Menikmati Kemurnian
Islam (di) Indonesia
Judul Buku
: Agama Islam Murni di Nusantara (Sejuk
& Damai)
Penulis
: Prof. Dr.
H. Sunardji Dahri Tiam, M.Pd.
Penerbit
: UM Press Malang
Cetakan
: I, 2017
Tebal Buku
: xvi+323 hal.
Peresensi
: Ach. Khalilurrahman, Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Institut Ilmu Keislaman
Annuqayah (Instika) sekaligus santri Pesantren Annuqayah Latee Guluk-Guluk
Sumenep.
Vaksin palsu, beras
palsu, obat palsu, berikut barang imitasi lainnya marak ditemukan di Indonesia.
Teknologi yang kian canggih membuat seseorang dengan mudahnya merekayasa suatu
produk hingga mirip dengan bentuk aslinya. Kabar pemalsuan tersebut tentu
saja membuat masyarakat menjadi resah. Bayangkan, ditengah mahalnya harga bahan
pokok berikut seretnya pendapatan, mereka harus dilanda kekhawatiran
mengkonsumsi zat berbahaya.
Kita mungkin bersedih
menyaksikan fenomena ini. Namun janganlah larut dengan perasaan itu. Kebutuhan
sandang dan pangan bolehlah dipalsukan, tapi Islam kita tetap yang asli. Agama
Islam yang dianut oleh mayoritas warga Indonesia tetap murni seperti ajaran
Rasul SAW dan para sahabatnya.
Dalam karya
terbarunya, Prof. Sunardji membedah persoalan ajaran keislaman yang berkembang
di negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Persoalan ini memang menjadi buah bibir di
kalangan umat Islam dan para pengamat baik nasional maupun internasional.
Istilah Islam Nusantara menjadi semakin populer ketika NU mengangkatnya sebagai
tema muktamar. Tapi buku ini sudah mulai digarap jauh hari sebelum even lima
tahunan itu digelar.
Islam Nusantara
bukanlah paham baru. Ia merupakan pengejawantahan dari sikap kaum Muslim di
Indonesia yang memiliki paham keagamaan unik dan menarik. Keunikan ini dapat
dilihat dari sikap umat Islam yang memiliki rasa toleransi dalam menyikapi
persoalan. Maka, sekalipun negeri ini memiliki aneka ragam ras, suku, dan
budaya, semuanya dapat hidup rukun berdampingan. Istilah Islam Nusantara ini
hanya sebuah nama, pinjaman atau mewakili dari nama Islam rahmatan lil alamin
yang ada di Nusantara.
Agama Islam Nusantara
merupakam paham keagamaan Islam murni (asli), yang datang dari Allah SWT,
dibawa dan diamalkan oleh baginda Rasulullah SAW bersama para sahabatnya,
kemudian secara bersambung melalui tabi'in, tabi'it-tabi'in, sampai juga kepada
kita di Indonesia. Kemudian oleh walisongo, penyampaian dan pengamalannya
(khususnya ibadah-ibadah ghairu mahdlah), berakumulasi (melebur) dengan
tradisi-tradisi setempat yang sangat beragam selama tidak bertentangan dengan
syari'at agama (hal. 11).
Tindakan akulturasi
tersebut bukan lantas dibuat sekehendak penciptanya. Sang kreator, para wali
songo utamanya wali janget tinelon (wali tiga serangkai, dalam hal ini Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri) telah melakukan kajian terhadap teks agama
dan kondisi sosial sehingga hasil inovasi dan kreasi tidak berbenturan dengan
kedua hal tersebut.
Dalam hal keagamaan,
Islam Nusantara mengikuti paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah (hal. 81). Sebuah paham
keagamaan yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Namun
mengingat zaman yang makin modern dengan problemnya yang kian kompleks, ada
beberapa persoalan yang tak diuraikan dalam al-Qur'an dan hadits. Maka
muncullah sistem ijtihad, madzhab, dan taqlid.
Sebab tak semua orang
bisa berijtihad, penganut agama Islam di Nusantara diperkenankan menganut salah
satu madzhab yang sudah memperoleh justifikasi dari mayoritas ulama. Bahkan
bagi mereka yang masih awam dibolehkan untuk taqlid. Dalam bidang aqidah,
ulama menjadikan pemikiran Imam Hasan al-Asy'ari dan Imam Mansur al-Maturidy
sebagai pegangan. Sementara Syariah mengacu pada rumusan imam yang empat, Syafi'ie,
Maliki, Hambali, dan Hanafi. Dan untuk Tasawufnya berpanutan pada gagasan Imam
al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.
Tak hanya itu, Islam
Ahlussunnah wal Jamaah juga memiliki karakteristik dalam pengalamannya.
Tawassuth (pertengahan), I'tidal (tegak lurus), dan Tawazun (keseimbangan)
menjadi prinsip dalam menjalankan praktik keagamaan. Sementara itu, dalam
praktik kemasyarakatan, tiga prinsip tadi ditambah dengan sikap Tasamuh
(toleransi) dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Penjelasan tentang prinsip-prinsip tersebut
bisa diurai secara jelas pada bab tiga dan empat dalam buku ini.
Dengan berpegang pada
ajaran seperti di atas, maka tak heran bila muncul berbagai tradisi sosial
keagamaan yang lahir. Kreativitas para juru dakwah telah mampu memasukkan
keislaman dalam segala kegiatan yang dulu masih sarat dengan tradisi
Hindu-Budha. Contoh kecilnya adalah pemberian sesajen yang diganti dengan acara
mengaji al-Qur'an dan makan bersama para undangan.
Namun kreasi tersebut
tak selamanya disambut dengan tangan terbuka. Beberapa golongan justru
menganggap pengamal dan pengawal agama Islam murni yang sejuk dan damai ini
sebagai paham sesat dan menyesatkan serta bukan ajaran Islam. Sangkaan ini
disebabkan banyaknya amaliyah yang belum ada contohnya pada masa Nabi. Menanggapi
pernyataan tersebut, Sunardji menegaskan bahwa tradisi-tradisi sosial keagamaan
disini adalah implementasi (pengetrapan) ajaran agama yang sifatnya ghairu
mahdlah (tidak murni) yang menurut KH. Sahal Mahfudz disebut ibadah muthlaqah
(yang bebas dari ketentuan yang mengikat) (hal. 299).
Terlepas dari
anggapan miring itu, kita juga patut berbangga karena beberapa tokoh dan
lembaga dari luar negeri mulai melirik model keberagamaan yang kita miliki.
Rektor Al-Azhar bahkan menghimbau umat Islam dunia untuk menimba ilmu Islam
dari Indonesia. Beliau terpesona dengan kehidupan umat Islam di Indonesia yang
damai dan harmonis (hal. 6).
Kondisi ini tentu
berbeda dengan yang terjadi di negara lain utamanya Timur Tengah. Hingga kini,
di sana masih saja dipenuhi pertumpahan darah atas nama jihad fi sabilillah.
Padahal yang mereka serang tak lain adalah saudara sendiri. Melihat fakta
tersebut, bila ada yang bertanya, "adakah yang lebih murni, sejuk dan
damai dari Islam Nusantara?" Jawab saja, "Yang ngaku-ngaku, baaanyaak!"
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar