Selasa, 21 November 2017

Kang Sobary: Kualat dan Simbolisasi Kamadhatu



Kualat dan Simbolisasi Kamadhatu
Oleh: Mohamad Sobary

SEPULUH pelukis Indonesia --Wahyu Oeman, Vukar Lodak, Afriani, Derson Madjiah, Eko Banding, Kamto Sukamto, Sujud SR, Handoyo JJ, Chrisnanda Dwilaksana, dan S Dartha-- menyelenggarakan pameran lukisan bersama di Balai Budaya Jakarta. Sepuluh karya lukis dipamerkan di sana selama seminggu, 13-20 November 2017. Para pelukis memilih tema "Kualat" dan masing-masing mencoba memberikan penjelasan makna "kualat" tersebut. Beberapa menampilkan makna itu dalam lukisan masing-masing yang menyentuh rasa haru kita.

Di dalam berbagai tradisi yang masih berlaku di masyarakat Nusantara ini, kualat bisa terjadi karena seseorang melakukan pelanggaran adat. Mungkin melanggar etika, mungkin melanggar aturan, mungkin melanggar sesuatu yang sakral, dan mungkin bahkan melakukan pelanggaran yang lebih berat lagi. Jika minta maaf, mungkin ada mekanisme penghapusan akibat buruk dari pelanggaran itu sehingga yang bersangkutan tak mengalami sesuatu apa pun.

Mungkin si pelanggar minta maaf secara adat disaksikan sejumlah warga masyarakat dan kepala adat. Permintaan maaf biasanya dilakukan dalam suatu ritual suci yang khusuk dan mendalam. Biasanya ada syarat-syarat adat yang harus dipenuhi.

Mungkin ada pula sajen (sesaji) yang merupakan simbol penghubung antara yang profan dengan yang sakral, yang duniawi dan yang surgawi, dan yang manusiawi dengan yang ilahi. Syarat bisa beraneka macam dan tidak sama antara syarat di suatu masyarakat dengan di masyarakat lain. Tapi syarat adalah syarat. Tidak bisa syarat itu ditiadakan.

Dan kepala adatlah yang bisa berhubungan secara spiritual dengan dunia lain untuk memintakan maaf bagi warganya yang salah. Tapi bila yang bersangkutan tak peduli, mungkin malah menampakkan sikap sombong, kualat itu akan terjadi dalam berbagai bentuk kesulitan atau penyakit yang hanya bisa diobati dengan cara meminta maaf. Tapi mungkin tidak ada dalil yang memberi jaminan bahwa permintaan maafnya akan dikabulkan.

Ada pula kualat yang terjadi karena mekanisme rohaniah yang lain lagi. Di sini kualat berhubungan dengan mantra dan kutukan. Mantra sendiri barangkali tak akan menjadi penghalang bagi pihak lain kalau mantra tak dimaksudkan sebagai kekuatan kutukan kepada suatu pihak yang dianggap salah. Kutukan bisa juga terwujud dalam bentuk balas dendam. Orang juga bilang dendam kusumat. Versi lain menyebut dendam tujuh turunan yang kedengarannya saja sudah begitu menakutkan.

Masyarakat Jawa mengenal dosa patang perkara, empat macam dosa, yaitu dosa kepada diri sendiri, dosa kepada sesama, dosa kepada orang banyak, dan dosa terhadap kekuatan adikodrati. Bisa juga disebut dosa kepada Tuhan. Empat macam dosa itu pada dasarnya bisa dimaafkan. Juga dosa kepada kekuatan adikodrati yang tak kelihatan. Tuhan maha mengampuni. Tapi dosa kepada diri sendiri lain lagi urusannya.

Sebelum ada pihak yang bisa menjelaskan bagaimana cara meminta maaf, dosa kepada diri sendiri akan menjadi beban berkepanjangan dan memberatkan hidupnya. Orang yang beroda kepada diri sendiri ibaratnya menanggung beban berat kutukan dan mengalami apa yang disebut kualat oleh sepuluh pelukis tadi.

Uraian mereka mengenai kualat dalam bentuk tertulis sebagian jelas dan kuat, sebagian samar-samar. Mereka pelukis, bukan penulis. Maka ketika apa yang disebut kualat itu dituangkan dalam bentuk goresan garis dan warna, dan kombinasi warga yang tepat, tampak karya mereka representatif bagi makna kata "kualat" tadi. Pelukis memang tak diharuskan menjadi penulis.

Lukisan merekalah yang harus dijadikan takaran apakah efektif menggambarkan tema yang diinginkan, apakah simbol--dalam bentuk garis, goresan dan warna atau kombinasi warna--yang dipakainya ekspresif dan mengesankan secara mendalam? Apakah bahkan ada kekuatan lain--hasil pencarian intelektual sang pelukis sendiri--yang memberi aksentuasi lebih kuat dan lebih menggambarkan apa yang ingin digambarkannya? Apakah kelihaian estetik dalam memainkan warna telah menjadi suatu special stemp bagi yang bersangkutan.

Pertanyaan bisa lebih banyak lagi. Tapi sepuluh lukisan yang dipamerkan tadi pada dasarnya mampu membuat kita merenung mengenai kekuatan simbolik dalam cara mereka menampilkan makna kualat. Kepada siapa sindiran atau pesan kualat ini ditujukan? Siapa di negeri kita ini yang harus kualat dan layak dikutuk supaya kualat? Para koruptor hendaknya kualat semua? Apa khusus hanya koruptor yang tak merasa korup? Apa ditambah koruptor besar dan lawyer - nya yang bahkan merasa suci dan mau melaporkan banyak orang KPK yang bertindak benar dan pada tempatnya?

Kelihatannya orang KPK mau dilaporkan karena telah berbuat baik melawan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan? Inilah yang layak dikejar oleh rakyat jika aturan hukum yang berlaku dianggap tak berlaku. Merekalah yang kualat dan akan tetap kualat selamanya. Para pelukis itu seniman dan intelektual yang lembut dan pemalu. Perlawanan mereka terhadap kejahatan dilakukan dengan lembut dan senyum manis. Ini bagus sekali. Tapi akan lebih bagus kalau mereka bicara kualat dengan suatu maksud yang jelas dan tujuan yang lebih jelas.

Koruptor dilawan dengan ketegasan hukum dan kekuatan aparat bersenjata saja tak merasa salah. Apalagi disindir dengan lukisan halus dan lembut. Para penjahat tak bakal merasa bahwa sindiran itu ditujukan kepada mereka.

Saya terkesan pada dua lukisan yang cepat menyentuh hati saya. Lukisan Handoyo itu mirip bentul-bentuk dekoratif yang mungkin dipengaruhi lukisan dalam Kamadhatu: gambaran hidup masyarakat yang gemuruh dengan gosip, fitnah, bergunjing, bertindak memalukan tanpa rasa salah, tetapi sebagian tampak wajahnya bagaikan terkutuk, yang lain lesu, tak merasa bahagia, bahkan sebagian tampak menakutkan, jungkir balik, dan sejenisnya.

Kita disuguhi kesan yang mendalam seperti gambaran simbolik dalam  Kamadhatu, konsep kehidupan dalam ekspresi Buddha yang tampak pada lapisan paling bawah dinding Candi Borobudur. Ini gambaran kehidupan masyarakat yang di dalamnya begitu penuh dosa seperti dalam kehidupan para koruptor di zaman modern ini. Kamadhatu sebagai simbol atas apa yang disebut kualat ditampilkan  oleh Handoyo dengan kombinasi warna dan garis yang begitu ekspresif, dengan sentuhan kesan yang dalam.

Kita, penonton, dibuat termangu-mangu. Kemampuan kita membuat asosiasi dengan kehidupan zaman ini, mungkin kehidupan mereka yang jahat pada sesama, membawa kita pada suatu gagasan mengenai salah, dosa, terkutuk, kualat, dan sejenisnya yang membikin subur dunia nilai dan kesadaran kita mengenai apa yang benar, yang adil, dan manusiawi.

Serupa dengan itu, serupa tajamnya, serupa kesannya yang dalam dan kemampuannya memainkan warna, tampak pada lukisan Chrysnanda Dwilaksana. Handoyo dan Chrys mungkin seusia. Kalau beda mungkin tak terlalu banyak. Pengalaman dan kemampuan teknis  mereka mungkin beda, tetapi dunia nilai mereka, aspirasi mereka, dan gambaran mereka mengenai apa yang ideal barangkali serupa.

Chrys juga melukis suatu dunia nyata, tapi imajiner seperti dunia dalam Kamadhatu. Handoyo dan Chrys seperti dua pelukis yang berjanji sebelumnya--padahal jelas tidak--untuk menampilkan kesan yang bisa begitu dekat dan nyaris hampir sama. Sebagai orang yang khusuk dengan doa dan pesan-pesan moral buat memperkaya dan menerangi hidupnya, Chrys menampilkan pula sosok manusia bersayap, putih warnanya. Ini mirip manusia, tetapi kesan kita jelas, Chrys menghadirkan malaikat di dunia penuh dosa yang dilukisnya.

Mungkin pelukis ini hendak menyampaikan rasa belas kasihannya pada kehidupan. Kasihan gambaran penuh dosa dan wujud mereka yang kualat sepeti itu. Maka setidaknya di tengah mereka dihadirkanlah sosok malaikat agar memberi warna dan kesan lebih baik. Di mana ada kejahatan di situ ada malaikat, di mana para pendosa berkumpul, di situ hadir kekuatan ruh: murni dan suci dan mengandung warna ilahi.

Kalau dilihat dari segi ini tampak Chrys memang sudah matang. Hidup janganlah hitam putih. Dalam diri pendosa ada pula amal-amalnya. Yang dosa mungkin kualat, tetapi yang kualat mungkin masih berhak atas cahaya terang: cahaya surgawi dan ilahi. Handoyo, Chris, dan Kamadhatu merupakan tiga unsur yang berhubungan secara dialektis dan saling mewarnai. []

KORAN SINDO, 20 November 2017
Mohamad Sobary | Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar