Rabu, 01 November 2017

Kang Sobary: Intelektual yang Peduli dan Terlibat



Intelektual yang Peduli dan Terlibat
Oleh: Mohamad Sobary

SAYA suka mengamati alam bebas, melihat-lihat hutan dan memikirkan secara serius masa depan pepohonan. Maka, saya mendambakan agar suatu saat bisa memiliki tanah luas untuk ditanami pohon-pohon besar yang bisa membikin ligkungan kita rindang dan segar. Pohon-pohon berfungsi menarik air dari tanah”.

Inilah pikiran Dwi. Nama lengkapnya Martinus Dwi Maryanto PhD: guru besar, seniman, dan intelektual yang memiliki kepedulian yang mendalam dan ‘terlibat’ begitu dekat dengan kehidupan. Ini merupakan contoh betapa dalam komitmen-kepedulian-sosialnya. Dia merasa dirinya memanggul kewajiban untuk turut-bukan leha-leha melihat hidup dari ‘menara gading’ yang jauh-memelihara agar lingkungan kita tetap lestari: warna hijau tetap hijau, kesegaran tetap memancar dari kehijauan itu dan kita menghirup kesegaran untuk membuat tubuh dan jiwa kita segar.

Alam sehat. Manusia sehat. Alam dan manusia saling membutuhkan. Idealnya, alam dan manusia saling ‘memelihara’. Intelektual yang peduli selalu merasa siap untuk terlibat, siap turun ke lapangan dan bekerja keras, sekeras petani bekerja untuk memelihara apa yang wajib dipelihara, membikin lestari apa yang harus dilestarikan. Selain itu, ketika kita membutuhkan air bersih, maka air bersih itu akan tersedia secara melimpah-limpah, karena dari akar-akar besar pepohonan itu mengalir air segar: dia mengalir dari sumbernya di alam bebas. Sumber ini juga wajib dilestarikan.

Di tengah kehancuran lingkungan yang begitu parah, lahirnya pemikiran untuk menjaga pepohonan tetap tumbuh, dan kesegaran tetap memancarkan dirinya buat menopang kehidupan umat manusia, rasanya kita menemukan sebuah jalan keluar yang sejak lama kita cari-cari. Suara Dwi Maryanto terasa seperti sabda langit yang telah menurunkan dewa Wisnu ke bumi. Dwi Maryanto pun punya ‘sabda’ sendiri. Dalam salah satu karya seninya, yaitu sketsa, dia bertutur: ‘Kalau kau tak dapat melakukan hal-hal besar, buatlah hal-hal kecil dalam suatu cara yang agung’.

Tak ada penjelasan mengenai apa maksud kata yang ‘agung’ itu. Tapi kita menangkap dari konteks kalimat di atas, tampaknya hal-hal kecil yang ‘agung’ itu karya biasa yang lahir dari ketulusan jiwa, yang apa adanya, dan tak dibuat-buat. Dengan begitu apa yang ‘agung’ biarpun kecil dan terlalu biasa, bakal menyentuh hati. Komunikasi dari hati ke hati bisa membuat sebuah karya kecil menjadi bermakna.

Dwi Maryanto itu ‘guru’-lebih tepat maha guru-yang ucapannya punya makna filosofis, arftistik dan dalam. Kita bisa menjadikannya pelajaran. Perjalanan hidupnya sendiri mungkin cukup mencerminkan apa yang dikatakannya. Selesai menempuh program Si di ISI Yogyakarta, di bidang seni grafis, seni murni, dia memperoleh MA di bidang Fine Art di Rhode Island School of Design, USA.

Kemudian memperoleh PhD di bidang creative art, di Universitas Wolonggong, Australia. Pernah ‘mampir’ sebentar di Monash, Australia, untuk mengambil graduate diploma di bidang visual art. Pindah dari Monash ke Wolonggong karena dia merasa yang dipelajari di Wolonggong lebih sesuai dengan panggilan hatinya sebagai seniman yang giat melukis sketsa.

Kemudian kembali ke ISI Yogya, mengajar EcoArt. Isinya tawaran konsep estetik yang melibatkan kesadaran mengenai kesinambungan ekosistem. Kita tak heran bila-seperti disebut di atas-dia mendambakan suatu saat memiliki tanah luas untuk ditanami pohon-pohin. Dia juga menaruh perhatian pada pohon-pohon sebelum berteori bahwa pohon menarik air dari tanah. Perhatiannya pada pohon-pohon tampak besar. Usahanya mematangkan diri sejak S1 hingga S3 menggambarkan bahwa dia memiliki cita-cita yang sejalan dengan keahliannya. Atau, bisa saja dibalik: dia memiliki keahlian yang disesuaikan dengan cita-citanya.

Ini cita-cita orang ahli yang dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari. Dari situ tampak bahwa dia orang tekun dan mencoba menjelajah bidang-bidang keilmuan yang berbeda utuk merangkumnya menjadi himpunan disiplin ilmu yang saling menunjang. Dia punya wawasan jelas dalam pengembangan karir akademiknya. Bidang studi yang ditekuninya sejak S1 hingga S3 hampir tak berhubungan satu dengan lainnya. Juga ketika menulis buku. Dia menulis ‘Art and life Force’ in a quantum perspective. Kali ini ada hubungan sedikit dengan mata kuliah yang diasuhnya, EcoArt.

Dia menulis, dan mengajarkan apa yang ditulisnya. Atau, bisa saja dirumuskan dengan cara lain: dia lama mengajarkan suatu disiplin ilmu, kemudian menulis buku yang berhubungan dengan apa yang dihayatinya secara sistematik dan mendalam. Buku ini ditulis pula dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Mandarin. Target pembacanya bisa begitu luas. Buku ini memang dimaksudkan untuk menjadi bacaan mahasiswa dan masyarakat umum. Pembaca buku ini disuguhi pemikiran mengenai dualitas quantum. Bahasa harian kita menyebutnya hidup serba dua.

Ada siang ada malam, ada tidur ada bangun, ada laki-laki ada perempuan. Tapi di buku ini kita bicara materi dan yang bukan materi: dua potensi yang berubah setiap saat. Dalam perubahan itu keduanya saling melengkapi menuju proses membentuk dirinya.

Dengan kata lain buku ini bicara mengenai dua esensi yang sama bekerja saling melengkapi menuju proses untuk ‘menjadi’. Ini disebut ‘pandangan kuantum’. Dunia seni pun dilihat dalam ‘quantum view’, dengan cara pandang serba dua tadi. Kemudian disambung dengan wawasan mengenai observasi yang begitu penting dan menentukan. Observasi membuat sebuah fenomena menjadi ada. Sebuah lukisan, yang sudah mewujud itu, seolah baru ada sesudah diamati.

Tiap fenomena-apapun wujud dan esensinyanya-baru ada sesudah diobservasi atau diamati. Pengamatlah yang ‘menemukan’ benda yang sebenarnya sudah ada itu. Benda yang sudah ada-seolah baru ada ketika kita mengamatinya dan pengamat memberinya kategori ‘in’ dan ‘itu’ atau masuk aliran ‘begini’ atau ‘begitu’.

Sebuah pengamatan mendalam, cermat, dan teliti akan membuat suatu karya menjadi jauh lebih kompleks, sekaligus menjadi lebih ‘absurd’. Dan kemudian kita tahu, realitas itu-benda seni tadi-memiliki makna yang jauh melebihi batas-batas makna yang sudah ‘dibawa’ sebelumnya. Kemudian kita bicara bahwa seni dan metaphor itu dekat. Dari sini kemudian menyusullah penggunaan metafor atau ungkapan metaforik.

Dalam metaphor dua benda atau lebih dijadikan satu, dirakit, atau dikombinasikan untuk mengiaskan permasalahan baru pula. Seni tanpa metaphor bukan seni. Inti seni metaphor itu. Lalu soal rasa. Seni dekat dengan rasa. Rasa hakekat sesuatu, esensi segala sesuatu.Seni bisa disebut ilmu rasa. Melalui penyangatan seni menjadi hakekat sesuatu tadi. Penyangatan dilakukan di dalam rasa.

Semua bidang seni menemui penyangatan ini. Seni yang sukar dipahami bisa dirasakan. Dalam seni, rasa menempati kedudukan istimewa. Kemudian, yang terakhir, mengenai EcoArt yang sudah dibahas di atas. EcoArt menyadarkan kita untuk turut menjaga ekosistem supaya tetap lestari. EcoArt bisa menjadi sebuah kuliah akadedmik yang baik kalau kuliah dilanjutkan menjadi suatu gerakan yang sifatnya partisipatif untuk mengubah gagasan menjadi wujud tindakan.

Dwi Maryanto PhD, dosen, seniman, intelektual yang tepat merumuskan pemikiran ini dan mengajarkan apa yang disebut EcoArt tadi karena bawaan lahiriahnya. Dia bukan pendongeng yang hanya berkisah mengenai lingkungan atau pemikiran estetik mengenai cara memelihara lingkungan. Dia orang yang peduli dan siap bekerja di lapangan. Dwi Maryanto mungkin memang orangnya untuk disebut intelektual yang peduli dan terlibat. []

KORAN SINDO, 28 Oktober 2017
Mohamad Sobary | Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar