Kamis, 23 November 2017

(Ngaji of the Day) Ini Kerugian Telat Menyadari Nikmat Allah Menurut Ibnu Athaillah



Ini Kerugian Telat Menyadari Nikmat Allah Menurut Ibnu Athaillah

Sadar atas karunia Allah adalah salah satu kewajiban “waktu” yang harus dipenuhi. Tetapi orang yang menyadari kehadiran nikmat Allah ini tidak memiliki pilihan selain dua kondisi berikut. Sebagian orang menyadarinya ketika nikmat itu masih di genggaman tangan. Tetapi sebagian orang menyadarinya saat nikmat itu sudah “ke laut” karena waktu juga bergulir.

Syekh Ibnu Athaillah RA menyebut dua kondisi ini dalam Al-Hikam sebagai berikut.

من لم يعرف قدر النعم بوجدانها عرفها بوجود فقدانها

Artinya, “Orang yang tidak menyadari kadar karunia Allah saat sedang menikmatinya, maka ia akan menyadarinya ketika karunia itu sudah raib.”

Syekh Zarruq dalam menjelaskan hikmah ini menyebutkan contoh-contoh konkret.

قلت: ولذلك قيل نعم الله مجهولة وتعرف إذا فقدت. وقيل الولد العاق المصر على تأنيبه إنما يعرف قدر الأب يوم وفاة أبيه. وقيل أيضا إنما يعرف قدر الماء من ابتلى بعطش البادية، لا من كان على شاطئ الأنهار والأودية الجارية. انتهى

Artinya, “Karena itu ada ulama mengatakan bahwa nikmat-nikmat Allah itu tidak disadari. Semua itu bisa disadari ketika sudah raib. Ada ulama mengatakan, anak durhaka yang ‘senang atau kebiasaan’ ditegur dan diomeli orang tua akan menyadari kadar nikmat kehadiran orang tua di hari kematian bapaknya. Ada lagi ulama mengatakan, orang yang menyadari kadar nikmat air adalah mereka yang kehausan di pedalaman Arab tandus, bukan orang yang ada di tepi sungai atau di lembah dengan aliran-aliran air,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 160).

Nikmat kesehatan, kemudahan fasilitas, kesempatan, usia muda, atau kelapangan rezeki merupakan nikmat Allah yang patut disadari sejak awal. Dengan kesadaran dini atas karunia itu, kita dapat bergerak leluasa dengan aktivitas-aktivitas positif.

Tetapi jangan pula dipahami secara hitam dan putih. Jangan diartikan bahwa orang yang telat menyadari nikmat Allah itu tidak bersyukur kepada-Nya. Orang yang telat menyadari nikmat Allah itu tetap dinilai sebagai orang yang bersyukur, tetapi tentu lain kualitasnya dengan mereka yang menyadarinya lebih dini sebagai disinggung Syekh Burhanuddin As-Syazili Al-Hanafi berikut ini.

وهي تارة تعرف بعينها للعاقل لها، وتارة تعرف بسلبها للغافل عنها. فمعرفة العاقل لها بها شكر لمنعمها يقتضى دوامها والزيادة منها، ومعرفة الغافل عنها بسلبها شكر لمنعمها قد يقتضى عودها

Artinya, “Nikmat Allah itu kadang disadari oleh mereka yang menghayatinya ketika nikmat itu sendiri masih di genggaman. Tetapi nikmat itu kadang disadari oleh mereka yang mengabaikannya ketika nikmat itu sendiri telah raib. Kesadaran mereka yang menghayatinya adalah bentuk syukur yang menuntut kelanggengan dan penambahan nikmat. Sementara kesadaran mereka yang mengabaikannya karena telah raib juga merupakan bentuk syukur yang menuntut kembali kehadiran nikmat tersebut,” (Lihat Syekh Burhanuddin As-Syazili Al-Hanafi, Ihkamul Hikam fi Syarhil Hikam Al-Atha’iyyah, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008 M/1429 H, halaman 123).

Uraian terakhir ini jelas menyebutkan bahwa kedua macam orang dalam kaitannya dengan nikmat Allah ini sebenarnya sama-sama orang yang bersyukur. Hanya saja mereka yang telat menyadari nikmat Allah sejak dini mendapat sebuah kerugian yang pasti selain penyesalan, yaitu tidak dapat bergerak leluasa dibanding mereka yang sedari awal menyadarinya. Mau apa lagi? Kesehatan menurun, uang sudah tidak pegang, usia tidak lagi muda, kerepotan tambah, daya pikir berkurang, fasilitas minim, orang tua sudah tidak ada, saudara punya urusannya masing-masing. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar