Cara Adzan bagi Masjid yang
Ditutup untuk Jamaah karena Covid-19
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merilis data per tanggal 14 Maret 2020, pukul 20.33 terdapat 125.048 kasus terjangkit coronavirus disease 2019 (Covid-19) dari 118 negara di seluruh dunia (global). Di Indonesia sudah ada 980 orang yang diperiksa terkait Covid-19 atau virus Corona. Sebanyak 69 orang di antaranya dinyatakan positif terjangkit Covid-19 (6,99%) dan yang 917 orang negatif (93,1%). Dari yang positif tersebut, yang dinyatakan sembuh sebanyak 5 orang (7,25%), yang meninggal 4 orang (5,80%). Informasi terbaru, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi positif terkena Covid-19.
Akun Twetter resmi Al Jazeera @ajmubasher
mengunggah sebuah video viral yang diakui bahwa video tersebut terjadi di
Kuwait. Dengan latar masjid yang sedang mengumandangkan adzan, terdengar juru
adzan (muadzin) mengumandangkan panggilan shalat sambil sesekali terdengar isak
tangis. Sangat jelas, usai muadzin membaca syahadat rasul, ia tidak membaca
hayya ‘alas shalâh (mari kita shalat) sebagaimana lazimnya, tapi diganti dengan
shallû fî rihâlikum (shalatlah kalian di kendaraan/perjalanan [tidak di
masjid]). Sebuah situs berbahasa Inggris Gulfnews.com menyatakan bahwa di
Kuwait terdapat masjid yang meliburkan ibadah shalat Jumat.
Adzan sangat berkaitan dengan jamaah shalat.
Hukum jamaah menurut madzhab Syafi’i adalah sunnah muakkadah. Meskipun
demikian, syariat Islam tidak memberatkan umatnya. Bahkan, syariat membolehkan
shalat jama’ ketika terjadi hujan deras yang mengakibatkan orang terhalang ke
masjid. Anda terhalang pergi ke masjid? Silakan di-jama’ ta’khir dengan asumsi
barangkali nanti hujan akan reda, atau shalat saja di rumah walaupun shalat
sendirian, atau lebih bagus bila shalat berjamaah dengan keluarga.
Karena memang tidak selalu menuntut umat
Islam untuk shalat berjamaah ketika ada halangan, maka terdapat hadits yang
seolah mengganti dari hayya ‘alas shalâh menjadi shallû fî rihâlikum
sebagaimana yang terjadi di Kuwait.
Banyak hadits yang menjelaskan tentang
perubahan atau penambahan redaksi adzan sebagaimana yang dilakukan oleh muadzin
Kuwait. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’:
أَذَّنَ
ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ، ثُمَّ قَالَ: صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ،
ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ: «أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ» فِي اللَّيْلَةِ
البَارِدَةِ، أَوِ المَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ
Artinya: “Suatu ketika Ibnu Umar
mengumandangkan adzan di sebuah malam yang dingin di daerah Dlanjan. Kemudian
Ibnu Umar menyeru, ‘Shalatlah kalian di kendaraan/perjalanan kalian!’ Lalu Ibnu
Umar memberikan informasi kepada kami, sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah menyuruh
seorang muadzin untuk mengumandangkan adzan. Setelah itu muadzin
mengumandangkan, ‘Hendaklah kalian shalat di kendaraan!’ dalam sebuah malam
yang sangat dingin atau hujan di tengah perjalanan” (HR al-Bukhari: 632).
Sebelum Ibnu Umar melakukan hal tersebut,
pada masa Rasulullah ﷺ,
pernah terjadi ketika Nabi dalam perjalanan malam dengan di bawah guyuran
hujan, lalu dikumandangkan yang di dalamnya ada kalimat shallû fî rihâlikum
setelah hayya ‘alal falâhi sebagaimana hadits Amr bin Aus:
أَخْبَرَنَا
رَجُلٌ مِنْ ثَقِيفٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُنَادِيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي لَيْلَةِ الْمَطَرِ فِي السَّفَرِ يَقُولُ حَيَّ
عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Artinya: “Seorang lelaki dari Tsaqif
memberikan kabar bahwa ia mendengar orang yang adzan memanggil Rasulullah ﷺ maksudnya di malam
dengan selimut hujan dalam sebuah perjalanan. Muadzin tersebut membaca ‘hayya
‘alas shalâh, hayya ‘alal falâh, shallû fî rihâlikum’.” (Abu Umar Yusuf
Al-Qurthubi, At-Tamhid lima fil Muwatha’ minal Ma’ani wal Asanid, [Maroko:
Wizarah Umumul Auqaf was Syu’un al-Islamiyah, 1387 H], juz 13, hlm. 272).
Dalam sebuah riwayat Abdullah bin al-Harits,
suatu ketika Ibnu Abbas sedang memberikan ceramah di tengah hari dengan angin
lebat. Ketika muadzin sampai pada kalmat hayya ‘alas shalâh, Ibnu Abbas
memerintahkan untuk diganti dengan ‘shallu fi buyûtikum’ (shalatlah kalian di
dalam rumah). Karena terasa aneh, masyarakat seolah mengingkari kejadian
tersebut. Ibnu Abbas pun menangkap sikap masyarakat tersebut, kemudian
mengatakan:
قَدْ
فَعَلَ هَذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي
Artinya: “Kegiatan seperti inin sudah pernah
dilakukan pada masa orang yang terbaik dari saya” (Ibnu Rajab al-Hanbali,
Fathul Bari, juz 5, hlm. 304)
Banyak riwayat itu menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan ulama, apakah shallû fî rihâlikum (atau sejenis)
dikumandangkan di tengah adzan atau setelah hayya ‘alas shalâh.
وكذا
فهمه الشافعي؛ فإنه قال في كتابه: إذا كانت ليلة مطيرة، او ذات ريح وظلمة يستحب ان
يقول المؤذن إذا فرغ من اذانه: (الا صلوا في رحالكم) فإن قاله في اثناء الاذان بعد
الحيعلة فلا بأس.
Artinya: “Demikian yang dipahami oleh Asy-Syafii,
dia yang menyatakan dalam kitabnya ‘Jika malam diselimuti adzan, atau angin
lebat lagi petang, ketika selesai adzan, muadzin disunnahkan mengumandangka alâ
shallû fî rihâlikum. Apabila ada yang membaca kalimat tersebut di tengah adzan
setelah hayyya alas shalâh, maka tidak ada masalah” (Ibid, juz 5, halaman 304)
وأماابدال
الحيعلتين بقوله: (ألا صلوا في الرحال) ، فانه اغرب واغرب.
Adapun mengganti secara total hayya ‘alas
shalâh dan hayya ‘alal falâh dengan shallû fî rihâlikum, hal ini adalah pendapat
yang sangat asing. (Ibid)
Kesimpulannya, apabila dalam keadaan darurat,
seperti wabah Corona, yang menghalangi masyarakat datang ke masjid, kumandang
adzan disunnahkan menggunakan kalimat tambahan. Dari ragam kalimat yang
dipaparkan di atas, shallû fî buyûtikum (shalatlah kalian di rumah
masing-masing) merupakan kalimat paling pas diterapkan di tengah anjuran
mengisolasi diri sementara di rumah seperti sekarang. Lafal ini ditambahkan
setelah adzan selesai. Jika dilafalkan di dalam adzan, tapi setelah hayya ‘alas
shalâh dan hayya ‘alal falâh, hukumnya tidak masalah. Namun, jika sampai
mengganti total, ini mengikuti pendapat yang sangat asing. Wallahu a’alam. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Kota Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar