oleh Kiai Zubair, ayahanda KH Maimoen Zubair.
Sewaktu masih muda,
Kiai Nafi’ diminta para kiai untuk mulai mengajarkan ilmunya kepada
santri-santri dan masyarakat. Karena merasa belum alim, Kiai Nafi’ masih
keberatan melaksanakan perintah tersebut.
“Saya belum siap
mengajar, saya takut (kalau mengajar masih ada yang) salah,” jawab Kiai Nafi’
muda.
Merespons keengganan
Kiai Nafi’ mengajar, kiai-kiai sepuh yang di antaranya adalah Kiai Abdullah
Salam, ayah Kiai Nafi’ sendiri mengatakan, “Apa, kamu tidak mau mengajar karena
takut salah? Itu namanya sombong. Kamu itu bukan nabi kok takut salah. Takut
salah itu sombong. Jelas tidak nabi kok takut salah. Takut tidak takut, pasti
ada salahnya.”
Setelah mendapat
nasihat demikian, Kiai Nafi’ bercerita, “Saya langsung mengajar.”
Demikian kenangan
Kiai Nafi’ yang beliau ceritakan kepada KH Bahaudin Nur Salim sekitar tiga
tahun sebelum Kiai Nafi’ meninggal.
Gus Baha’ menjelaskan bahwa ada orang bersikap tawadhu’, tidak berani memimpin orang lain, padahal dia mampu, itu merupakan kesombongan. Ia ingin mempunyai status ma’shum (terjaga dari dosa) sebagaimana para nabi. Padahal keinginan seperti ini, bagi selain nabi dan rasul adalah suatu hal yang mustahil.
Gus Baha’ yang juga
Rais Syuriyah PBNU memperkirakan, rata-rata jika dibuat hitungan kasar, setiap
kabupaten ada seribu alumni pesantren yang mumpuni di bidang ilmu agama.
Sayangnya, banyak sekali di antara mereka yang karena ditakuti perasaan tidak
mampu, padahal mampu, akhirnya mereka tidak mengajar walau sekadar jadi imam
mushala atau guru TPQ.
Dalam beragama, kata
Gus Baha’, itu bagaikan rumus ruang dalam ilmu fisika. Di mana ada ruang
kosong, di sana akan ada yang mengisinya. Apabila alumni pesantren yang mampu
dan mendalam dalam bidang ilmu agama tidak mau menyebarkan ilmunya, tugas itu
bisa jadi akan diambil alih oleh mereka yang tidak tahu agama.
Habib Muhammad bin
Husain Anis menjelaskan, menurut survei, website dengan konten keislaman yang
berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah presentasenya hanya 10 persen dari semua
website keislaman di Indonesia. Oleh karena itu, para kiai dan santri
diharapkan untuk aktif menyebarluaskan dan mengisi berbagai platform digital,
termasuk Youtube, agar jumlah konten positif semakin banyak. []
Ustadz Ahmad Mundzir,
pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar