Persaudaraan dan Pluralitas
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Judul dari artikel ini adalah persaudaraan dan pluralitas kita,
yaitu adanya persaudaraan dalam kemajemukan kita memandang kehidupan.
Habib Saggaf, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di
Parung, Bogor, yang bercerita bahwa ia pertama kali mengetahui tentang perlunya
menghargai pluralitas dari penulis artikel ini. Kemudian itu terbukti pada
waktu dia harus mendirikan usaha roti untuk makan ribuan santrinya yang
kebanyakan yatim piatu.
Ketika mendirikan usaha tersebut, dia diberi bantuan oleh kawan-
kawan non muslim. Di sinilah dia baru merasakan pentingnya menyayangi yang
berbeda (pluralitas) dalam kehidupan. Jika memiliki sikap pluralistik seperti
itu memang diperlukan, maka kita lalu bertanya,apakah pandangan itu bisa
menjadi pendorong bagi dialog antara semangat kebangsaan/nasionalisme dan
ajaran agama Islam untuk keutuhan bangsa ini?
Sampailah kita pada sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat
dibantah, yaitu tentu ada kekuatan yang mendorong ketika kita
“memulai”kebangkitan ajaran agama kita.Penulis menandai hal itu dengan
kehadiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1912, KH M Hasyim Asy’ari
diberi tahu bahwa perkumpulan baru bernama Muhammadiyah didirikan kalangan kaum
muslimin di Yogyakarta.
Beliau bertanya: “Siapakah pendirinya?”Tiga hari kemudian beliau
diberi tahu bahwa pendirinya adalah H Ahmad Dachlan dari Yogyakarta. Beliau
bertanya lagi, apakah orang itu dahulunya sama-sama jadi santri dengan beliau
di Pondok Pesantren Kyai Shaleh Darat, Semarang?
Ketika memperoleh jawaban bahwa sang pendiri itu benar teman
beliau di Pondok Pesantren Shaleh Darat, beliau mengatakan bahwa tokoh tersebut
adalah orang baik, walaupun ibadahnya “tidak sama” dengan kita. Beliau juga
mengatakan bahwa pada waktu itu mereka berdua sekamar dengan orang ketiga,
yaitu Sosrokartono, kakak kandung orang yang kemudian kita kenal dengan nama RA
Kartini dari Rembang.
Di sinilah sejarah seolah memilih dan membentuk sejarah Indonesia
modern. Persaudaraan itu bertambah lagi bahwa antara HOS Tjokroaminoto dari
Surabaya dan KH Hasyim As’yari memang ada pertalian kekeluargaan, yaitu
sama-sama keturunan Kyai Harun (Ki Ageng Basjariah) dari Sewulan, sepuluh
kilometer sebelah selatan Kota Madiun.
Dialog antara nasionalisme/ kebangsaan dan ajaran agama Islam
antara mereka berdua terus berlanjut, karena HOS Tjokroaminoto memiliki menantu
bernama Soekarno (di belakang hari dikenal dengan nama Bung Karno). Juga karena
ada keluarga lain di kalangan mereka, yaitu Djojosugito, dari keluarga yang
sama, yang mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
Dari kebutuhan dialog seperti inilah, lalu dirasakan kepentingan
melembagakan/institusionalisasi kebutuhan tersebut. Karena itu,setelah Perang
Dunia I, menjelang 1920-an mereka membangun kekuatan. Ternyata, gerakan Syarikat
Islam (yang di belakang hari menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia/ PSII)
diinfiltrasi komunis.
Lahirlah apa yang kelak dikenal sebagai SI Merah yang cukup lama
memegang dominasi atas kehidupan politik bangsa kita.Lalu akibatnya bagi
lingkungan NU, lahir orang-orang NU yang mementingkan Islam sebagai ideologi
politik,bukannya sebagai gerakan kultural/budaya. Inilah yang kemudian menjadi
“ideologi resmi” gerakan Islam di negeri kita kini.
Mereka antara lain mewujudkannya dalam Partai Arab Indonesia (PAI)
dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian hari menjadi Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pandangan mereka itu sekarang diteruskan
oleh berbagai gerakan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela
Islam (FPI) dan seterusnya. Kenyataan sejarah seperti ini menjadi milik kita
bersama.
Penulis artikel ini pernah ditanya seorang pemimpin HTI, Anda
masih menginginkan dijalankannya syariat Islam? Penulis menjawab masih. Dia
lalu menanyakan kepada penulis artikel ini, mengapa menolak kekhalifahan
(konsep negara Islam)? Penulis menjawab, kita sama-sama menerima syariat Islam
tetapi berbeda dalam gagasan negara Islam.
Bagi penulis artikel ini, gagasan itu bukanlah barang wajib.
Antara negara dan syariah harus dibedakan. Tetapi kita berdua sama-sama percaya
pada syariah dan ajaran agama Islam. Kita bahkan dianjurkan untuk tidak saling
bermusuhan bahkan saling bersaudara. Ini juga penulis kemukakan dalam sebuah
seminar tentang gerakan Islam fundamentalis dan radikal yang diselenggarakan
pada musim panas 2006 di Akademi Angkatan Udara (Air Force Academy), Colorado,
Amerika Serikat (AS).
Karena pada waktu itu penulis dilarang pergi ke AS oleh para
dokter, tahun berikutnya Donald Rumsfeld, yang waktu itu masih menjabat sebagai
Menteri Pertahanan AS, meminta penulis membuat rekaman video berisikan
pikiran-pikiran penulis artikel ini tentang hal itu. Dalam rekaman penulis
menyatakan tidak pernah menganggap teman seagama sebagai keluar dari Islam,
bahkan menganggap mereka sebagai saudara.
Karena itu,penulis artikel ini meminta para peserta seminar
tersebut mencari titik-titik temu dengan mereka.Permintaan itu adalah sesuatu
yang berat karena para peserta seminar itu adalah orang-orang yang selalu
diganggu oleh kaum fundamentalis dan radikalis.
Menganggap kaum fundamentalis dan radikal bukan Islam lagi tidak
dapat dilakukan penulis artikel ini karena mereka “berjuang” dengan cara mereka
untuk kepentingan Islam. Kami tidak menentang mereka, me-lainkan menentang
tindakan mereka. Tapi perbedaan cara berjuang itu tentu tidak mengharuskan
sikap saling mengafirkan antara penulis artikel ini dan mereka. Ini juga sikap
pluralistik dalam memandang kehidupan, bukan? []
Sumber: Koran Sindo Tanggal: 18 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar