Pembubaran Pengajian Gus Dur
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Di masa Orba, kalau saya mau baca puisi di depan publik, harus
minta izin minimal ke Polres, menyerahkan puisi-puisi yang akan saya baca untuk
diperiksa dan ditentukan mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak. Atau ada
satu dua puisi boleh dibaca, kecuali kalimat-kalimat atau kata yang dicoret
oleh Polisi.
Demikian juga acara-acara lain: seminar, simposium, pertunjukan
musik, juga pengajian. Kepolisian mengawasi, mengizinkan atau melarang teks,
kalimat, kata dan huruf. Kalau penampilnya tingkat nasional, pemeriksaan
dilakukan oleh Polda, atau bahkan Mabes Polri. Kalau tingkat “bahaya”-nya
ekstra, TNI diperbantukan untuk mengontrol.
Saya diminta berceramah bersama Gus Dur di Jember, dilarang. Tapi
spanduk tetap tersebar di jalan raya dan berbagai wilayah Jember: “Selamat
Datang di Jember KH Abdurahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib”. Dan acara tetap
berlangsung. Karena pihak yang berwajib agak lupa-lupa bahwa KH Abdurahman
Wahid adalah Gus Dur, dan Emha Ainun Nadjib adalah Cak Nun.
Tidak mengherankan. Pasukan Banser sendiri ketika Presiden Gus Dur
ke Malang, para Banser berkoordinasi di antara mereka: “Laporan, nDan. Presiden
Abdul Rachman Saleh telah mendarat di Bandara Abdurrahman Wahid”. Kata memang
terkadang selip di lidah dan bibir. Gus Dur mendapat jaminan dari pengusaha
Madura: “Jangan kuwatir Gus, saya bikinkan gedung khusus untuk kantor PKB.
Semua fasilitasnya lengkap, cuma Eternit-nya yang saya bingung pengadaannya…”.
Maksudnya Internet.
Pada suatu hari Pesantren Tambakberas Jombang mengadakan seminar
dengan pembicara Gus Dur, Prof Dr Nurcholish Madjid dan Bu Megawati. Mestinya
dengan saya juga, cuma saya sedang puasa bicara di depan publik, jadi saya
hadir saja sebagai pendengar. Karena di samping Bu Megawati pembicaranya adalah
tokoh utama Islam, Gus Dur dan Cak Nur, maka acara ini bersuasana pengajian.
Ketika pembicara pertama, Cak Nurcholish Madjid di podium, di luar
gedung tiba-tiba terdengar teriakan massal dan keras “Allahu Akbar”
berulang-ulang. Saya lari keluar. Ternyata anak-anak kita PMII, Ansor dan
Banser bereaksi dan bikin pagar betis untuk menghalangi dua rombongan, pasukan
Kodim dan Polres Jombang, jangan sampai mendekat ke gedung seminar.
Saya loncat dan menyongsong Komandan tentara dan Polisi. Dengan
merendahkan diri dan penuh sopan santun, saya ajak mereka ke bawah pohon di
depan pintu masuk Pesantren dari jalan raya. “Supaya anak-anak ndak kemriyek
Pak…”, sambil saya bisikkan pertanyaan: “Sampeyan diperintah untuk membubarkan
acara Seminar ini ya?”. Komandan meng-iya-kan. Ada suratnya? Ada, katanya.
Lantas saya usul: “Sampeyan dan pasukan tolong tunggu di bawah
pohon ini sebentaaaar saja. Komandan saya antar masuk seminar dan saya dampingi
untuk membacakan Surat Pembubaran Acara. Yang penting Sampeyan laksanakan
perintah sehingga beres dengan Pak Dandim”.
Demikianlah. Kami masuk ruang Seminar. Saya interupsi, mohon waktu
beberapa menit. Kemudian Komandan saya ajak naik podium dan membacakan surat
pembubaran. Semua terpana dan bingung. Saya ambil mikrofon: “Bapak-bapak saya
mohon acara break beberapa menit. Perkenankan saya mengantar keluar Pak
Komandan dan mencoba bicara kepada anak-anak kita di luar agar jangan
marah-marah dulu”.
Kami keluar dan saya membisikkan itu kepada anak-anak muda yang
progresif revolusioner itu agar tenang sebentar. Pokoknya lima sampai sepuluh
menit tolong jangan lakukan apa-apa dulu. Kemudian saya antar Komandan kembali
ke pasukannya dan saya bisikkan: “Tolong tunggu saya beberapa menit saja, saya
harus kembali ke ruang seminar, mudah-mudahan tidak ada keributan. Yang penting
Sampeyan sudah melaksanakan instruksi dengan baik…”
Saya kembali ke ruang Seminar yang gemeremang dan agak bingung
suasananya. Saya naik podium. “Bapak-Bapak Ibu-Ibu, acara Seminar kita telah
dibubarkan. Jadi marilah kita bikin acara yang baru…”
Saya menengok ke Gus Dur: “Gus, tolong kasih nama acara kita yang
baru ini, apa ya?”. Gus Dur dengan kecerdasannya spontan menjawab: “Mauidloh
Hasanah, Cak”. Setuju. Itulah hari lahirnya istilah ‘Mauidloh Hasanah’.
Saya umumkan: “Saudara-saudara marilah kita mulai acara Mauidloh
Hasanah ini dengan bacaan Basmalah”. Semua membaca bismillahirrohmanirrohim.
Kemudian saya teruskan: “Saya persilakan pembicara yang pertama, Bapak
Nurcholish Madjid”.
Cak Nur naik dan meneruskan pembicaraannya yang tadi terpotong
oleh pembubaran acara. Kemudian segera saya lari keluar menuju bawah pohon di
mana saya berjanji untuk menemui Komandan kembali. Beliau dan pasukannya saya
ajak mengobrol. “Sampeyan sudah bathi berapa, Ndan?”. Maksudnya sudah punya
anak berapa. Mau tidak mau dia menjawab: “Dua Cak”. “Lanang? Wedok?”.
“Alhamdulillah satu laki-laki, adiknya perempuan”. “Sekolah di mana?”. “Aslinya
Sampeyan dari mana? Kalau Ibu? Sebelum tugas di Jombang dulu tugas di mana?”…
Pokoknya saya taburi beliau dengan pertanyaan-pertanyaan persaudaraan,
kemanusiaan dan kasih sayang.
Yogya, 6 November 2017
[]
Emha Ainun Nadjib | Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar