Puasa di
Kala Musibah
Oleh:
Haedar Nashir
HARI ini kaum muslimin mulai berpuasa
Ramadan. Al shiyam atau berpuasa merupakan suatu kewajiban sebagaimana perintah
Allah, Yaa ayyuhaa
alladziina aamanuu kutiba alaykumu al shshiyaamu kamaa kutiba alaa alladziina
min qablikum laallakum tattaquuna (Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi umat sebelummu
agar engkau menjadi orang-orang yang bertakwa, QS Al Baqarah: 183).
Puasa
adalah perjalanan rohaniah yang tertinggi bagi setiap muslim. Berpuasa bukan sekadar
menahan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis sebagaimana menjadi rukun
syariat semata. Tetapi, lebih dari itu, puasa harus punya makna al imsak dalam
makna yang sesungguhnya, yakni menahan diri dari segala godaan duniawi sehingga
kita menjadi orang-orang yang wasatiah, orang yang secukupnya dalam hidup.
Tujuan
berpuasa disebutkan laallakum tattaquun, agar engkau semakin bertakwa. Takwa
adalah wiqoyah (kewaspadaan) lahir dan batin untuk selalu khasyah (takut)
kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi segala
larangan-Nya, dan kelak dijaga dari siksa neraka. Karena itu, setiap tahun
berpuasa Ramadan, niscaya ada peningkatan kualitas ketakwaan. Apakah yang
berpuasa makin bertakwa?
Situasi Musibah
Kini umat
muslim di seluruh dunia berpuasa Ramadan dalam keadaan musibah pandemi
Covid-19. Secara umum, kewajiban puasa tetap berlaku bagi kaum muslim. Namun,
secara khusus terdapat rukhsah (keringanan) yang lebih kuat bagi muslim
tertentu untuk tidak menjalankan puasa. Yakni, bagi mereka yang sakit atau yang
tidak mampu. Sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam dengan ketentuan boleh
mengganti di hari lain atau membayar fidiah. Termasuk bagi tenaga kesehatan
yang karena kondisi berat dan kepentingan daya tahan tubuh untuk melayani pasien
dibolehkan tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain.
Salat
Tarawih dilakukan di rumah masing-masing. Salat Idul Fitri adalah sunah
muakadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun, apabila pada awal
Syawal 1441 H mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, salat Idul Fitri dan
seluruh rangkaiannya tidak perlu diselenggarakan.
Semua
ditempuh karena darurat. Allah tidak membebani seseorang melainkan sejauh yang
mampu dilakukannya (QS Al Baqarah [2]: 282). Allah menghendaki kemudahan dan
tidak menghendaki kesulitan (QS Al Baqarah [2]: 185). Hadis dari Abu Hurairah,
dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: ’’…dan jika aku perintahkan kamu melakukan
sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu’’ (hadis muttafaq alaih). Juga ’’tidak
boleh berbuat mudarat dan menimbulkan mudarat’’ (HR Ibnu Majah, Daruquthni, dan
selain keduanya).
Islam
selalu memberi jalan keluar dari masalah, termasuk dalam menghadapi darurat.
Karena itu, jangan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri dengan standar
normal. Tidak perlu dikembangkan logika-logika keagamaan yang tidak tepat
seperti membandingkan ketakutan kepada Allah dengan takut pada korona, tidak
makmurnya masjid, serta memvonis iman muslim lain lemah.
Perhatikan
kondisi pandemi ini dengan saksama dan untuk kepentingan bersama. Ikuti fatwa
dan pandangan ulama serta organisasi Islam yang mu’tabarat atau arus utama yang
luas agar umat Islam memiliki keteraturan, kebersamaan, dan berpikir demi
kemaslahatan umum.
Kita
berharap dan bermunajat kepada Allah agar bangsa ini, umat Islam, dan seluruh
warga dunia dapat keluar dan dibebaskan dari wabah Covid-19. Lebih dari itu,
diperlukan ikhtiar bersama sesuai dengan protokol yang dikeluarkan pemerintah
dan usaha-usaha lainnya yang didasarkan pada rasionalitas dan ilmu pengetahuan
yang objektif untuk menghadapi musibah pandemi ini. Hidup muslim dalam kondisi
apa pun mesti mengambil hikmah dan semakin dekat dengan Allah dan ihsan dalam
kehidupan.
Mikraj Rohani
Puasa di
kala musibah niscaya semakin khusyuk dan membuahkan takwa yang kian
berkualitas. Bagi umat Islam, puasa harus betul-betul menjadi mikraj rohani,
yakni naik tingkat ketakwaan ke tingkat terbaik atau tertinggi. Yang pertama
harus selalu taqarrub ilallah, semakin membuat kita dekat kepada-Nya. Orang
berpuasa adalah orang yang tauhidnya kuat. Siapa yang tahu orang yang berpuasa
bisa batal karena sesuatu yang orang tidak mengetahuinya, tetapi orang yang
berpuasa dengan tauhid yang kuat tidak akan melakukannya.
Dengan
taqarrub ilallah orang berpuasa punya jiwa muroqobah, yakni selalu merasa
diawasi Allah. Dampak positif dari orang yang berpuasa, hidupnya akan selalu
benar dan lurus. Dia selalu berbuat baik dan menjauhi hal-hal yang menyeleweng
dan dilarang di saat dia punya kesempatan. Sebab, orang yang berpuasa adalah
orang yang pertalian rohaninya selalu langsung kepada Allah melebihi urat
lehernya sendiri.
Kedua,
orang-orang yang berpuasa adalah orang yang mampu menaklukkan hawa nafsu yang
ada dalam dirinya. Al imsak itu maknanya adalah menahan diri. Menahan diri dari
makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis adalah simbol dari manusia yang
berpuasa. Ia mampu mengerangkeng hawa nafsunya dengan menyalurkannya secara
baik dan tidak membiarkannya liar.
Ketiga,
puasa Ramadan dalam situasi apa pun, termasuk dalam suasana wabah korona, harus
selalu menumbuhkan amal saleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu
berbanding lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak.
Orang
berpuasa harus menjauhi keburukan. Suatu kali ada orang yang sedang memaki-maki
hamba sahayanya, lalu nabi menyuruh orang itu untuk membatalkan puasanya. Dia
berkata kepada nabi, ’’Aku sedang berpuasa, ya Rasul.’’ Lalu, rasul menjawab:
Rubba shoimin laisa min shiyamihi illal ju’wal ats, banyak orang yang berpuasa
tapi tidak ada hasilnya, kecuali lapar dan dahaga. Puasa orang itu, ketika dia
memaki-maki orang lain, tidak membekas di dalam jiwa atau rohaninya.
Keempat,
puasa Ramadan tetap harus menumbuhkan semangat berilmu bagi kaum muslimin.
Tidak ada alasan orang yang berpuasa berhenti untuk mencari ilmu. Wahyu pertama
risalah sebagai penanda pertama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menerima
wahyu surah Iqra. Hampir semua mufasir mengatakan bahwa wahyu pertama turun di
bulan Ramadan sampai umat Islam kemudian memperingatinya dalam Nuzulul Quran.
Maka,
dalam suasana apa pun, lebih-lebih di saat kita menghadapi musibah, jadikan
Ramadan sebagai bulan untuk muhasabah, bulan untuk muroqobah, dan bulan untuk
mujahadah. Muhasabah ialah introspeksi diri kita, refleksi diri kita, siapa
tahu kita dalam perjalanan hidup ini banyak berbuat kesalahan dan sedikit amal
kebajikan. Muroqobah selalu merasa diawasi Allah sehingga hidup lurus dan tidak
menyimpang. Sedangkan mujahadah selalu bersungguh-sungguh di dalam segala aspek
kehidupan.
Puasa
niscaya menjadikan setiap muslim yang menjalankannya semakin bertakwa. Yakni,
menjadi orang terbaik dalam hubungan vertikal dengan Allah, dengan sesama, dan
lingkungannya sehingga menebar rahmatan lil alamin. Insya Allah dengan
penghayatan rohani yang mendalam, puasa Ramadan tahun ini akan sampai pada
tangga takwa bagi yang menunaikannya. Laallakum
tattaquun! []
JAWA POS,
24 April 2020
Haedar
Nashir | Ketua Umum PP
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar