Senin, 27 November 2017

Azyumardi: Adicerita Hamka (1)



Adicerita Hamka (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Membahas karya James Rush, Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia (edisi Inggris 2016; Indonesia 2017), pembaca dan pengkaji Islam Indonesia dapat melihat posisi Buya Hamka secara lebih jelas dan tegas. Seperti dibahas Rush dalam buku ini, sosok Buya Hamka sulit dirumuskan orang karena kompleksitas pemikiran dan kiprahnya.

Hamka, singkatan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (17/2/1908-24/7/1981) jelas adalah pribadi sangat kompleks. Ia bukan hanya sekadar wartawan penulis dan editor, melainkan juga sastrawan prolifik dan sekaligus sejarawan dan ulama terkemuka.

Tak kurang pentingnya, Buya Hamka adalah ulama/intelektual-cum-aktivis sosial-budaya dan agama yang melalui pengalaman langsung, observasi, dan aktivisme menuliskannya dalam karya tulis reflektif yang tajam dan menggigit dengan bahasa Indonesia yang khas.

Sedangkan bagi Rush lebih maju lagi, Hamka adalah pengarang, pemikir bebas, sastrawan, dan mufasir [penafsir Alquran]. Lebih jauh menurut Rush, sebagai pengarang, mufasir, pemikir, dan sastrawan, Hamka memiliki nilai lebih dibandingkan dengan para penulis lain.

“Jika Hamka memasuki sebuah ranah pemikiran, dia akan terjun ke dalamnya dengan berani dan sepenuh hati. Hamka bukanlah jenis manusia kepalang tanggung.”

Karya James Rush ini merupakan karya unik jika dibandingkan dengan banyak karya lain tentang Buya Hamka. Karya ini tak lain merupakan biografi sosial-intelektual Buya Hamka berdasarkan tulisan-tulisan Buya Hamka sendiri, yang kemudian sedikit banyak diuji dan dianalisis Rush. Meski demikian, Rush berhasil menggambarkan sosok Buya Hamka secara relatif lengkap dan komprehensif.

Dalam konteks dan paradigma sejarah sosial-intelektual, Rush menggambarkan perkembangan Buya Hamka sejak kecil sampai menjadi tokoh termuka Indonesia dalam kaitan dengan lingkungan sosial. Buya Hamka lahir dan besar di lingkungan sosial ayahnya, Haji Rasul, yang terkenal sebagai ulama pembaru ‘kaum muda’. Haji Rasul pun terkait dengan lingkungan sosial Islam lebih luas, tidak hanya Alam Minangkabau, tapi juga Indonesia dan dunia Muslim lebih luas.

Melampaui pengembaraan intelektual ayahnya, Hamka tidak hanya mengakrabi sejarah dan pemikiran Islam Indonesia dan Dunia Arab, tetapi juga Eropa dan Amerika. Ini terlihat dari sumber dan kutipan yang hampir selalu ada dalam buku dan artikelnya yang mengacu pada episode sejarah dan sosok pemikir tertentu di Eropa dan Amerika.

Meneliti sosok intelektual Hamka dalam konteks lingkungan sosial lebih luas sejak 1982—dan baru selesai untuk diterbitkan pada 2016—James R Rush, guru besar sejarah di Universitas Arizona, Amerika Serikat—mengumpulkan hampir seluruh karya Hamka, baik buku maupun artikel. Rush juga mengoleksi banyak karya akademis tentang Hamka sejak skripsi S-1, tesis S-2, dan disertasi S-3 yang dikerjakan di perguruan tinggi Indonesia dan luar negeri.

Meski edisi bahasa Indonesianya cukup tebal (xlii+322 halaman), Rush membagi bukunya secara cukup sederhana—hanya enam bab: pertama, Pedoman Masyarakat; kedua, Ayah dan Anak; ketiga, Hamka-san dan Bung Haji; keempat, Islam untuk Indonesia; kelima, Perang Budaya; dan keenam, Orde Baru.

Dengan pembaban sederhana seperti itu, James Rush membangun naratif Hamka sebagai sosok intelektual dan aktivis yang membangun karier intelektualisme secara autodidak. Dengan kefasihannya bertutur, baik secara lisan maupun tulisan, Hamka di atas segalanya akhirnya tampil sebagai sosok ‘intelektual publik’ yang penting dalam wacana keislaman dan keindonesiaan pada masa pasca kemerdekaan.

Sebagai intelektual publik, bagi saya Hamka sangat distingtif. Ia memiliki cakrawala intelektualisme kosmopolitan melalui bacaannya atas karya sastrawan, filsuf, sejarawan, atau ideolog semacam Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Akkad, Mustafa al-Manfaluti, Hussain Haykal, Albert Camus, William James, Sigmud Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Pierre Loti, dan banyak lagi.

Hamka melalui bacaannya yang sangat luas dan terbuka memberikan contoh tentang keragaman bacaan, yang kemudian dia refleksikan secara kritis. Sikap intelektual Hamka ini jelas sangat relevan dan kontekstual dengan tantangan kaum intelektual dan ulama Indonesia masa kini dan mendatang yang harus terus membuka perspektif dan horizon tanpa kehilangan intelektualisme kritis mereka di tengah lingkungan yang terus berubah sangat cepat.

Menutup diri—apalagi mengharamkan bacaan yang mengandung pemikiran dan wacana tertentu—hanya membuat kemandekan intelektualisme Islam Indonesia. []

REPUBLIKA, 23 November 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar