4 Bahaya Makanan yang Tak
Halal
Tidak ada yang sia-sia dalam perkara yang telah ditetapkan Allah. Termasuk dalam larangan mengonsumsi makanan yang tak halal. Tidak halal di sini, baik dalam pengertian haram maupun syubhat. Mengapa yang syubhat juga harus dihindari? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengemukakan alasannya. Kemudian, sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari makanan yang tak halal.
Pertama, energi tubuh yang lahir dari makanan
haram cenderung untuk dipakai maksiat. Sahabat Sahl radhiyallahu ‘anhu
mengatakan:
من
أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى
“Siapa saja yang makan makanan yang haram,
maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum
al-Din, jilid 2, hal. 91).
Pantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyatakan, “Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang
baik pula” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Secara tidak langsung, hadits ini mengatakan,
“Tidaklah yang buruk itu mendatangkan sesuatu kecuali yang buruk.”
Lebih berat lagi, makanan tidak halal itu
menjadi darah daging keturunan kita atau diberikan kepada keturunan kita, maka
kemungkinan keturunan kita menjadi keturunan saleh menjadi kecil.
Tak heran jika para ulama akhlak
mempersyaratkan diterimanya suatu amal ditopang dengan makanan yang halal. Hal
ini dianalogikan kepada hadits tentang sedekah, di mana sedekah tidak diterima
kecuali yang berasal dari usaha yang halal.
إِنَّ
اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً
مِنْ غُلُولٍ
“Sesungguhnya tabaraka wata‘ala tidak
menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sebuah sedekah yang
berasal dari ghulul (khianat/curang).” (HR Abu Dawud).
Kedua, terhalangnya doa. Hal itu berdasarkan
pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat Sa‘d radliyallahu
‘anhu.
يَا
سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي
جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya
doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang
hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka
tidak diterima amalnya selama empat puluh hari” (Sulaiman ibn Ahmad, al-Mu‘jam
al-Ausath, jilid 6, hal. 310).
Selain makanan yang baik, amal perbuatan yang
baik dan ketaatan secara umum juga dapat menjadi pintu cepat terkabulnya doa.
Ketiga, sulitnya menerima ilmu Allah. Ketahuilah ilmu adalah cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Itu pula yang pernah dikeluhkan oleh al-Syafi‘i kepada gurunya Imam Waki‘, sebagaimana yang populer dalam sebuah syairnya:
شكوت
إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور * ونور الله
لا يؤتاه عاصي
Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada
Imam Waki‘ Beliau menyarankan kepadaku untuk meninggalkan maksiat Dan beliau
berkata, ketahuilah ilmu ialah cahaya Sedangkan cahaya Allah tak diberikan
kepada ahli maksiat Walau as-Syafi‘i tidak menyebutkan sulitnya menerima ilmu
akibat makan makanan yang tak halal, tetapi dapat dipahami bahwa makan makanan
tak halal itu termasuk perbuatan maksiat. (Lihat: Muhammad ibn Khalifah,
Thalibul ‘Ilmi bainal Amanah wat-Tahammul, [Kuwait: Gharas]: 2002, Jilid 1,
hal. 18).
Makanan tak halal, kemaksiatan, dan perbuatan
dosa secara umum juga berdampak pada malasnya beribadah, sebagaimana yang
pernah dirasakan oleh Imam Sufyan al-Tsauri, “Aku terhalang menunaikan
qiyamullail selama lima bulan karena satu dosa yang telah aku perbuat.” (Lihat:
Abu Nu‘aim, Hilyatul Auliya, [Beirut: Darl KItab], 1974, Jilid 7, hal. 17I).
Keempat, ancaman keras di akhirat. Bentuk
ancamannya apalagi jika bukan siksa api neraka. Ancaman ini jelas disampaikan
dalam Al-Quran dan hadits. Di antaranya ancaman api nereka bagi orang yang
makan harta anak yatim dan harta riba.
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ ناراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka), (QS al-Nisa’ [4]:
10).
Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya,” (QS Al-Baqarah
[2]: 275).
Ancaman siksa neraka yang bersifat umum
akibat makanan tak halal juga disampaikan Rasulullah shallallah ‘alaihi
wasallam:
كُلُّ
لَحْمٍ وَدَمٍ نَبَتَا مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِمَا
“Setiap daging dan darah yang tumbuh dari
perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya,” (HR Al-Thabrani).
Maka marilah kita berusaha semaksimal mungkin
menghindari perkara yang tak halal, baik yang haram maupun yang syubhat.
Mengapa yang syubhat juga harus dihindari? Karena menghindari yang syubhat
merupakan benteng dalam menjauhi yang haram. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam pernah berpesan, “Siapa saja yang jatuh kepada perkara syubhat, maka
ia akan terjatuh kepada perkara haram.” (HR Muslim).
Kaitan menghindari perkara syubhat, kita
ingat kepada kisah Abu Bakar yang memuntahkan makanan yang telah ditelannya.
Berikut adalah kisah lengkapnya.
Pada suatu hari, Abu Bakar dibawakan makanan
oleh pelayannya. Beliau pun menyantapnya. Lantas ditanya oleh si pelayan,
“Apakah engkau tahu makanan itu? Beliau menjawab, “Memangnya makanan apa itu?
Dijawab oleh si pelayan, “Pada zaman Jahiliah aku biasa meramal untuk
seseorang. Aku sendiri tak mumpuni soal ramalan, sehingga aku sering
mengelabuinya. Saat itu pun orang itu datang menemuiku dan memberiku makanan
itu. Dan makanan itu pula yang engkau makan.” Mendengar demikian, Abu Bakar
langsung memasukkan jarinya (ke mulut), dan memuntahkan semua yang sudah masuk
ke dalam perutnya (HR Al-Bukhari).
Dari empat poin di atas, dapat dipahami bahwa
betapa bahayanya makanan yang tak halal bagi kita, baik terhadap diterimanya
amal, dikabulkannya doa, dibukanya cahaya Allah, maupun terhadap keselamatan
kita di akhirat. Demikian semoga bermanfaat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar