Jumat, 24 November 2017

Berebut Sarung Lebaran



Berebut Sarung Lebaran

Aku masih ingat ketika masih kecil dulu bagaimana sedihnya hati ibuku ketika hari-hari di bulan Puasa makin dekat dengan Lebaran. Tradisi konsumtif masyarakat untuk mengenakan pakaian serba baru di hari Lebaran membuat ibuku kadang harus meneteskan air mata. "Oh Tuhan... kalau saja Lebaran tak pernah ada."

Ibuku memang sering merasa takut dengan Lebaran. Masalahnya, ibuku anaknya tidak cuma satu, dua, tiga, empat atau lima tapi lebih dari itu. Semua anaknya minta dibelikan pakaian baru untuk merayakan Lebaran. Sementara kemampuan untuk mewujudkan permintaan itu sangat terbatas. Ibuku sering mencoba menasihati kami dengan mengatakan bahwa Lebaran tidak harus dirayakan dengan pakaian baru.

Kata Ibuku, "Yang harus baru adalah jiwa atau semangat kita untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah sebab puasa memang dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada-Nya."

Sebagai seorang anak yang masih kanak-kanak pada waktu itu, nasihat seperti itu sulit kami terima sebab sudah menjadi kebiasaan umum Lebaran dirayakan dengan pakain serba baru. Bagaimana kami tidak menuntut baju baru ketika anak-anak seusia kami umumnya dibelikan pakaian serba baru oleh orang tua masing-masing.

Suatu hari puluhan tahun yang lalu, seorang saudaraku kirim selembar sarung dewasa baru ke rumahku beberapa hari menjelang Lebaran. Aku dan abangku berebut dan sama-sama mengaku paling berhak atas sarung itu dengan argumentasi masing-masing. Ibuku mencoba menengahi dengan menyarankan supaya sarung itu bisa dipakai bergantian.

Saran itu kami abaikan dan kami terus berebut dengan tarik-menarik sarung itu sambil baku hantam. Ibuku mencoba melerai tapi kami tak menghiraukan. Ditariknya sarung itu oleh ibuku dan lepaslah dari tangan kami.

"Bagaimana kalau sarung ini aku potong jadi dua bagian yang sama, bagian atas dan bagian bawah?" Tanya Ibuku menawarkan sebuah solusi.

Setelah berpikir sejenak, aku dan abangku menyetujui tawaran itu.

"Nggih," jawab kami serentak.

"Tenan?!"

"Nggih," jawab kami sekali lagi.

Ibuku kemudian mengambil sebuah gunting. Kedua matanya tiba-tiba memerah. Lalu diarahkannya mulut gunting itu ke sisi samping sarung bagian tengah.

"Kreg....kreg...kreg...", begitulah suara gunting itu yang hingga kini masih terngiang-ngiang di telingaku. Setiap gerakannya oleh jari-jari tangan kanan ibuku diikuti dengan tetes-tetes air matanya.

Pada awalnya gerakan itu pelan saja. Begitupun air mata ibuku pada mulanya hanya menitik setetes demi setetes. Tapi kemudian laju gunting makin cepat seiring derasnya air mata ibuku yang jatuh bagai air hujan membasahi bagian tengah sarung itu.

Sarung itu akhirnya terpotong menjadi dua, bagian atas dan bagian bawah. Air mata ibuku pun mereda. Aku mendapat bagian bawah, abangku bagian atas.

Kami sama-sama puas dengan solusi ibuku meskipun sedikit problematik. Sarung dewasa yang kini telah menjadi dua sarung anak-anak itu memang tingginya ideal untuk ukuran anak-anak, namun terlalu lebar untuk kami. []

Muhammad Ishom, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar