Senin, 27 November 2017

Satrawi: Pertaruhan Politik Arab Saudi



Pertaruhan Politik Arab Saudi
Oleh: Hasibullah Satrawi

KABAR penangkapan 11 pa­ngeran Arab Saudi be­ser­ta puluhan menteri dan ma­n­tan menteri beberapa wak­tu lalu (04/11) cukup me­nge­jut­kan banyak pihak, tak ha­nya di da­lam negeri, melainkan ­ju­ga di luar negeri, termasuk di ka­lang­an masyarakat Indonesia.

Bagi masyarakat yang ber­ada di Arab Saudi, berita pe­nang­kapan ini berada di antara ke­tertarikan dan ketakutan. Men­jadi ketertarikan karena per­soalan ini melibatkan ke­luarg­a kerajaan yang selama ini ti­dak terlalu banyak dibahas, se­ba­gaimana disampaikan di atas. Men­jadi ketakutan karena bu­kan tidak mungkin peristiwa ini me­nimbulkan hal-hal yang le­bih besar lagi dan berdampak lang­sung terhadap kehidupan m­asyarakat luas.

Di sisi lain, Arab Saudi be­la­kang­an mendapat perhatian cu­­kup besar dari masyarakat in­ter­nasional karena peran dan ke­terlibatannya dalam se­jum­lah peristiwa politik, baik di ting­kat regional Timur Tengah mau­­pun glo­bal. Khususnya se­te­lah Du­nia Arab dilanda Arab Spring  pa­da akhir 2010 dan meng­han­cur­kan banyak negara yang se­be­lum­nya cukup ber­kuasa di Ti­mur Tengah seperti Me­sir, Su­riah, Yaman, Tunisia, Libya.

Dalam persoalan konflik in­ter­nal di Suriah, contohnya, Arab Saudi sejak awal me­li­bat­kan diri dengan mendukung pe­nuh kelompok pemberontak dan melawan rezim Bashar al-As­sad secara terang-terangan. Ber­sama negara-negara lain se­per­ti Turki, negara-negara Arab Te­luk, Eropa dan Amerika Se­ri­kat, Arab Saudi terus menekan re­zim Assad untuk me­mu­nd­ur­kan diri walaupun tidak ada tanda-tanda keberhasilan sa­m­pai hari ini.

Begitu pun dengan ke­ter­li­bat­an Arab Saudi dalam Arab Spring di Yaman. Bersama negara-negara pendukungnya, Arab Saudi berhasil memaksa Ali Abdullah Saleh untuk me­mun­durkan diri dari jabat­an­nya sebagai presiden Yaman saat itu dan digantikan dengan Man­sor Hadi. Begitu juga dengan hu­bung­an negeri kaya minyak itu de­ngan Iran. Selama ini Arab Saudi me­n­uduh Iran terus berupaya me­nebar pengaruh di dunia Arab dengan cara melibatkan di­r­i dalam sejumlah persoalan in­ternal yang dihadapi negara-ne­gara Arab seperti krisis di Su­r­iah, persoalan Palestina, tata ke­lola politik dan pem­er­intah­an di Lebanon hingga akhirnya Arab Saudi memutus hubungan d­i­plomatik dengan Iran pada 2016 lalu.

Bahkan Qatar yang se­lama ini menjadi salah satu part­ner utama di Negara-ne­ga­ra Arab Teluk (GCC) diboikot se­ca­ra total, baik laut, udara ma­u­pun darat. Salah satu alasannya ada­lah, selain karena tuduhan men­danai organisasi-orga­ni­sa­si ataupun tokoh-tokoh teroris, ju­ga karena Qatar dianggap ber­hu­bungan dekat dengan Iran.

Pada saat hampir ber­samaan dengan terjadinya pe­nangkapan terhadap para pa­nge­ran, para menteri dan m­a­n­tan menteri di atas (04/11), ada se­buah peristiwa besar lain yang juga diperkirakan me­li­bat­kan peran dan pengaruh dari Arab Saudi, yaitu mundurnya Per­dana Menteri Lebanon se­ca­ra sepihak, Saad Hariri. Peng­umum­an mundurnya Hariri se­ba­gai perdana menteri Lebanon di­lakukan dan disiarkan secara lang­sung dari Arab Saudi.

Saad Hariri adalah relasi de­k­at Arab Saudi di Lebanon, khu­sus­nya dalam menghadapi lawan-lawan politiknya, ter­uta­ma Hizbullah yang merupakan ke­panjangan tangan Iran di Le­ba­non. Dalam pengumuman si­kap pemunduran dirinya, Ha­ri­ri secara eksplisit menuduh Iran men­jadi salah satu penyebab dari sikap politik yang diam­bil­nya tersebut. Iran dituduh ter­la­lu campur tangan dalam per­soal­an politik internal Le­ba­non. Lawan-lawan politik Ha­ri­ri di Lebanon pun, khususnya Hi­z­bullah, menuduh sikap po­li­tik Hariri tersebut karena di­pe­n­g­aruhi Arab Saudi. Bahkan s­e­ba­g­ian elite di Lebanon men­u­duh Arab Saudi sengaja ”me­na­han” Saad Hariri hingga tidak kun­jung kembali ke Lebanon.

Pertaruhan Politik

Dalam situasi seperti ini, apa yang dilakukan Arab Saudi de­ngan menangkap para putra mahkota bersama puluhan men­­­­teri dan bekas menteri me­r­u­pakan sebuah pertaruhan po­li­tik yang sangat besar dan di­la­ku­kan dengan segala ”ke­te­nang­an hati”. Disebut per­ta­ruh­an besar karena penang­kap­an itu dilakukan di tengah pel­ba­gai macam peran dan in­ter­ven­si politik maupun militer yang coba dilakukan Arab Saudi ter­hadap negara-negara Arab lain, sebagaimana telah di­sam­pai­kan di atas. Apalagi sejauh ini pe­ran dan intervensi politik mau­pun militer yang dilakukan Arab Saudi belum me­nun­juk­kan tanda-tanda keberhasilan.

Dengan kata lain, secara eks­ter­nal, kebijakan Arab Saudi di se­jumlah negara Arab lain dan di Ti­mur Tengah selama ini belum mem­buahkan hasil yang di­ha­ra­p­kan. Sebaliknya Arab Saudi justru semakin banyak punya mu­suh yang menargetkan ne­ga­ra tersebut, baik secara lang­sung atau tidak langsung.

Apa yang dilakukan Qatar bi­sa dijadikan sebagai salah satu con­toh dari yang telah disam­pai­kan di atas. Selama ini Qatar, Arab Saudi, dan sejumlah ne­ga­ra Arab Teluk lain berada dalam ke­kompakan, khususnya dalam meng­hadapi sejumlah tan­tang­an di dunia Arab pasca-Arab Spring, hingga akhirnya Arab Sau­di bersama sebagian negara Arab Teluk memboikot Qatar. Se­jak saat itu Qatar berada da­lam posisi yang berseberangan de­ngan Arab Saudi dan negara-ne­gara yang mendukungnya, ter­masuk melalui saluran me­dia yang dimiliki seperti ja­ring­an media Al-Jazeera.

Di saat media-media yang ber­afiliasi ke Arab Saudi (seperti su­­rat kabar harian As-Sharq Al-Aw­sat) memberitakan bahwa pe­nangkapan para pangeran ber­sama sejumlah menteri dan man­tan menteri dalam rangka pem­berantasan korupsi se­ba­gai salah satu visi Arab Saudi 2030, media-media yang ber­afi­lia­si ke Qatar (seperti jaringan me­dia Al-Jazeera) justru me­ngam­panyekan sebaliknya; bah­wa yang dilakukan Arab Sau­­di tak lebih dari sekadar po­li­t­ik menyingkirkan lawan-la­wan politik. Di saat media-me­dia pro-Arab Saudi mem­b­er­i­ta­kan kebijakan tersebut untuk ke­baikan ekonomi Arab Saudi ke depan, media-media pro-Qa­tar justru memberitakan seb­a­lik­­nya. Dan begitu seterusnya.

Meski demikian Arab Saudi tam­pak tetap berusaha tampil te­nang menghadapi realitas se­ka­ligus tantangan yang ada se­per­ti di atas. Inilah yang penulis mak­sud dengan istilah bahwa Arab Saudi melakukan semua per­taruhan politik ini dengan se­ga­la ketenangan jiwa.

Sejatinya, ketika banyak tan­tangan datang dari luar, so­li­di­tas internal perlu diperkuat kem­bali hingga pelbagai macam se­rangan dari luar tidak bisa men­jebol dan mengacak-acak kon­d­isi internal.

Tampaknya hal itu tidak ber­la­ku bagi Arab Saudi, minimal ­da­lam situasi politik seperti se­ka­rang. Sebaliknya Arab Saudi jus­tru menangkap para p­a­nge­ran dan para menteri maupun be­kas men­teri yang sejatinya ada­lah ke­kuat­an internal me­re­ka hingga me­nambah peta mu­suh dan jum­lah persoalan yang ada.

Apakah semua pertaruhan p­o­litik ini berangkat dari kal­ku­la­si matang yang dilakukan Arab Saudi? Atau semua ini ada­lah bentuk keterdesakan dan ira­sionalitas politik yang di­la­ku­kan Raja Salman bersama pu­tra mahkotanya? Inilah yang me­narik untuk diikuti se­lan­jut­nya. Hanya Allah yang tahu pas­ti, wallahu a’lam biss a wab. []

KORAN SINDO, 24 November 2017 - 07:15 WIB
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar