KH Harits Dimyathi,
Kitab Sejarah dari Tremas
Apabila ada ahli
sejarah Islam, penulis produktif, pembaharu sistem dan manajemen pendidikan
Pesantren Tremas, dan kiai yang seluruh waktunya tersita untuk memperdalam
kitab, beliau adalah KH Harits Dimyathi. Ahad malam (8/10) santri Tremas dan
masyarakat Pacitan, dengan khidmat mengikuti pembacaan Kalimah Toyyibah Tahlil
dalam rangka memperingati Haul KH Harits Dimyathi yang ke-22.
Kiai Harits merupakan
pengasuh pesantren Tremas Pacitan periode kelima dan tak lain adalah ayah dari
Katib Syuriyah PBNU dan Koordinator Nasional Gerakan Ayo Mondok KH Luqman
Harits. Rangkaian peringatan haul diawali sejak Jum'at (6/10) kemarin dengan
kegiatan semaan Al-Qur’an bil ghoib dan ziarah ke makam di komplek makam Gunung
Lembu bersama keluarga, para santri, dan alumni.
Kiai Harits lahir
pada tahun 1932, merupakan putera bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya KH
Dimyathi Abdullah dan ibunya Nyai Khotijah. Lahir dan besar dalam lingkungan
pesantren. Hidup di bawah bimbingan dan pengawasan orang-orang alim. Agaknya
inilah yang menyebabkan kepribadian Kiai Harits tumbuh menjadi orang alim.
Pada tahun 1939
melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta di bawah asuhan
KH Dimyathi Abdul Karim sampai kurang lebih tahun 1942. Dan semasa pemerintahan
penjajah Jepang Kiai Harits Dimyathi kembali ke Tremas sampai tahun 1945. Dan
kemudian melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta di
bawah asuhan KH Ali Ma’sum sampai kurang lebih tahun 1952.
Di bawah bimbingan
guru besarnya ini, ketekunan Kiai Harits Dimyathi dalam belajar semakin besar.
Dalam waktu singkat kitab-kitab klasik telah dikuasai dengan baik. Seluruh
waktunya hanya digunakan untuk belajar semata. Maklum, tanggung jawab yang akan
dipukulnya ke depan semakin berat. Apalagi sebagai putra Kiai Dimyathi Abdullah
yang kesohor kealimanya itu.
Hingga beberapa waktu
kemudian Kiai Harits Dimyathi mengikuti jejak kakaknya, Kiai Habib Dimyathi
kembali ke Tremas untuk membina dan membangun kembali Pondok Tremas sebelumnya
sempat vakum, karena kakaknya yang menjadi pengasuh saat itu, Kiai Hamid
Dimyathi dibunuh oleh PKI pada peristiwa Affair Madiun tahun 1948.
Awal-awal menetap di
pesantren Tremas, Kiai Harits Dimyathi tidak tinggal di kediamanya, melainkan
tinggal di asrama santri. Kiai Harits memilih tinggal bersama para santrinya
tak lain untuk mempermudah dalam mendidik dan menagawasi para santri secara
langsung.
Konon, Kiai Harits
Dimyathi termasuk salah seorang pengasuh yang melakukan tirakat
"Nahun". Kiai Harits tetap tinggal di asrama santri dan sama sekali
tidak pulang ke kediamanya selama tiga tahun, tiga bulan, dan tiga hari.
Padahal kediamanya selalu terlihat setiap hari dan hanya berjarak lima puluh
meter dari asrama santri. Inilah salah satu bentuk ketekunan belajar Kiai
Harits.
Kiai Harits Dimyathi
memimpin pesantren Tremas bersama dengan sesepuh yang lain. Kiai Harits berbagi
tugas bersama dengan kakaknya, Kiai Habib Dimyathi dan Kiai Hasyim Ihsan, yang
masih kerabat dekatnya. Kiai Habib Dimyathi bertugas sebagai pimpinan pesantren,
Kiai Harits Dimyathi bertugas sebagai Ketua Malis Ma'arif yang mengurusi
jalanya pendidikan dan pengajaran di pesantren Tremas, sedangkan Kiai Hasyim
Ihsan bertugas menangani bidang sosial kemasyarakatan. Pembagian tugas ini
ternyata menjadikan perjalanan pesantren Tremas menjadi lebih kuat dan
terarah.
Pesantren Tremas
pasca-Proklamasi kemerdekaan menghadapi tantangan yang berat, khususnya
disebabkan ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern. Oleh karena
itu, setelah melalui proses perenungan dan musyawarah antarpengasuh Tremas,
maka dibukalah kembali madrasah yang pernah berdiri.
Tahun 1952 merupakan
tonggak pembaharuan pendidikan di pesantren Tremas. Kiai Harits Dimyathi banyak
melakukan penataan dalam sistem dan manajemen pendidikan di Madrasah yang
diasuhnya. Salah satunya dengan menyusun kurikulum dan membuat jadwal pelajaran
di Madrasah.
Semangat pembaharuan
pendidikan di pesantren Tremas mulai tiupkan oleh Kiai Harits. dan ternyata
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya
sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya,
melainkan justru menguatkannya. Pembaharuan yang dilakukannya tetap berpedoman
pada prinsip: Al-muhafazhatu ‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil
ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik.
Kiai Harits Dimyathi
juga sangat konsen pada pedalaman kitab-ktab klasik, sehingga beliau dikenal
pula sebagai kiai yang mampu menyusun beberapa kitab, yang kelak kitab tersebut
menjadi literatur wajib santri Tremas.
Di antara kitab yang
berhasil disusun, antara lain : Sarh Jawahirul Maknun, Khulashah Tarikh Tasri’
Islam, Tasrifan/Shorof Attarmasi, Tarikh Daulah Ummawiyah, Tarikh Daulah Abbasiyyah,
Qowaidul Kitabah, Qowaidul Fiqhiyyah, Khulashoh Khulafa’ur Rosyidin, dan banyak
lagi kitab-kitab yang lainya.
Kepiawaian Kiai
Harits Dimyathi dalam menulis dan menyusun beberapa kitab, diakui mewarisi
kakak sulung ayahnya, yaitu Syekh Mahfuzh Attarmasi. Walaupun produktivitas
menulisnya dalam skala kecil.
Kiai Harits Dimyathi
memiliki spesifikasi bidang sejarah Islam. Saat mengajar tarikh, Kiai Harits
Dimyathi seakan sebagai saksi hidup sejarah itu sendiri. Kiai Harits mampu
bercerita cukup emosional dan membawa pendengar terlibat dalam kisah yang
diceritakanya.
Kedalaman
pengetahuanya tentang Sirah Nabawiyah hingga sejarah kebangkitan Islam abad
pertengahan, memberi sinyal kepada para santri betapa sejarah memberi peranan
penting dalam diri setiap orang, sekaligus pondasi kuat pembentukan jatidiri.
Kegemaran dan
ketekunan Kiai Harits Dimyathi dalam belajar ternyata tidak luntur hingga sudah
memiliki cucu. Di sela kesibukannya dalam membina santri, Kiai Harits tetap
memberi porsi banyak untuk membaca kitab, buku-buku, majalah, atau bacaan lain
yang memberinya wawasan cakrawala pengetahuan yang cukup luas hingga melampaui
orang kebanyakan di sekitarnya. Demikian seperti yang diungkapkan oleh Ahmad
Muhammad, dalam bukunya Bunga Rampai dari Tremas, halaman 62.
Kiai Harits Dimyathi
menikah dengan salah satu putri Hadratusyyekh Hasyim Asy'ari Tebuireng, yang
bernama Fathimah. Namun mahligai rumah tangganya bersama putri pendiri NU itu
tidak berlangsung lama. Kemudian, Kiai Harits menikah kembali dengan Nyai
Hadiyah yang berasal dari Jatimalang, Arjosari, Pacitan. Dari pernikahan itu,
Kiai Harits dikarunia empat orang putra-putri; Kiai Hammad Al Alim, Nyai Jihan
Al Janin, Kiai Luqman Al Hakim, dan Gus Mu'adz.
KH Harits Dimyathi
termasuk kiai yang amat sederhana, memiliki kepribadian yang lemah lembut dan
rendah hati. Keluasan ilmunya tercermin dari akhlak dan kharismanya. Meskipun
kewibawaannya mengesankan pribadi yang tertutup, pendiam, dan sulit diajak
humor.
Kiai Harits Dimyathi
sangat memperhatikan kemaslahatan keluarga. Kasih sayangnya bukan hanya
dirasakan di lingkungan keluarga saja, tetapi juga di tengah-tengah para
santrinya. Di kala memberikan wejangan, Kiai Harits selalu mendorong santrinya
agar senantiasa tekun belajar.
Sisi kehidupan Kiai
Harits Dimyathi yang patut diteladani, yakni memiliki kebiasaan riyadhoh, yaitu
membaca shalawat dari sehabis maghrib hingga waktu isya’menjelang. Kebiasaan
ini tidak pernah ditinggalkannya hingga akhir hayatnya.
Kiai Harits Dimyathi
berpulang ke rahmatullah pada tahun 1995. Kiai Harits wafat saat sedang berada
di kantor pesantren dan hendak mengawasi santrinya yang tengah melaksanakan
imtihan (ujian) Madrasah Salafiyah. Wasiat terakhirnya yakni agar Pesantren
Tremas tetap selalu menjaga jatidirinya sebagai pesantren salaf seperti ketika
pesantren ini didirikan pertama kalinya oleh KH Abdul Manan Dipomenggolo pada
tahun 1830 M. Kiai Harits dimakamkan di makam gunung Lembu Desa Tremas,
bersama dengan para sesepuh Tremas lainya. Dan tiap hari makamnya selalu ramai
diziarahi oleh para santri. []
(Zaenal Faizin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar