Kamis, 16 November 2017

Mahfud MD: Jangan Kacaukan Asas Hukum



Jangan Kacaukan Asas Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD

”Pemerintah tidak boleh menjatuhkan sanksi sebelum ada putusan pengadilan bahwa seseorang atau organisasi benar-benar bersalah. Kalau itu dilakukan berarti pemerintah melakukan tindakan melanggar hukum, menyalahgunakan kekuasaan, dan bertindak sewenang-wenang”.

Pernyataan itu menjadi bagian dari polemik panas di tengah-tengah masyarakat terkait dengan Undang-Undang (UU) Ormas yang kemudian agak mengacaukan pemahaman masyarakat tentang asas-asas hukum. Polemik terjadi sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang kemudian disusul pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan perppu yang sekarang sudah disetujui menjadi UU Ormas.

Mengacaukan asas hukum

Banyak yang mengatakan berdasar asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) pemerintah tidak bisa menjatuhkan sanksi atau menghukum sebelum subyek hukum yang bersangkutan diajukan ke (dan diputus bersalah oleh) pengadilan. Akan tetapi, pihak pemerintah dan beberapa ahli hukum lain mengatakan, berdasarkan asas contrarius actus boleh saja pemerintah menjatuhkan sanksi administratif tanpa harus menunggu putusan pengadilan lebih dulu.

Atas pernyataan tentang asas contrarius actus, ada yang membantahnya lagi disertai contoh tentang akta nikah. Dikatakan, sungguh berbahaya kalau mengikuti asas contrarius actus  karena ia bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Kemudian ada yang mencontohkan bahayanya asas tersebut dengan menyebut kemungkinan terjadinya pemerintah secara sepihak mencabut akta nikah yang telah dimiliki oleh sepasang suami-istri. ”Bahaya kalau itu dilakukan oleh pemerintah. Jadi harus lewat vonis pengadilan dulu,” demikian argumennya.

Dalam catatan saya silang pendapat seperti itu terjadi karena banyak orang yang mengacaukan pemahaman atas asas-asas hukum. Dalam konteks UU Ormas, misalnya, telah dikacaukan pemahaman atas asas legalitas, asas praduga tak bersalah, asas contrarius actus, dan asas konsesual. Benar bahwa berdasarkan asas legalitas setiap tindakan pemerintah ataupun warga masyarakat harus berdasarkan UU yang ada lebih dahulu. Berdasarkan asas legalitas seseorang atau badan hukum (organisasi) tidak boleh dijatuhi sanksi atau dihukum tanpa ada UU yang mengaturnya lebih dahulu.

Dari pengertian itu sebenarnya asas legalitas tidak berbicara, apakah penjatuhan sanksi bisa dilakukan sebelum atau sesudah ada vonis pengadilan. Asas legalitas hanya menegaskan bahwa setiap tindakan, baik dilakukan pemerintah maupun oleh warga masyarakat, harus berdasarkan aturan hukum yang ada lebih dulu.

Adapun masalah soal waktu dan cara penjatuhan sanksinya tergantung pada bidang hukumnya sebab setiap bidang hukum asasnya bisa berbeda-beda. Asas-asas hukum pidana, hukum administrasi negara, perdata, dan lain-lain itu tidaklah selalu sama.

Kalau di dalam hukum pidana berlaku asas praduga tak bersalah yang menentukan bahwa seseorang tak bisa dijatuhi sanksi atau dihukum sebelum diputus oleh pengadilan bahwa yang bersangkutan bersalah. Asas praduga tak bersalah tak boleh diartikan bahwa kita tidak boleh menduga atau membahas dan mendiskusikan di media massa bahkan menyimpulkan  bahwa seseorang telah melakukan kejahatan. Itu boleh saja dilakukan. Nyatanya, aparat penegak hukum juga memproses pidana melalui dugaan (terduga) kemudian sangkaan (tersangka) dan seterusnya.

Asas praduga tak bersalah mempunyai arti tertentu, yakni seseorang tak boleh dirampas hak-haknya sebagai sanksi pidana sebelum ada putusan pengadilan. Misalnya, yang bersangkutan tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya tak boleh dirampas (tapi boleh disita), pengurungannya tidak disebut dipenjarakan (tetapi ditahan), hak gajinya tidak boleh dicabut (tapi ditangguhkan), dan sebagainya. Kalau mendiskusikan dan menduga, menyangka, dan menyimpulkan secara sosial bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana itu boleh saja, bukan melanggar asas praduga tak bersalah.

Beda bidang, beda asas

Di dalam hukum administrasi negara asas yang berlaku berbeda lagi, yakni, asas contrarius actus yang berarti sebuah keputusan administrasi, seperti izin usaha, pengangkatan pegawai, dan sebagainya hanya boleh dicabut oleh pejabat atau instansi yang mengeluarkannya. Kalau yang mengeluarkan keputusan itu Menteri Hukum dan HAM, yang boleh mencabutnya juga Menteri Hukum dan HAM. Di dalam hukum administrasi negara tidak ada keharusan bahwa pencabutan sebuah keputusan sebagai sanksi itu harus menunggu putusan pengadilan lebih dahulu.

Bahkan, dapat dikatakan, dalam hukum administrasi negara kita, hampir semua pencabutan keputusan sebagai sanksi dijatuhkan lebih dahulu sebelum ada putusan pengadilan. Jika yang dijatuhi sanksi merasa dirugikan haknya barulah yang bersangkutan bisa menggugat pejabat atau pemerintah ke pengadilan. Makanya kita mempunyai Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga disebut sebagai Peradilan Administrasi Negara, yakni lembaga peradilan yang berwenang mengadili keputusan, termasuk sanksi, yang telah ditetapkan lebih dahulu oleh badan/pejabat tata usaha negara.

Dalam hal ini bisa disebut banyak contoh, misalnya, pencabutan izin usaha hiburan, pencabutan izin pengelolaan hutan, pencabutan izin pertambangan. Itu bisa dilakukan tanpa harus ada putusan pengadilan lebih dahulu. Pencabutan keputusan tentang status badan hukum ormas berdasar Perppu No 2/2017 yang sekarang sudah disahkan menjadi UU termasuk dalam pengertian ini. Memang dalam hal tertentu yang ditentukan khusus oleh Konstitusi dan UU asas contrarius actus ini tak berlaku, misalnya, pembubaran parpol yang hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

Asas yang berlaku di dalam hukum perdata berbeda lagi. Bidang hukum perdata tidak mengenal asas praduga tak bersalah atau contrarius actus. Di dalam hukum perdata yang berlaku adalah asas konsensual atau kesepakatan dan kesukarelaan antarpihak. Di dalam asas ini berlaku bahwa keputusan tentang ikatan keperdataan yang dibuat dan diperoleh secara sah berlaku sebagai UU dan mengikat selama pihak-pihak yang bersangkutan tidak mengakhiri atau membatalkannya secara sepakat. Kalau salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain, masalahnya harus diputus oleh pengadilan yang bisa juga atas kesepakatan, diselesaikan melalui arbitrase.

Dalam hukum perdata aparat penegak hukum atau pemerintah tak boleh mengambil tindakan selama pihak-pihak yang bersangkutan tak memerkarakannya. Dalam konteks inilah kita harus memahami, pernikahan yang merupakan perikatan atau perjanjian dalam hukum perdata yang dituangkan dalam ”akta nikah” yang dikeluarkan pemerintah hanya bisa dicabut atau dibatalkan atas permintaan salah satu pihak melalui putusan pengadilan lebih dulu, tak boleh dicabut secara sepihak oleh pemerintah. Alhasil, beda bidang hukum, ya, beda asas. Jangan dikacaukan. []

KOMPAS, 11 November 2017
Moh Mahfud MD ;  Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara; Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar