Senin, 13 November 2017

Buya Syafii: Penguatan Kesadaran Kebangsaan (II)



Penguatan Kesadaran Kebangsaan (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Amat jujur dan terus terang pengakuan historis Ali ini. Kesadaran keindonesiaan semisal Ali inilah  yang beberapa tahun kemudian  dikukuhkan di Batavia dalam Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu. Saya berharap sebelum tahun 2030 kesadaran kebangsaan semua suku di Indonesia, akan semakin menguat dan mendalam.

Dan dalam proses politik kebangsaan yang dinamis selanjutnya, ungkapan (saya tidak tahu siapa penciptanya): “Perang Aceh, cakap Minang, kuasa Jawa” dalam  realitas sosial-politik tidak akan berpengaruh lagi untuk menduduki posisi RI 1 atau RI 2 di Indonesia.

Siapa pun warga negara Indonesia harus punya hak sama untuk berada pada posisi itu, dengan syarat memenuhi kriteria sebagai negarawan petarung dengan visi keadilan yang tajam dan jujur untuk meneruskan estafet kerja besar yang sedang dilancarkan oleh Jokowi-JK sekarang ini.

Semua kita harus siap menerima kedatangan seorang atau beberapa negarawan yang boleh jadi berasal dari Pulau Miangas atau dari Pulau Rote, dari Ternate atau dari Pulau Ende untuk memimpin Indonesia yang besar saat ini pada saatnya nanti .

Pertimbangan suku untuk memilih pemimpin dalam perspektif semangat PI dan Sumpah Pemuda tidak relevan lagi. Karakter yang kuat dan komitmen yang jujur kepada prinsip keadilan harus dijadikan faktor utama dalam proses perpolitikan nasional kita untuk memilih pemimpin puncak, dan semestinya juga pemimpin daerah.

Isu putra/putri daerah untuk gubernur, bupati atau wali kota semestinya tidak mengemuka lagi. Dengan cara ini proses integrasi nasional akan semakin mantap dan kuat. Bukankah semangat dan idealisme yang serupa itu yang dulu dihidup-suburkan dalam PI dan Sumpah Pemuda?

Dalam semangat demikian itulah, Soekiman Wirjosendjojo (Jawa), Mohammad Hatta (Minang), Arnold Mononoetoe (Manado), Ali Sastroamidjojo (Jawa), Muhammad Yamin (Minang), Amir Sjarifuddin (Batak), Achmad Soebardjo (Jawa), J Leimena (Ambon), Iwa Koesumasoemantri (Sunda), Sutan Sjahrir (Minang), Abdoelmadjid Djojoadingrat (Jawa), dan sederetan panjang nama tokoh pemuda lainnya lebur menyatu menjadi manusia Indonesia,  melepaskan ego primodialisme kedaerahannya masing-masing. Sungguh dahsyat dan dinamis proses mengindonesia ini.     

Seterusnya perlu kita kutip apa kata Soekarno tentang makna kemerdekaan Indonesia, dan apa pula kata Mohammad Hatta tentang akhir penjajahan sebagai sebuah kepastian. Soekarno dalam naskah pembelaannya di depan pengadilan kolonial di Bandung tahun 1930 berkata: “Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting, bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.” (lihat Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial. Yogyakarta: Aditya Media-Pustep UGM, 2004, hlm. 88).  

Dalam perspektif Bung Karno ini, tanpa kemerdekaan, status rakyat Indonesia bukanlah sebagai manusia penuh, tetapi diperlakukan sebagai setengah manusia yang tunamartabat. Alangkah hina dan nistanya nasib manusia terjajah.

Sebelum itu pada 1928 di muka Mahkamah Belanda di Den Haag, Mohammad Hatta menegaskan :”Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakann (sic) suatu kepastian. Tinggal persoalan waktu saja lagi, cepat atau lambat, bukan ya atau tidak. Dan janganlah Nederland  memukau diri, bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh egak sampai akhir zaman… penduduk Indonesia yang terbilang jutaan disiksa atas nama bangsa Belanda dan demi peradaban Belanda!” (Lihat Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, terjemahan Hazil. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm 147. Cetak miring sesuai dengan aslinya).

Akhirnya, sebuah pertanyaan mendasar yang perlu dismpaikan dalam situasi kekinian kita adalah: Apakah bangsa ini sekarang sudah merdeka 100 persen, terbebas dari sistem penjajahan di bidang ekonomi  khususnya? Jawabannya kita semua sudah maklum: belum! Dan situasi yang timpang dan pincang ini harus diubah dengan kekuatan rakyat kita sendiri sekarang dan seterusnya untuk sebuah rekonstruksi nasional yang adil, makmur,dan bermartabat.

Kepemimpinan Jokowi-JK sudah melangkah ke arah kemerdekaan 100 persen itu dengan segala kelemahan dan kekurangan di sana sini, seperti masalah penegakan hukum yang masih lemah dan upaya pemberantasan korupsi yang sering dipermainkan oleh sementara politisi dan sebagian pengusaha yang tunapatriotisme. []

REPUBLIKA, 07 November 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar