Memahami
Asbabun Nuzul Ayat Al-Qur'an
Al-Qur’an tidak turun
dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama
dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini
berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas --walaupun tidak
dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang
berpaham bahwa "Al-Qur'an qadim"-- tetapi paling tidak ia
menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada
dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut
mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di
bumi itu.
Dalam kaitannya
dengan asbabun nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum
al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya
yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab
turunnya).
Sedangkan sebagian
kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-'ibrah bi khushush
al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang
menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya
dipertanyakan: "Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika
pandangan minoritas di atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian,
maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:
Seperti diketahui
setiap asbabun nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu.
Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak
terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.
Sayang, selama ini
pandangan menyangkut asbabun nuzul dan pemahaman ayat sering kali hanya
menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya
--setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya-- berdasarkan kaidah yang
dianut oleh mayoritas tersebut.
Para penganut paham
al-'ibrah bi khushush al-sabab, menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk
menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbabun nuzul itu,
tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.
(Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet.
III, 1980 Jilid I h. 125)
Pandangan mereka ini,
hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu, karena
kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti
dikemukakan di atas, ayat Al-Qur’an tidak turun dalam masyarakat hampa budaya
dan bahwa "kenyataan mendahului/bersamaan dengan turunnya ayat"?
Analogi yang
dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika
formal (al-manthiq, al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha'
kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata
al-mashalih al-mursalah dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama,
sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat." (Yusuf Kamil,
Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah, Mesir, 1985, h. 22)
Qiyas yang selama ini
dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i,
yaitu Ilhaq far'i bi ashl li ittihad al-'illah, yang pada hakikatnya tidak
merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan, tetapi sekadar membahas fakta
yang ada untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu
dengan apa yang pernah ada. (Ridhwan Al-Sayyid, Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi
Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal, Dar Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90)
Pengertian asbabun
nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada
masa turunnya Al-Qur'an dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah
yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian
qiyas. ***
Disunting dari M.
Quraish Shihab dalam buku karyanya ”Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1999).
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar