Lafran Pane Pahlawan Kita
Oleh: Moh. Mahfud MD
KAMIS siang (9/11), sehari sebelum peringatan Hari Pahlawan 2017,
Presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Prof Drs H
Lafran Pane. Saya sebagai pimpinan Presidium Majelis Nasional Korps Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ikut hadir dalam upacara kenegaraan untuk
penyerahan gelar itu. Hadir juga Akbar Tandjung, tokoh KAHMI yang kesetiannya
kepada HMI tiada tandingannya. Hingga sekarang, Akbar masih mau turun ke daerah
terpencil jika diundang oleh HMI. Meskipun sama-sama memimpin KAHMI, saya tidak
bisa serajin Akbar untuk selalu hadir jika diundang oleh HMI, bahkan oleh KAHMI
daerah-daerah sekalipun.
Saya ceritakan di sini bahwa saya dan Akbar hadir pada upacara
kenegaraan itu karena upaya penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Prof
Lafran digalang oleh KAHMI. Dan harus diakui, Akbar-lah yang paling bersemangat
memperjuangkan itu. Sejak dua tahun lalu, KAHMI berkeliling ke seluruh
Indonesia untuk menyelenggarakan seminar tentang kepahlawanan Prof Lafran
sebagai syarat resmi pengajuan gelar pahlawan nasional. Ada 27 kampus yang
menjadi tuan rumah seminar atas kerja sama dengan pengurus majelis daerah di
berbagai provinsi yang menyelenggarakan seminar tersebut dan Akbar hadir di
hampir semua seminar itu. Saya hanya sempat hadir di empat kota.
Saya kenal dekat dan lebih dari 17 tahun bekerja di kantor yang
sama dengan Prof Lafran, yakni Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja, tempat
beliau mendirikan HMI pada 5 Februari 1947 ketika universitas tersebut bernama
Sekolah Tinggi Islam. Sejak 1984, saya menjadi dosen di UII dan bergabung
dengan Prof Lafran yang sudah lama menjadi dosen di sana. Saya dan Prof Lafran
berpasangan mengajar mata kuliah Pancasila di Fakultas Teknik UII. Dalam
hubungan kerja yang seperti itulah, saya mengenal Prof Lafran –bisa dikatakan–
luar dan dalamnya.
Dalam pengenalan itulah, saya berpendapat, seandainya masih hidup,
tentu Prof Lafran merasa risi, bahkan mungkin akan menolak, jika diberi tahu
akan diberi gelar pahlawan nasional. Mungkin dia akan mengatakan, ’’Untuk apa
pula aku diberi gelar pahlawan?’’ Prof Lafran itu orangnya sangat bersahaja,
tidak ingin menonjolkan diri, tidak ingin dipuji-dipuji, apalagi dipahlawankan.
Ketika pada pengujung 1980-an dosen-dosen muda seperti saya yang jabatan
akademiknya baru lektor muda (dengan pangkat III/c) berangkat mengajar naik
Daihatsu Hijet atau Suzuki Carry, Lafran yang jabatan akademiknya sudah
profesor/guru besar (dengan pangkat IV/e) menuju kampus setiap hari dengan
mengendarai sepeda onthel (kereta angin). Begitu sederhananya Prof Lafran itu.
Meskipun kami tahu Prof Lafran enggan diberi gelar pahlawan
nasional, KAHMI memperjuangkan untuk itu. Sebab, menurut kami, beliau layak
mendapat gelar tersebut. HMI yang didirikan Prof Lafran nyata-nyata telah ikut
berjuang mempertahankan dan membangun NKRI. Dari rahim HMI telah lahir sejumlah
elite nasional di berbagai lembaga negara dan di tengah-tengah masyarakat.
Alumni HMI bersebar di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan
lembaga-lembaga lain yang saling bersinergi dengan elemen-elemen lain menjaga dan
memajukan NKRI.
Dari rahim HMI pula lahir ribuan profesor dan doktor yang terus
ber-khidzmah bagi NKRI. Banyak tokoh intelektual dari HMI yang berjuang keras
dan berhasil membangun persenyawaan yang serasi mengenai hubungan antara Islam
dan negara sehingga Pancasila sebagai dasar ideologi bagi negara Indonesia bisa
diterima dengan tulus oleh kaum muslimin. Tentu saja HMI tidak sendirin dalam
memainkan peran ’’mensenyawakan’’ Islam dan Pancasila ini, tetapi bersinergi
dengan ormas Islam lain yang lebih senior.
Di NU peran tersebut dilakukan secara dahsyat, antara lain, oleh
Gus Dur dan KH Achmad Siddiq, di Muhammadiyah oleh Amien Rais dan Syafi’i
Ma’arif. Kita bisa menyebut beberapa tokoh yang lahir dari HMI, di antaranya,
Nurcholish Madjid, Mintaredja, Mar’ie Muhammad, Jimly Asshiddiqie, Yusril, M.
Nuh, M. Nasih, M. Nasir, dan Amien Rais. Orang banyak mengenal lokomotif
reformasi 1998 Amien itu sebagai tokoh pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) dan itu betul belaka.
Tetapi, sebelum mendirikan IMM, Amien adalah aktivis HMI dan
menjadi ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) yang pertama di lingkungan
HMI. Jejak Amien di HMI sama dengan tokoh NU Mahbub Djunaidi yang dikenal
sebagai pendiri PMII. Tokoh NU tersebut pernah aktif di HMI dan mendirikan
PMII, menurut penuturan Mar’ie kepada saya, antara lain, karena ingin membuat
perahu pelanjut jika HMI benar-benar dibubarkan karena sikap pimpinan PKI yang
sangat garang waktu itu.
Terbukti dalam sejarah HMI, PMII, dan IMM, termasuk para alumnusnya,
terus bersinergi dalam merawat NKRI hingga sekarang. Prof Lafran adalah salah
seorang tokoh yang menjadi hulu dalam poros perjuangan mahasiswa Islam yang
kemudian merawat NKRI ini. Jadi, meskipun mungkin Prof Lafran sendiri tidak
pernah menginginkan, gelar pahlawan nasional itu penting bagi generasi muda
Islam pada masa-masa mendatang.
Dengan adanya nama Prof Lafran di daftar pahlawan nasional, maka
di dalam mosaik sejarah Indonesia, ada jejak yang takkan terhapus bahwa para
mahasiswa Islam telah turut mengukir arsitektur NKRI yang berdasar Pancasila
ini. Dari mosaik sejarah tersebut tesirat juga pesan kuat bahwa mahasiswa Islam
dan senior-seniornya tidak boleh bertindak radikal terhadap NKRI ini. Kalau itu
dilakukan, berarti mereka mengkhianati sejarah perjuangannya sendiri. []
JAWA POS, 10 November 2017
Moh. Mahfud MD |
Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni HMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar