Intrik
Politik di Kerajaan Arab Saudi
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Buat
kawan-kawan yang tekun membaca serial tulisan sejarah politik Islam yang saya
posting (di halaman Facebook Nadirsyah Hosen, red) secara rutin,
tentu sudah bisa melihat bagaimana pattern pertarungan antar-keluarga dalam
merebut kekuasaan baik di masa Dinasti Umayyah dan juga Abbasiyah.
Kelihatannya
sejarah akan berulang di saat perpindahan kekuasaan diperebutkan antar keluarga
sendiri di kerajaan Arab Saudi saat ini. Kita akan melihat dengan
berdebar-debar bagaimana Putra Mahkota sedang menyiapkan jalan yang mulus untuk
menjadi Raja, sementara para pangeran lainnya tengah menunggu manuver
berikutnya.
Arab
Saudi dibangun bukan atas dasar sistem khulafa al-rasyidin. Arab Saudi
mencontoh model kerajaan yang dilakukan oleh khalifah Mu’awiyah dan
keturunannya. Maka pemimpin dipilih berdasarkan garis keturunan, bukan atas
dasar pilihan rakyat.
Perbedaannya,
Arab Saudi selalu dipimpin oleh keturunan Ibn al-Saud. Makanya dari namanya
saja, Arab Saudi, itu merupakan kerajaannya Saud dan keluarganya.
Pengganti
Saud diambil dari anaknya secara bergantian. Model semacam ini lumayan sukses
mencegah pertumpahan darah antar pangeran sampai tiba kelak anak-anak Abdul
Azis as-Saud yang jumlahnya banyak banget itu sudah habis atau sudah tua dan
tidak mampu memimpin lagi.
Raja
Salman adalah anak ke-25 dan berkuasa saat berusia 79 tahun sejak 2015.
Seharusnya sepeninggalnya kelak yang naik adalah saudaranya, yaitu Pangeran
Muqrin (saat ini 72 tahun). Tapi dia hanya menjadi putra mahkota 4 bulan dan
digantikan oleh Pangeran Muhammad bin Nayef (58 tahun).
Diangkatnya
Pangeran Muhammad bin Nayef semula dianggap merupakan penanda era baru dalam
suksesi di Arab Saudi. Ini karena beliau bukan anak Ibn Saud, tapi cucu.
Ayahnya Pangeran Nayef as-Saud sebelumnya merupakan putra mahkota di masa
kepemimpinan Raja Abdullah. Tapi Pangeran Nayef wafat lebih dulu ketimbang Raja
Abdullah. Maka Pangeran Salman yang menjadi putra mahkota dan kemudian
menggantikan Raja Abdullah.
Diangkatnya
Pangeran Muhammad bin Nayef seolah merupakan “kompensasi” terhadap wafatnya ayahandanya
yang kemudian gagal menjadi Raja.
Perlu
disampaikan pula di kalangan Bani Saud ini juga ada fraksi atau group khusus.
Dikenal dengan sebutan 7 Sudairi. Ini adalah tujuh anak Ibn Saud dari istrinya
yang bernama Hussa Sudairi. Raja Fahd (1921-2005) adalah pemuka kelompok ini.
Raja Salman dan Pangeran Nayef juga dari kelompok ini. Namun bukan berarti
fraksi ini tidak pecah. Pangeran Ahmad, putra ibn Saud yang ke-31, yang paling
junior dari kelompok ini (74 tahun) dkeluarkan dari jalur suksesi. Peranannya
diganti oleh Pangeran Muqrin, yang sudah saya singgung di atas.
Muqrin
pun ternyata dicopot. Lantas Muhammad bin Nayef naik. Tapi hanya dua tahun
menjadi Putra Mahkota, Nayef juga dicopot. Lantas siapa yang menggantikan? Nah
ini yang membuat percaturan politik semakin seru: yang naik sebagai putra
mahkota adalah Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) alias putra Raja Salman
sendiri.
Belum
pernah sebelumnya Raja Arab Saudi selain Ibn Saud menunjuk anaknya sendiri
sebagai calon penggantinya. Salman mengubah ini. Sehingga kalau rencana ini
berjalan mulus maka dinasti Saud akan diteruskan oleh Dinasti Salman.
Naiknya
MBS ini telah menyingkirkan Pangeran Muqrin dan Pangeran Nayef. MBS maish
sangat muda, baru berusia 32 tahun. MBS adalah wajah Arab Saudi masa depan.
Tantangan
buat MBS juga besar. Maka dia segera mengonsolidasikan kekuasaannya. Baru-baru
ini 49 tokoh berpengaruh, termasuk 11 pangeran, ditangkap atas tuduhan korupsi.
Helikopter yang membawa Pangeran Mansour, putra dari Muqrin, yang berusia
sekitar 42 tahun dan disebut-sebut saingat berat MBS, kecelakaan dan menewaskan
Mansour bin Muqrin. Banyak yang menghubungkan kecelakaan ini dengan perebutan
kekuasaan. Entahlah....
Raja
Salman dan Pangeran MBS sendiri didukung Amerika dan Israel. Bagaimana suara
para ulama di sana? Ternyata MBS juga menangkapi para ulama yang konservatif.
MBS berperang dengan Yaman, dan juga bersitegang dengan Qatar.
Aset
pangeran yang ditangkap termasuk Pangeran al-Waleed bin Talal, salah satu orang
terkaya di dunia, disita oleh Kerajaan. Arab Saudi memang tengah dilanda
kesulitan ekonomi belakangan ini akibat harga minyak yang turun dan perang dengan
Yaman.
Segala
cara kini dilakukan MBS untuk melapangkan jalannya menuju kursi kekuasaan.
Bahkan dia menjanjikan mengembalikan Arab Saudi ke jalur Islam moderat.
Kelihatannya
bukan Islam moderat yang akan MBS tuju. Ini bukan pertarungan antara
konservatif dan moderat. Karena kalau serius mau mengembangkan Islam moderat
maka Arab Saudi harus membuang ideologi Wahabi mereka, dan juga menetapkan
demokrasi bukan lagi sistem kerajaan. Arab Saudi harus mau belajar dari
Indonesia. Mungkinkah itu?
Yang saya
lihat saat ini adalah pertarungan antara kubu konservatif dan kubu pragmatis di
Arab Saudi. Mana yang akan menang?
Akankah
sejarah politik Islam masa silam berulang di abad modern ini? Perebutan
kekuasaan antar keluarga, politisasi ayat dan hadits, plus peperangan dan
pertumpahan darah? Kita menunggu episode berikutnya dari kerajaan Arab Saudi.
Siapkan
kopi anda —kali ini bergelas-gelas kopi, karena lakon ini masih panjang. Dan
jangan lupa selipkan doa agar perdamaian selalu tercipta, dimanapun itu,
termasuk di Arab Saudi. []
NU
ONLINE, 13 November 2017
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar