Jumat, 17 November 2017

Zuhairi: Intervensi Arab Saudi di Libanon



Intervensi Arab Saudi di Libanon
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dunia dikejutkan berita pengunduran diri Perdana Menteri Libanon, Saad Al-Hariri pada 4 November lalu. Berita ini mengejutkan, karena Libanon termasuk salah satu negara yang relatif stabil secara politik jika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya yang diterpa angin musim semi.

Hal tersebut terkait dengan tercapainya kemufakatan politik di antara faksi-faksi besar dalam politik, khususnya Kristen, Sunni, dan Syiah. Libanon merupakan sebuah pengecualian dari segi komposisi warga muslim dan non-muslim. Jika di negara-negara Arab lainnya warga muslim menjadi mayoritas, di Libanon umat Kristen merupakan kelompok mayoritas. Belum lagi kelompok muslimnya tidak terkonsentrasi dalam satu mazhab atau sekte. Di antara mereka ada yang bermazhab Sunni, Syiah, dan Druzz.

Libanon menjadi bukti kuat bahwa Timur-Tengah tidak identik dengan Islam. Timur-Tengah merupakan wilayah di mana agama-agama samawi lahir dan tumbuh. Philips K Hitti dalam The History of Arabs menegaskan bahwa Arab bukan Islam. Arab adalah Tanah Air bagi agama-agama Samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), serta bumi lahirnya peradaban kemanusiaan.

Namun, sekali lagi, yang istimewa dari Libanon, karena mereka mampu mencapai kemufakatan dengan membagi rata kekuasaan, dengan komposisi sebagai berikut: Presiden dari Kristen Maronit, Perdana Menteri dari Muslim Sunni, Ketua Parlemen dari Muslim Syiah, sedangkan Wakil Perdana Menteri dan Wakil Ketua Parlemen dari Kristen Ortodoks Timur.

Meskipun demikian, bukan berarti Libanon terlepas dari konflik politik. Kekuatan politik di dalam negeri Libanon mendapatkan kekuasaan yang terbagi secara merata, tapi faktor eksternal juga sangat mempengaruhi dinamika politik di dalam negeri.

Sejak lama Arab Saudi mengontrol sepenuhnya faksi Sunni di Libanon yang secara otomatis mendapatkan jatah kekuasaan sebagai Perdana Menteri. Bahkan Arab Saudi memberikan kewarganegaraan ganda bagi Perdana Menteri Libanon dan keluarganya, sehingga ia bebas berbisnis di dua negara tersebut. Karenanya, Saad al-Hariri mempunyai bisnis dan rumah mewah di Riyadh.

Menurut Madawi al-Rasheed (2017), dari era Hussein Owayni, Riyad Solh, hingga Rafiq dan Saad al-Hariri ada hubungan yang melibatkan uang dan politik antara faksi Sunni Libanon dengan Arab Saudi. Bahkan, di antara mereka terjadi kawin-mawin di antara para elite politik Libanon dan Arab Saudi.

Kakek dari Waleed bin Talal adalah Riyad Solh yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Libanon. Ibu Waleed bin Talal adalah puteri dari Perdana Menteri Libanon itu. Dengan demikian hubungan antara Arab Saudi dengan elite politik Libanon, khususnya faksi Sunni sangatlah kuat sejak dulu hingga sekarang.

Momentum inilah yang sebenarnya ingin digunakan oleh Arab Saudi untuk menegaskan kembali pengaruhnya di Libanon. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Arab Saudi mengambil langkah untuk melakukan intervensi di Libanon. Pertama, Muhammad bin Salman sebagai putera Mahkota yang digadang-gadang akan menjadi Raja Arab Saudi ingin membuktikan kepada warganya bahwa ia ingin melanjutkan tradisi yang sudah lama berlangsung perihal kuatnya pengaruh Arab Saudi di Libanon.

Langkah ini diharapkan agar warga Arab Saudi terus mendukung setiap kebijakan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) untuk memastikan negaranya masih mempunyai pengaruh di kawasan. Kedua, Muhammad bin Salman memandang kuatnya pengaruh Iran di Libanon, khususnya faksi Hizbullah. Arab Saudi memandang, kuatnya Huothi di Yaman karena disokong penuh Hizbullah yang rudalnya sudah menjangkau perbatasan antara Yaman dan Arab Saudi di Riyadh.

Eksistensi Hizbullah di Libanon memang tidak bisa dianggap sebelah mata. Mereka terus mampu menarik simpati warga Libanon dari berbagai faksi, karena perannya yang mampu menjadikan Libanon sebagai negara yang kuat dan stabil secara politik.

Hasan Nasrullah, Pimpinan Hizbullah mengakui bahwa mereka mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Iran. Tetapi, Nasrullah memastikan bahwa Iran tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Libanon. Artinya, yang menentukan kebijakan dan masa depan Libanon adalah warga Libanon sendiri dari berbagai faksi politik dan kelompok keagamaan.

Inilah yang membedakan antara intervensi Arab Saudi dan intervensi Iran dalam politik dalam negeri Libanon. Arab Saudi terlihat terlalu jauh melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Libanon, karena Arab Saudi disebut-sebut "memaksa" Perdana Menteri Libanon, Saad al-Hariri untuk mengundurkan diri karena dianggap tidak mau melawan Hizbullah. Arab Saudi dikabarkan meminta kakak kandung Saad al-Hariri untuk menggantikan posisinya sebagai Perdana Menteri.

Tidak hanya mendesak Saad al-Hariri mundur, Arab Saudi juga mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk menggempur Hizbullah di Libanon. Konon, Arab Saudi sudah menggandeng Israel yang notabene musuh bebuyutan Hizbullah. MBS dikenal mempunyai kedekatan khusus dengan Israel, yang disokong sepenuhnya oleh Donald Trump.

Maka dari itu, intervensi Arab Saudi terhadap Libanon akan mempunyai dampak yang tidak sederhana bagi kawasan Timur-Tengah. Libanon yang selama ini stabil secara politik akhirnya menghadapi krisis yang tidak sederhana. Apalagi jika Arab Saudi betul-betul ingin menyerang Hizbullah, maka hal tersebut akan melahirkan krisis kemanusiaan yang luar biasa.

Iran pasti tidak tinggal diam melihat ulah Arab Saudi dan Israel yang disokong Amerika Serikat. Meskipun Hizbullah sendiri dikenal mempunyai kekuatan militer yang sangat kuat, karena mereka pernah mengalahkan Israel dalam pertempuran di Libanon Selatan.

Maka dari itu, MBS perlu hati-hati dalam mengambil keputusan politik yang sangat penting dan genting. Di dalam negeri ini telah mempunyai banyak musuh dari lingkaran internal pangeran. Di luar negeri ia terus memperluas musuh. Jika tidak hati-hati, keputusan untuk terlalu jauh dalam melakukan intervensi politik dalam negeri Libanon akan menjadi batu sandungan baginya untuk menjadi Raja Arab Saudi di masa mendatang. []

DETIK, 16 November 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar