Selasa, 05 Mei 2020

(Ngaji of the Day) Cara Adzan bagi Masjid yang Ditutup untuk Jamaah karena Covid-19


Cara Adzan bagi Masjid yang Ditutup untuk Jamaah karena Covid-19

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merilis data per tanggal 14 Maret 2020, pukul 20.33 terdapat 125.048 kasus terjangkit coronavirus disease 2019 (Covid-19) dari 118 negara di seluruh dunia (global). Di Indonesia sudah ada 980 orang yang diperiksa terkait Covid-19 atau virus Corona. Sebanyak 69 orang di antaranya dinyatakan positif terjangkit Covid-19 (6,99%) dan yang 917 orang negatif (93,1%). Dari yang positif tersebut, yang dinyatakan sembuh sebanyak 5 orang (7,25%), yang meninggal 4 orang (5,80%). Informasi terbaru, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif terkena Covid-19.

Akun Twetter resmi Al Jazeera @ajmubasher mengunggah sebuah video viral yang diakui bahwa video tersebut terjadi di Kuwait. Dengan latar masjid yang sedang mengumandangkan adzan, terdengar juru adzan (muadzin) mengumandangkan panggilan shalat sambil sesekali terdengar isak tangis. Sangat jelas, usai muadzin membaca syahadat rasul, ia tidak membaca hayya ‘alas shalâh (mari kita shalat) sebagaimana lazimnya, tapi diganti dengan shallû fî rihâlikum (shalatlah kalian di kendaraan/perjalanan [tidak di masjid]). Sebuah situs berbahasa Inggris Gulfnews.com menyatakan bahwa di Kuwait terdapat masjid yang meliburkan ibadah shalat Jumat.

Adzan sangat berkaitan dengan jamaah shalat. Hukum jamaah menurut madzhab Syafi’i adalah sunnah muakkadah. Meskipun demikian, syariat Islam tidak memberatkan umatnya. Bahkan, syariat membolehkan shalat jama’ ketika terjadi hujan deras yang mengakibatkan orang terhalang ke masjid. Anda terhalang pergi ke masjid? Silakan di-jama’ ta’khir dengan asumsi barangkali nanti hujan akan reda, atau shalat saja di rumah walaupun shalat sendirian, atau lebih bagus bila shalat berjamaah dengan keluarga.

Karena memang tidak selalu menuntut umat Islam untuk shalat berjamaah ketika ada halangan, maka terdapat hadits yang seolah mengganti dari hayya ‘alas shalâh menjadi shallû fî rihâlikum sebagaimana yang terjadi di Kuwait.

Banyak hadits yang menjelaskan tentang perubahan atau penambahan redaksi adzan sebagaimana yang dilakukan oleh muadzin Kuwait. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’:

أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ، ثُمَّ قَالَ: صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ: «أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ» فِي اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ، أَوِ المَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

Artinya: “Suatu ketika Ibnu Umar mengumandangkan adzan di sebuah malam yang dingin di daerah Dlanjan. Kemudian Ibnu Umar menyeru, ‘Shalatlah kalian di kendaraan/perjalanan kalian!’ Lalu Ibnu Umar memberikan informasi kepada kami, sesungguhnya Rasulullah pernah menyuruh seorang muadzin untuk mengumandangkan adzan. Setelah itu muadzin mengumandangkan, ‘Hendaklah kalian shalat di kendaraan!’ dalam sebuah malam yang sangat dingin atau hujan di tengah perjalanan” (HR al-Bukhari: 632).

Sebelum Ibnu Umar melakukan hal tersebut, pada masa Rasulullah , pernah terjadi ketika Nabi dalam perjalanan malam dengan di bawah guyuran hujan, lalu dikumandangkan yang di dalamnya ada kalimat shallû fî rihâlikum setelah hayya ‘alal falâhi sebagaimana hadits Amr bin Aus:

أَخْبَرَنَا رَجُلٌ مِنْ ثَقِيفٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُنَادِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي لَيْلَةِ الْمَطَرِ فِي السَّفَرِ يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

Artinya: “Seorang lelaki dari Tsaqif memberikan kabar bahwa ia mendengar orang yang adzan memanggil Rasulullah maksudnya di malam dengan selimut hujan dalam sebuah perjalanan. Muadzin tersebut membaca ‘hayya ‘alas shalâh, hayya ‘alal falâh, shallû fî rihâlikum’.” (Abu Umar Yusuf Al-Qurthubi, At-Tamhid lima fil Muwatha’ minal Ma’ani wal Asanid, [Maroko: Wizarah Umumul Auqaf was Syu’un al-Islamiyah, 1387 H], juz 13, hlm. 272).

Dalam sebuah riwayat Abdullah bin al-Harits, suatu ketika Ibnu Abbas sedang memberikan ceramah di tengah hari dengan angin lebat. Ketika muadzin sampai pada kalmat hayya ‘alas shalâh, Ibnu Abbas memerintahkan untuk diganti dengan ‘shallu fi buyûtikum’ (shalatlah kalian di dalam rumah). Karena terasa aneh, masyarakat seolah mengingkari kejadian tersebut. Ibnu Abbas pun menangkap sikap masyarakat tersebut, kemudian mengatakan:

قَدْ فَعَلَ هَذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي

Artinya: “Kegiatan seperti inin sudah pernah dilakukan pada masa orang yang terbaik dari saya” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Fathul Bari, juz 5, hlm. 304)

Banyak riwayat itu menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah shallû fî rihâlikum (atau sejenis) dikumandangkan di tengah adzan atau setelah hayya ‘alas shalâh.

وكذا فهمه الشافعي؛ فإنه قال في كتابه: إذا كانت ليلة مطيرة، او ذات ريح وظلمة يستحب ان يقول المؤذن إذا فرغ من اذانه: (الا صلوا في رحالكم) فإن قاله في اثناء الاذان بعد الحيعلة فلا بأس.

Artinya: “Demikian yang dipahami oleh Asy-Syafii, dia yang menyatakan dalam kitabnya ‘Jika malam diselimuti adzan, atau angin lebat lagi petang, ketika selesai adzan, muadzin disunnahkan mengumandangka alâ shallû fî rihâlikum. Apabila ada yang membaca kalimat tersebut di tengah adzan setelah hayyya alas shalâh, maka tidak ada masalah” (Ibid, juz 5, halaman 304)

وأماابدال الحيعلتين بقوله: (ألا صلوا في الرحال) ، فانه اغرب واغرب.

Adapun mengganti secara total hayya ‘alas shalâh dan hayya ‘alal falâh dengan shallû fî rihâlikum, hal ini adalah pendapat yang sangat asing. (Ibid)

Kesimpulannya, apabila dalam keadaan darurat, seperti wabah Corona, yang menghalangi masyarakat datang ke masjid, kumandang adzan disunnahkan menggunakan kalimat tambahan. Dari ragam kalimat yang dipaparkan di atas, shallû fî buyûtikum (shalatlah kalian di rumah masing-masing) merupakan kalimat paling pas diterapkan di tengah anjuran mengisolasi diri sementara di rumah seperti sekarang. Lafal ini ditambahkan setelah adzan selesai. Jika dilafalkan di dalam adzan, tapi setelah hayya ‘alas shalâh dan hayya ‘alal falâh, hukumnya tidak masalah. Namun, jika sampai mengganti total, ini mengikuti pendapat yang sangat asing. Wallahu a’alam. []

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Kota Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar