Rabu, 01 November 2017

(Ngaji of the Day) Bagaimana Sikap Kita terhadap Para Wali dan Sufi Kontroversial-Nyeleneh?



Bagaimana Sikap Kita terhadap Para Wali dan Sufi Kontroversial-Nyeleneh?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, sepanjang sejarah Islam kita mengenal sejumlah tokoh-tokoh sufi yang pernyataannya tampak kontroversial sehingga memicu polemik di kalangan orang-orang sezamannya dan sepeninggalnya baik kalangan ulama maupun awam. Pertanyaan saya, sebagai orang awam apa sikap saya semestinya terhadap mereka itu? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Abdul Bari – Tegal

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Adalah benar bahwa kita mengenal guru-guru yang pernyataan atau sebagian perkataannya tampak kontroversial yaitu Abu Yazid, Al-Hallaj, sebagian tulisan Imam Al-Ghazali, Ibnul Arabi, Abdul Karim Al-Jili, Rumi, Hamzah Fansuri, Syekh Siti Jenar, Syekh Samman, Syekh Mutamakkin, atau orang-orang saleh lainnya.

Beberapa kalimat ini mungkin menjadi “masalah”, yaitu “subhâni”, “anal haq”, “mâ fil jubbah illallâh”. Berikut ini kami kutipkan syair Hamzah Fansuri.

"Ombaknya zahir lautnya batin//Keduanya wahid tiada berlain
Menjadi tawfan hujan dan angin//Wahid-nya juga harakat dan sakin,"
(Lihat edisi teks Drewes & Brakel, The Poems of Hamzah Fansoeri, 1986: 126).

Atau

"Kuntu kanzan mulanya nyata//Hakikat ombak di sana ada
Adanya itu tiada bernama//Majnun dan Layla ada di sana,"
(Lihat edisi teks Drewes & Brakel, The Poems of Hamzah Fansoeri,  1986: 128).

Atau yang cukup populer yaitu,

"Hamzah Fansuri di dalam Mekkah//Mencari Tuhan di Baitul Ka‘bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah//Akhirnya ditemukan pada di dalam rumah."

Menurut hemat kami, sebagai orang awam kita sebaiknya tidak perlu mengambil posisi dukungan atau berseberangan atas pernyataan “kontroversial” para sufi itu. Lain soal untuk kepentingan ilmiah. Kepentingan ilmiah harus terus berjalan. Untuk kepentingan ilmiah bisa saja kita mengkaji pernyataan dan ekspresi verbal mereka menurut tatacara ilmiah.

Tetapi sebagai orang yang datang kemudian, sebaiknya kita menghormati mereka sebagai guru spiritual atau sebagai manusia dengan penjelajahan luar biasa dalam “menemukan” Allah sang pencipta. Hal ini menunjukkan rasa rindu mereka terhadap Zat hakiki.

Hemat kami, penghormatan terhadap mereka sebaiknya yang lebih ditonjolkan. Hal ini ditunjukkan oleh Imam An-Nawawi ketika ditanya pandangannya soal paham kontroversial Ibnul Arabi yang hidup seabad sebelumnya.

وأما احترام الماضى فالمراد من تقدم من الصحابة والتابعين والأولياء والصالحين والعلماء العاملين واحترامهم ألا يذكروا إلا بإحسان وأن يلتمس لهم أحسن المذاهب ويرحم الله النواوى لما سئل عن ابن العربى الحاتمى فقال الكلام كلام صوفى تلك أمة قد خلت لها ما كسبت ولكم ما كسبتم ولا تسئلون عما كانوا يعملون ومن احترامهم الاستغفار والترضى عنهم قال تعالى وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ

Artinya, “Adapun bentuk penghormatan (kita) terhadap orang terdahulu–mereka yang  dimaksud adalah para sahabat rasul, tabi‘in, para wali, orang-orang saleh, dan ulama–adalah hanya menyebut kebaikan mereka dan mengambil madzhab (jalan atau pandangan) terbaik dari mereka. Imam An-Nawawi–Allah yarhamuh–ketika ditanya sikapnya terhadap pandangan Ibnul Arabi (yang wafat lebih dulu) menjawab dengan bijak, ‘Perkataan (Ibnul Arabi) adalah perkataan kalangan sufi. Ia termasuk umat terdahulu. Mereka akan menerima jerih payah mereka. Begitu juga kalian. Kalian akan menerima jerih payah kalian. Kalian takkan diminta pertanggungjawaban atas jerih payah mereka.’ Salah satu bentuk penghormatan (kita) untuk mereka adalah permohonan ampunan dan ridha Allah untuk mereka. Allah berfirman, ‘Orang-orang beriman yang datang sepeninggal mereka berdoa, ‘Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang beriman yang telah mendahului kami,’’” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah Al-Hasani, Al-Futuhatul Ilahiyyah fi Syarhil Mabahitsil Ashliyyah, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, halaman 263).

Saran kami, kita hendaknya berhati-hati sekali dalam membahas kembali karya atau pernyataan kontroversial mereka agar kita tidak menaruh su’uzhan terhadap orang-orang mulia yang telah mendahului kita.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar