Fenomena Esoterisme Beragama
Oleh: Nasaruddin Umar
FENOMENA beragama di dalam masyarakat selama dasawarsa terakhir
diwarnai suasana esoterisme. Esoterisme beragama bisa diartikan sebagai praktik
keagamaan yang tidak hanya menampilkan aspek-aspek legalitas formalistik,
seperti menekankan rukun, syarat, dan sunnat-sunat ibadah, tetapi juga sudah
mulai memasuki wilayah spiritual-sufistik. Fenomena ini terutama terlihat di
dalam masyarakat perkotaan. Lembaga atau kajian tasawuf semakin tumbuh menjamur
di mana-mana. Bahkan kehidupan tarekat yang tadinya merupakan fenomena
orang-orang yang berusia senja, tetapi kini sudah merambah ke generasi muda.
Musik dan tarian sufi semakin banyak digemari. Lirik lagu-lagu populer pun ikut
dipengaruhi nuansa keagamaan esoterik.
Selama ini wajah keagamaan di dalam masyarakat kita bisa dipolakan
ke dalam dua bentuk, yaitu wajah eksoteris sebagaimana tampak di dalam
komunitas masyarakat yang selalu mendasarkan perhatiannya kepada hal-hal
esoterik atau fikih (fiqh oriented). Pemahaman teks biasanya langsung diarahkan
pada aspek perilaku manusia yang berhubungan dengan apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan manusia. Pendekatan ini banyak dilakukan jumhur ulama,
sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah kitab tafsir populer (mu'tabarah),
seperti Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Maragi, Tafsir
Jalalain, Tafsir Fi Dhilalal-Qur’an, dll.
Wajah lainnya ialah esoteris yang kini sedang fenomenal.
Esoterisme keagamaan lebih menekankan analisis hakekat dan makna batin di balik
teks dan tradisi. Analisis teks dilakukan hanya sekadar untuk memahami konten
sebuah teks, karena itu kelompok ini sering kali melakukan pemaknaan secara
metaforis sejumlah teks. Contoh karya esoteris ialah kitab-kitab tafsir tasawuf
(isyari), seperti Tafsir Mafatih al-Gaib, Tafsir Al-Shafi, Tafsir Ibn ‘Arabi,
dll. Pendekatan esoteris lebih menekankan pemaknaan konotatif terhadap teks.
Pendekatan eksoteris lebih sering dilakukan ulama Sunni, sedangkan
pendekatan esoteris lebih sering dilakukan oleh ulama Syiah. Meskipun sama-sama
berpegang teguh pada sebuah kitab suci yang sama, kedua kelompok ini (eksoteris
dan esoteris) sering kali berbeda pendapat, bahkan berkonflik satu sama lain.
Kita perlu lebih hati-hati menyikapi perbedaan kedua kelompok ini sebab dalam
beberapa segi sulit dipersatukan. Tafsir-tafsir Sunni sangat logis dan sulit untuk
dibantah, namun jika kita mendalami penjelasan sejumlah pendapat kaum Syiah
dengan metode esoterisnya, rasanya juga bisa difahami. Seandainya kedua
kelompok ini berikut metodologinya dapat digabungkan atau dikompromikan, sudah
pasti memberikan perspektif yang lebih positif, karena itu artinya memberikan
kepuasan logika dan penghayatan keagamaan lebih mendalam.
Fenomena esoterisme kehidupan beragama mulai tumbuh dari kalangan
birokrat, pebisnis, dan para jamaah tarekat. Fenomena ini sesungguhnya bukan hanya
merupakan fenomena di Indonesia, tetapi menjadi fenomena universal, termasuk
orang-orang mualaf yang baru masuk Islam. Buku-buku yang bernuansa tasawuf kini
sedang banyak digemari pembaca. Buku-buku yang mendominasi buku-buku terlaris,
umumnya buku-buku yang lebih mencerahkan, seperti buku-buku tasawuf.
Pengajian-pengajian eksekutif di kantor-kantor elite didominasi tema-tema
pencerahan (enlightening). Adalah suatu kemajuan jika umat Islam sudah mulai
membaca dan mengikuti pendidikan formal. Itu artinya umat tidak lagi terpesona
ke dalam dunia kesemarakan (scope), tetapi sudah memasuki hakikat dan
pendalaman makna (force).
Agaknya kurang bijaksana jika kita menilai fenomena esoteris
melalui kacamata eksoteris, demikian pula sebaliknya, kurang bijaksana menilai
karya eksoteris dengan kacamata esoteris. Bisa dipastikan penilaian tersebut
penuh dengan bias yang tidak produktif. Dengan demikian, kita juga sebaiknya
hati-hati menghakimi sebuah pemikiran hanya lantaran perbedaan cara pandang dan
metodologis. Dalam konteks masyarakat yang plural seperti Indonesia, yang ideal
ialah kombinasi antara kedua pendekatan tersebut. Pola eksoteris selama ini
lebih banyak diintrodusir kelompok Salafi dan atau Wahabi, sedangkan pola
esoteris lebih banyak diintrodusir oleh kelompok syiah dan kelompok
sufi-tarekat. Indonesia sesungguhnya sejak awal sudah menyintesakan antara
keduanya. Bahkan yang ikut masuk dalam sintesa itu ialah nilai-nilai kosmologi
lokal, seperti filosofi Jawa, Melayu, Bugis, dll. []
MEDIA INDONESIA, 10 November 2017
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar