Senin, 04 Mei 2020

Haedar Nashir: Puasa di Kala Musibah


Puasa di Kala Musibah
Oleh: Haedar Nashir

HARI ini kaum muslimin mulai berpuasa Ramadan. Al shiyam atau berpuasa merupakan suatu kewajiban sebagaimana perintah Allah, Yaa ayyuhaa alladziina aamanuu kutiba alaykumu al shshiyaamu kamaa kutiba alaa alladziina min qablikum laallakum tattaquuna (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi umat sebelummu agar engkau menjadi orang-orang yang bertakwa, QS Al Baqarah: 183).

Puasa adalah perjalanan rohaniah yang tertinggi bagi setiap muslim. Berpuasa bukan sekadar menahan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis sebagaimana menjadi rukun syariat semata. Tetapi, lebih dari itu, puasa harus punya makna al imsak dalam makna yang sesungguhnya, yakni menahan diri dari segala godaan duniawi sehingga kita menjadi orang-orang yang wasatiah, orang yang secukupnya dalam hidup.

Tujuan berpuasa disebutkan laallakum tattaquun, agar engkau semakin bertakwa. Takwa adalah wiqoyah (kewaspadaan) lahir dan batin untuk selalu khasyah (takut) kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan kelak dijaga dari siksa neraka. Karena itu, setiap tahun berpuasa Ramadan, niscaya ada peningkatan kualitas ketakwaan. Apakah yang berpuasa makin bertakwa?

Situasi Musibah

Kini umat muslim di seluruh dunia berpuasa Ramadan dalam keadaan musibah pandemi Covid-19. Secara umum, kewajiban puasa tetap berlaku bagi kaum muslim. Namun, secara khusus terdapat rukhsah (keringanan) yang lebih kuat bagi muslim tertentu untuk tidak menjalankan puasa. Yakni, bagi mereka yang sakit atau yang tidak mampu. Sebagaimana yang disyariatkan oleh Islam dengan ketentuan boleh mengganti di hari lain atau membayar fidiah. Termasuk bagi tenaga kesehatan yang karena kondisi berat dan kepentingan daya tahan tubuh untuk melayani pasien dibolehkan tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain.

Salat Tarawih dilakukan di rumah masing-masing. Salat Idul Fitri adalah sunah muakadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun, apabila pada awal Syawal 1441 H mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, salat Idul Fitri dan seluruh rangkaiannya tidak perlu diselenggarakan.

Semua ditempuh karena darurat. Allah tidak membebani seseorang melainkan sejauh yang mampu dilakukannya (QS Al Baqarah [2]: 282). Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan (QS Al Baqarah [2]: 185). Hadis dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: ’’…dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu’’ (hadis muttafaq alaih). Juga ’’tidak boleh berbuat mudarat dan menimbulkan mudarat’’ (HR Ibnu Majah, Daruquthni, dan selain keduanya).

Islam selalu memberi jalan keluar dari masalah, termasuk dalam menghadapi darurat. Karena itu, jangan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri dengan standar normal. Tidak perlu dikembangkan logika-logika keagamaan yang tidak tepat seperti membandingkan ketakutan kepada Allah dengan takut pada korona, tidak makmurnya masjid, serta memvonis iman muslim lain lemah.

Perhatikan kondisi pandemi ini dengan saksama dan untuk kepentingan bersama. Ikuti fatwa dan pandangan ulama serta organisasi Islam yang mu’tabarat atau arus utama yang luas agar umat Islam memiliki keteraturan, kebersamaan, dan berpikir demi kemaslahatan umum.

Kita berharap dan bermunajat kepada Allah agar bangsa ini, umat Islam, dan seluruh warga dunia dapat keluar dan dibebaskan dari wabah Covid-19. Lebih dari itu, diperlukan ikhtiar bersama sesuai dengan protokol yang dikeluarkan pemerintah dan usaha-usaha lainnya yang didasarkan pada rasionalitas dan ilmu pengetahuan yang objektif untuk menghadapi musibah pandemi ini. Hidup muslim dalam kondisi apa pun mesti mengambil hikmah dan semakin dekat dengan Allah dan ihsan dalam kehidupan.

Mikraj Rohani

Puasa di kala musibah niscaya semakin khusyuk dan membuahkan takwa yang kian berkualitas. Bagi umat Islam, puasa harus betul-betul menjadi mikraj rohani, yakni naik tingkat ketakwaan ke tingkat terbaik atau tertinggi. Yang pertama harus selalu taqarrub ilallah, semakin membuat kita dekat kepada-Nya. Orang berpuasa adalah orang yang tauhidnya kuat. Siapa yang tahu orang yang berpuasa bisa batal karena sesuatu yang orang tidak mengetahuinya, tetapi orang yang berpuasa dengan tauhid yang kuat tidak akan melakukannya.

Dengan taqarrub ilallah orang berpuasa punya jiwa muroqobah, yakni selalu merasa diawasi Allah. Dampak positif dari orang yang berpuasa, hidupnya akan selalu benar dan lurus. Dia selalu berbuat baik dan menjauhi hal-hal yang menyeleweng dan dilarang di saat dia punya kesempatan. Sebab, orang yang berpuasa adalah orang yang pertalian rohaninya selalu langsung kepada Allah melebihi urat lehernya sendiri.

Kedua, orang-orang yang berpuasa adalah orang yang mampu menaklukkan hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Al imsak itu maknanya adalah menahan diri. Menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis adalah simbol dari manusia yang berpuasa. Ia mampu mengerangkeng hawa nafsunya dengan menyalurkannya secara baik dan tidak membiarkannya liar.

Ketiga, puasa Ramadan dalam situasi apa pun, termasuk dalam suasana wabah korona, harus selalu menumbuhkan amal saleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berbanding lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak.

Orang berpuasa harus menjauhi keburukan. Suatu kali ada orang yang sedang memaki-maki hamba sahayanya, lalu nabi menyuruh orang itu untuk membatalkan puasanya. Dia berkata kepada nabi, ’’Aku sedang berpuasa, ya Rasul.’’ Lalu, rasul menjawab: Rubba shoimin laisa min shiyamihi illal ju’wal ats, banyak orang yang berpuasa tapi tidak ada hasilnya, kecuali lapar dan dahaga. Puasa orang itu, ketika dia memaki-maki orang lain, tidak membekas di dalam jiwa atau rohaninya.

Keempat, puasa Ramadan tetap harus menumbuhkan semangat berilmu bagi kaum muslimin. Tidak ada alasan orang yang berpuasa berhenti untuk mencari ilmu. Wahyu pertama risalah sebagai penanda pertama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menerima wahyu surah Iqra. Hampir semua mufasir mengatakan bahwa wahyu pertama turun di bulan Ramadan sampai umat Islam kemudian memperingatinya dalam Nuzulul Quran.

Maka, dalam suasana apa pun, lebih-lebih di saat kita menghadapi musibah, jadikan Ramadan sebagai bulan untuk muhasabah, bulan untuk muroqobah, dan bulan untuk mujahadah. Muhasabah ialah introspeksi diri kita, refleksi diri kita, siapa tahu kita dalam perjalanan hidup ini banyak berbuat kesalahan dan sedikit amal kebajikan. Muroqobah selalu merasa diawasi Allah sehingga hidup lurus dan tidak menyimpang. Sedangkan mujahadah selalu bersungguh-sungguh di dalam segala aspek kehidupan.

Puasa niscaya menjadikan setiap muslim yang menjalankannya semakin bertakwa. Yakni, menjadi orang terbaik dalam hubungan vertikal dengan Allah, dengan sesama, dan lingkungannya sehingga menebar rahmatan lil alamin. Insya Allah dengan penghayatan rohani yang mendalam, puasa Ramadan tahun ini akan sampai pada tangga takwa bagi yang menunaikannya. Laallakum tattaquun! []

JAWA POS, 24 April 2020
Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar