Jumat, 17 November 2017

Azyumardi: Jaringan Keilmuan Indonesia-Mesir (6)



Jaringan Keilmuan Indonesia-Mesir (6)
Oleh: Azyumardi Azra

Jaringan keilmuan Indonesia-Mesir terus berlanjut pada masa kontemporer. Mahasiswa Indonesia dalam jumlah besar meski fluktuatif tetap datang ke Kairo untuk menuntut ilmu dari tahun ke tahun.

Bagaimana peta mahasiswa Indonesia di Kairo dewasa ini, perlu kajian komprehensif. Kajian Mona Abaza tentang Indonesian Students in Cairo (1994) telah menjadi klasik dan memerlukan update.

Namun, sebagai gambaran kasar, akumulasi jumlah total mahasiswa Indonesia sejak paruh kedua dasawarsa 1990-an, khususnya di Universitas al-Azhar, berfluktuasi antara 4.000-an sampai 5.000-an setiap tahun. Jumlah mahasiswa baru Indonesia (2017) di Universitas al-Azhar memecahkan rekor dengan mencapai anggka 1.556 mahasiswa.

Sayang, tingkat kenaikan kelas dan kelulusan mereka setiap angkatan masuk program S-1 rata-rata di bawah 50 persen. Menurut data Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Kairo, tingkat kelulusan pada 2017 hanya 41,19 persen dari 2.401 mahasiswa yang mengikuti ujian.

Banyak faktor penyebab rendahnya angka kelulusan. Pertama, sebab ketidaksiapan mengikuti perkuliahan. Kuliah disampaikan dosen sering dalam bahasa Arab ‘ammiyah, bahasa ‘pasar’—bukan bahasa fushah yang dipelajari di Indonesia, yang juga tidak dikuasai mahasiswa dengan baik.

Faktor kedua adalah sistem pendidikan masih konvensional yang disebut talaqqi: mendengar, menghafal, dan menulis. Dalam praktiknya, lebih bertumpu pada hafalan. Mahasiswa harus menghafal kitab mukarrar (buku teks) yang ditulis dosen agar dapat lulus ujian akhir dan naik tingkat.

Universitas al-Azhar masih memberlakukan sistem naik tingkat, bukan sistem semester dengan sejumlah SKS yang harus diambil mahasiswa. Dalam sistem al-Azhar, mahasiswa mengambil paket tujuh atau delapan mata kuliah setiap semester atau sekitar 14 mata kuliah setahun. Pada dasarnya mereka harus lulus semua mata kuliah untuk naik tingkat; mereka tidak naik tingkat jika tidak lulus tiga mata kuliah.

Selain itu, banyak mahasiswa Indonesia memiliki etos kerja yang rendah. Banyak yang jarang hadir kuliah. Perkuliahan yang diselenggarakan dalam kelas besar ratusan orang, mendorong banyak mahasiswa Indonesia tidak hadir karena tidak ada absensi. Absensi hanya perlu pada waktu makan di bu’uts, asrama mahasiswa yang disediakan Universitas al-Azhar.

Selain menghadapi masalah akademis, banyak mahasiswa Indonesia menghadapi kesulitan keuangan. Banyak mahasiswa Indonesia datang dari keluarga miskin di perdesaan. Mereka ini menggantungkan biaya pendidikan dan ongkos hidup dari al-Azhar; setiap tahun al-Azhar menyediakan beasiswa untuk 600 mahasiswa Indonesia program S-1.

Sebagian mahasiswa Indonesia mendapat bantuan dari pihak lain; bisa beasiswa dari lembaga filantropi Mesir, pemerintah daerah, atau dari pihak lain. Pemerintah Indonesia sendiri, apakah melalui Kemenristikdikti atau Kemenag atau LPDP, tidak menyediakan beasiswa; padahal semestinya mahasiswa Indonesia di Kairo patut mendapatkan beasiswa.

Kenyataan terakhir ini memprihatinkan. Indonesia secara ekonomi berada dalam posisi lebih baik dibandingkan Mesir—termasuk al-Azhar. Ekonomi Indonesia terus bertumbuh, sementara ekonomi Mesir masih dalam krisis karena perubahan politik dan ekonomi-sosial dramatis yang terjadi sejak 2012 yang sampai kini belum menampakkan stabilitas politik dan ekonomi.

Pemerintah Indonesia telah membangun empat gedung asrama mahasiswa yang masing-masing berlantai enam untuk dihibahkan kepada Universitas al-Azhar. Mulai dibangun sejak 2013, gedung asrama itu sudah mulai ditempati 900 mahasiswa (50:50 antara mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Mesir) sejak tahun akademik 2017/18.

Akan tetapi, pihak al-Azhar keberatan memikul biaya pemeliharaan dan konsumsi mahasiswa Indonesia. Mereka berharap Indonesia dapat membantu pembiayaan, yang sayang sampai sekarang belum mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia.

Pada pihak lain, Pemerintah Indonesia berkali-kali mengemukakan harapan pada al-Azhar untuk kian memperkuat jalinan hubungan dalam konsolidasi dan penguatan Islam wasathiyah. Berhadapan dengan tantangan ekstremisme dan radikalisme di Timur Tengah yang juga menyebar ke Indonesia, al-Azhar berkali-kali menegaskan tekadnya untuk penguatan kembali Islam wasathiyah.

Dalam konteks itu, peran alumni Kairo, baik jebolan Universitas al-Azhar maupun perguruan tinggi lain di Mesir, menjadi sangat krusial. Karena itu, Multaqa Alumni al-Azhar Cabang Indonesia yang diselenggarakan di Islamic Centre Mataram, NTB (18-20/10/17), sangat tepat waktu. Sejumlah rekomendasi menyangkut penguatan Islam wasathiyah di Indonesia perlu tindak lanjut yang kontinu untuk aktualisasi Islam rahmatan lil ‘alamin. []

REPUBLIKA, 16 November 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar