Impian Gus Dur
Membangun Poros China-India
Sebagai kepala negara
kala itu, KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) memiliki kecerdasan membaca peta
geo-politik dan geo-strategis internasional. Langkah-langkah Gus Dur tidak
mudah ditebak. Manuver Gus Dur terkadang membingungkan lawan politik maupun
analis. Namun, gerak cepat Gus Dur sangat jitu.
Langkah politik Gus
Dur yang tidak mudah dibaca ini, sering dianggap kontroversial. Padahal, Gus
Dur memiliki perhitungan sangat matang dalam setiap gerak politiknya. Gus Dur
juga menganalisa dengan beragam pengalaman serta endapan bacaan yang dikuasai.
Membaca peta ekonomi
dunia, Gus Dur melihat geliat pertumbuhan China dan India yang massif. Kedua
negara ini, memiliki penduduk besar dengan sumber daya yang terus meningkat
kualitasnya. Peneliti dan dosen dari China dan India banyak yang berkiprah
sebagai profesor di beberapa kampus bergengsi di Amerika dan Eropa. Selain itu,
pasar domestik yang terus tumbuh dan demografi yang sedemikian besar, menjadi
peluang ekonomi serta kekuatan politik.
Gus Dur konsisten
dengan prinsip ekonominya, ia mendapat tekanan keras dari IMF. Meski demikian,
Gus Dur tidak patah arang, ia tetap konsisten dengan gagasan dan kebijakan yang
pro-rakyat. Gus Dur melawan IMF dengan membangun poros Jakarta-Beijing -New
Delhi. Membangun poros ini, Gus Dur dengan sadar memainkan jurus diplomasi
untuk merebut pasar dunia.
Selain itu, Gus Dur
tidak bersedia menjual aset-aset potensial, serta perusahaan yang membawa
bendera Indonesia. Semisal: Texmaco, yang memiliki utang segunung. Gus Dur
tidak bersedia melikuidasi dan menjualnya kepada investor asing. Gus Dur ingin
agar perusahaan-perusahaan dapat mengibarkan bendera Indonesia, dengan kekuatan
ekonomi dan sumber daya.
Hingga Gus Dur
dimakzulkan DPR, IMF tidak bersedia mencairkan pinjaman ke kabinet persatuan
Gus Dur-Mega. Gus Dur memang sejak awal tidak ingin utang Indonesia semakin
menumpuk, hingga tidak memiliki kebebasan politik dan kedaulatan diplomasi di
dunia internasional. Menumpuk utang, hanya akan menjadikan Indonesia semakin
terpuruk.
Sebaliknya, pada era
kepemimpinan Megawati, IMF dengan mudah mencairkan pinjaman. Apakah pinjaman
ini gratis? Tentu saja tidak. IMF meminta kompensasi berupa kepatuhan, dalam
program-program penjualan aset negara. Satu demi satu, aset-aset negara yang
potensial berpindah ke tangan penguasa dan investor asing (Ishak Rafick,
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, 2008).
Politik luar negeri
Indonesia, pada masa Gus Dur berpijak pada tiga prinsip. Melalui Menteri Luar
Negeri Alwi Shihab, Gus Dur mengintrodusir tiga elemen kunci politik luar
negeri. Pertama, menjaga jarak dengan semua negara. Kedua, hidup bertetangga
yang baik, dan ketiga, "kebajikan universal". Tiga poin inilah yang
menjadi panduan diplomasi politik internasional Indonesia, pada masa
pemerintahan Gus Dur (Budiarto Shambazy, Politik Luar Negeri Gus Dur, 2010).
Di tengah situasi
politik yang memanas, Gus Dur menggelar konferensi internasional yang dihadiri
belasan kepala negara. Akhir Mei 2001, diselenggarakan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) G-15, di Jakarta Convention Center. G-15 merupakan forum informal
negara-negara sedang berkembang dengan tujuan melakuan dialog-dialog dengan
negara maju (G-8). Penyebutan G-15 merujuk pada jumlah negara yang bergabung
pada awalnya. Namun, di kemudian hari beberapa negara berkembang ikut serta.
Di sesela KTT G-15
itu, diselenggarakan pula Indonesian International Telecommunication and
Information Technology (IITELMIT). Memperindag Luhut Binsar Pandjaitan
mempersiapkan agenda ini, sekaligus membuka acara. IITLEMIT mempertemukan
sejumlah perusahaan IT, serta menghadirkan menteri-menteri di bidang IT anggota
G-15. Jelas, Gus Dur memiliki proyeksi pengembangan teknologi untuk menopang
ekonomi negara-negara berkembang.
Gus Dur juga
mengundang menteri IT dari India dan China ke istana negara untuk ngobrol.
Seperti biasa, Gus Dur menyapa ramah tamu-tamunya dan menyajikan humor-humor
segar yang membuat tamunya terpingkal-pingkal. Setelah akrab, Gus Dur melempar
diskusi serius, menyodorkan impiannya, sebagaimana dikisahkan Adhie M Massardi
(Gus Dur dan Poros Impian, 2014).
"Sesungguhnya,
kita bertiga ini mewakili tiga negara yang kalau ditotal penduduknya, hampir
setengah penghuni dunia," ungkap Gus Dur. Sontak saja, pejabat dari China
dan India terperanjat.
"Kalau kita
kompak, kita bisa menguasai paling tidak setengah pasar dunia atas produk IT
kita. Jadi, kalau RRC yang kuat di sektor hardware dan India yang canggih di
bidang software, serta Indonesia dapat membantu di kedua sektor itu bersatu,
kita bisa melahirkan produk IT yang berkualitas dan menguasai pasar
dunia," terang Gus Dur.
Gus Dur telah lama
bermimpi membangun poros Jakarta-Beijing-New Delhi. Dalam bayangan Gus Dur,
poros inilah yang mampu menahan gempuran serta dominasi Amerika Serikat-Eropa
dalam beberapa bidang. Jika Indonesia, China dan India bersatu, maka akan
membentuk sinergi yang hebat dalam bidang politik, keamanan dan ekonomi. Impian
yang sekarang terbukti kebeneran pengaruh strategisnya. []
Munawir Aziz,
Peneliti Islam dan Kebangsaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar